Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kritik Sastra: Cerpen Duka Luka yang Terluka Karya Ninik Sirtufi Rahayu

23 Mei 2025   06:17 Diperbarui: 23 Mei 2025   06:17 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua remaja duduk di bangku taman, disinari lembut cahaya sore (Sumber: OpenAI)

Luka Bernama Kirana -- Membaca Cerpen Seperti Menyusuri Diri Sendiri
Oleh M Sanantara

*Catatan kritik ini sebagai respon atas Cerpen Duka Luka yang Terluka Karya Ninik Sirtufi Rahayu yang dapat dibaca disini

ANDAI AKU harus memilih satu fase hidup yang paling menggairahkan, pastilah masa sekolah menengah atas. Tak perlu seribu logika menyangkalnya---begitu kuat kenangan itu menancap jantung. Pertama kali dunia seolah berubah permukaan pandang, ketika dinding kelas bergema oleh tawa, dan senyum yang dahulu terasa dekat kini telah hilang, digantikan oleh waktu dan kisah-kisah baru. Namun entah mengapa, dada ini masih menyimpan laut, dan laut itu hanya mengalir padamu.

Begitulah kesan yang langsung terbit ketika membaca cerpen ini. Judulnya, "Duka Luka yang Terluka," seolah menjadi gema yang menggempakan ruang-ruang dalam kepala, menggiring pikiranku menuju tempat yang telah lama kukunci rapat. Aku mendambakan satu malam saja, kiranya waktu bersedia membuka arsip kenangan---tentang Kirana Maharani yang dahulu mekar seperti musim pada langit basahku.

Pembukaan cerpen yang riang---dengan nuansa sekolah yang begitu lekat---menjadi jendela bagi pembaca untuk memahami gadis bernama Kirana. Sosoknya cerewet, penuh tawa, terlalu aktif, seolah menafsirkan dirinya lewat keterlibatan dalam hidup orang lain. Barangkali bagi sebagian orang, ia menyebalkan. Tapi bukankah begitu cara sebagian dari kita menghindari luka?

Manusia adalah makhluk bertopeng, yang berlapis-lapis dalam kesehariannya. Karakter seperti Kirana---yang cerewet dan mudah tertawa---biasanya muncul saat ia merasa aman, nyaman. Tapi Kirana berbeda. Ia menyuguhkan topeng pertamanya kepada siapa pun tanpa membedakan. Ia menyayangi semua orang, termasuk Luka.

Masuk ke paragraf ketiga, cerpen ini menyihirku. Peralihan narasi begitu halus, mengalir menuju relung memori yang telah lama tertimbun. Penulis melancarkan satu siasat cemerlang: menghadirkan momen-momen universal manusia. Dan momen itu menenggelamkanku---ke dalam bayang-bayang masa lalu, akan "dia, dia, dan dia."

Konflik dalam cerpen ini sederhana namun penuh daya: perihal komunikasi yang tak berbalas. Kirana menyapa Luka, tapi Luka hanya diam. Seperti tembok. Namun justru di situlah daya tariknya. Bangku kelas menjadi jembatan awal mereka. Dan sosok Luka---pendiam, pintar, penuh misteri---memantik rasa ingin tahu Kirana yang perlahan tumbuh menjadi perasaan lebih dalam.

Dialog mereka menyimpan banyak lapisan. Salah satu yang paling mengesankan adalah percakapan tentang nama: "Luka." Nama itu menjadi kunci. Ia seperti penanda dari semua rasa yang tak bisa didefinisikan. Dan di sinilah puncak refleksi muncul: bahwa hanya luka yang bisa memahami luka. Bahwa kita harus belajar memahami, sebelum menghakimi. Karena persepsi manusia sangat mudah disesatkan oleh bias dan gelap pengalaman masing-masing.

Kilas balik tentang keluarga Luka membuka satu sisi luka yang lebih besar: keretakan, kehilangan figur ayah, dan kematian sang nenek yang selama ini menjadi sandaran. Luka ternyata bukan sekadar nama, tapi perjalanan panjang dari rasa sepi yang tak terucap. Ia melarikan diri ke dalam sunyi, bersembunyi dari dunia yang terus membenturkan dirinya pada kenyataan.

Cerpen ini pun menyadarkan: bahwa mendengar bisa lebih menyembuhkan daripada berbicara. Bahwa tak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata, seindah apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun