Puisi Terakhir, Tapi Rindu Tak Pernah Selesai
Oleh M Sanantara
*Catatan kritik ini sebagai respon atas Puisi Terakhir Untukmu Karya Ike Aprillina yang dapat dibaca disini
AKU MEMBAYANGKAN walkman Sony lama yang terlupakan saat pindah rumah. Ia diam membeku di sudut kotak kardus, seperti kenangan yang enggan mati. Hanya kepada malam yang tak dihiasi mimpi, aku terjaga, memikirkan syahdu merdu suara dan nada yang pernah menemaniku---saat kerapuhan menjelma menjadi kawat duri yang mencancang kaki.
Jujur, aku ingin mengulang. Ingin kembali ke hari, bulan, tahun, karakter, dan usia ketika pemutar lagu klasik itu menjadi pengiring hidup. Andai aku boleh bilang---dan sepertinya memang harus---perasaan ingin mengulang, merayakan momen terbaik yang pernah ada, kian melambung ke antah-berantah. Inilah rindu.
Mungkin itulah mengapa puisi seperti "Puisi Terakhir Untukmu" milik Ike Aprillina terasa begitu dekat. Karena dalam rindu yang kita kubur diam-diam, selalu ada keinginan kecil untuk mengenangnya kembali lewat puisi. Untuk merayakan luka dengan bahasa, karena bahasa tidak pernah mengkhianati keinginan terdalam kita.
Masalahnya, rindu yang terlaksana belum tentu tuntas mengalami perputaran yang serupa---baik dengan orang maupun kebendaan yang sama. Batas-batas organik seperti jarak geografis, ketidaksamaan orientasi, tubuh dewasa yang penuh agenda peningkatan diri, juga mimpi yang beda jalur, membuat rindu hanya bisa tersimpan dalam lemari kenangan.
Bait pertama puisi Ike, "Bila takdir rinduku terjejak dalam puisi saja" menyiratkan sebuah kenyataan: berkali-kali kenyataan menghancurkan harapan untuk menuntaskan rindu kepada yang tertuju. Maka dianggapnyalah 'takdir' itu hanya memberi izin untuk bertemu dalam puisi semata. Rindu mesti terurai di sana---dalam ruang imajinatif yang tak bisa disentuh, hanya bisa dirasakan.
Larik "maka izinkan seumur hidupku kan kuhabiskan berpuisi merindu dirimu" menghadirkan pemahaman yang menyayat. Untuk terus bahagia dalam rindu, hanya tersisa satu cara luar biasa: menulis puisi. Sebuah pengakuan akan hasrat yang tak akan pernah padam. Ia memilih untuk menghabiskan hidup dalam satu kata kerja: merindu---sebuah keberanian sekaligus kutukan yang manis.
Namun, harus kita sadari bahwa entitas kebendaan atau ketubuhan hanya bisa saling melengkapi jika ada kesamaan---dalam identitas, dalam kemutlakan. Luka harus bertemu luka agar menjadi kekasih pengertian. Kesedihan harus bertemu air mata yang paling dalam, agar menjadi erat pelukan bagi jiwa yang merindu tiada tara.
Kegembiraan dan kesedihan jarang seiring. Mereka menginginkan wilayah masing-masing. Kenyataan pahitnya, kegembiraan selalu punya masa berlaku. Setelah habis, bersiaplah: kesedihan menyambut mesra sangat membatu.
Anehnya, dalam larik kedua "Sedih memang, namun kubahagia kala hati dan bibir ini menyebut namamu dalam kerinduan yang menyiksa batin ini", muncul paradoks: sedih yang mengandung bahagia. Penyiksaan batin yang menyempurnakan kesedihan, membuat rindu terasa lengkap. Sakit, namun dirayakan. Rindu, dalam konteks ini, menjadi sebuah perayaan dari kehilangan yang tak ingin dilupakan. Seolah-olah rasa sakit adalah bukti bahwa cinta masih hidup.