Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ardhi'zael: Yang Terbangun dari Besi

20 April 2025   15:36 Diperbarui: 20 April 2025   15:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bunga matahari berdarah, tiang listrik retak, dan wajah-wajah terjerat dalam pusaran kegelapan (Sumber: OpenAI)


"Apa yang akan terjadi jika tiang yang kita lewati setiap hari tiba-tiba mengeluarkan sesuatu yang lebih gelap dari bayangan malam?"

Allan, mahasiswa semester 5 jurusan arsitektur lanskap di sebuah perguruan tinggi negeri di Bogor, tinggal terpisah dari keluarganya di Jakarta. Karena kesibukan kuliah, ia memilih indekos dan hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Hari-harinya diisi kuliah, praktikum, dan rapat organisasi---ia menjabat sebagai kepala departemen kemahasiswaan.

Namun, ada satu hal yang berbeda dari Allan sejak kecil. Ia selalu suka menggambar bunga matahari. Tapi bukan bunga matahari biasa---warna kuning cerah yang lazim diganti dengan merah darah. Menurut Allan, kata "matahari" pada bunga tidak seharusnya melambangkan cahaya atau keceriaan. Ia percaya bahwa sesuatu yang terang pun bisa menyimpan kegelapan.

Dan akhir-akhir ini, ia juga sering menggambar tiang-tiang---tiang listrik, tiang beton, tiang jalan---semua tergambar dengan celah hitam di tengahnya. Seolah ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam sana. Ia tak tahu kenapa. Tangannya bergerak sendiri, seperti mengikuti arus dari pikiran yang bukan miliknya.

***

Kamis, 10 Juli 2001, 21:19

Jalan ini sejak awal telah mengenal jauh diriku sebelum aku. Aroma oksigen, dingin yang mengembun, kesenduan gelap, angin yang membelai ranting kering, beberapa kucing, ular liar---mereka adalah bayangan sisi lain seturut langkah kakiku pergi meninggalkan apa yang tertinggal di belakang: momen yang terkubur tanpa kedamaian.

Tiang listrik di pinggir jalan dekat Stasiun Manggarai sering aku lewati bersama ibu sewaktu ia masih hidup. Ia selalu berpesan, "Jangan pernah kau lewati tiang itu, sembari menggambar dan menyajikan kekosongan dadamu. Tiang itu, Allan, haus akan darah."

Dulu aku kira itu hanya dongeng muram dari ibu yang terlalu banyak membaca buku mistik. Tapi setelah ia tiada, kata-katanya justru semakin menancap dalam. Aku pernah menggambar tiang itu di sketsa kuliahku---bukan karena diminta, tapi karena ia muncul di benakku tanpa alasan. Dan tiap kali selesai, aku selalu merasa mual, seperti ada sesuatu yang terbangun dari tidurnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun