Menelusuri Lorong Nestapa dalam Puisi Titipan Rasa (2) Karya Novia Respati
Oleh: M. Sanantara Â
1. Pendahuluan: Antara Cinta yang Dititipkan dan Eksistensi yang Diragukan
Sebelum kita mulai menyelami makna puisi Titipan Rasa (2) karya Novia Respati, ada baiknya saya mengungkapkan bahwa kritik ini dibentuk dengan kesadaran penuh tentang kondisi internal saya---baik fisik maupun emosional---sebagai seorang kritikus sastra. Untuk meminimalkan bias pribadi yang mungkin mempengaruhi analisis ini, saya menggunakan metode Hipotesis Hidup Manusia (HHM) yang menyertakan beberapa parameter fisiologis dan emosional. Pada saat penulisan ini, suhu tubuh saya tercatat 36,5C, dengan tekanan darah 128 mmHg/81mmHg, dan denyut nadi 58 dpm. Emosi saya cenderung gembira, yang mungkin memperkaya interpretasi saya terhadap puisi ini, meskipun saya berusaha untuk tetap objektif dalam proses analisis.
Â
***
Ada sesuatu yang mengusik dalam Titipan Rasa (2). Ia bukan sekadar puisi tentang cinta yang tak tergapai atau rindu yang bersembunyi di sudut malam. Ia lebih dari itu. Ia seperti sebuah eksperimen biologis yang gagal di laboratorium perasaan: sesuatu telah ditanam, tapi tidak sepenuhnya bisa tumbuh. Â
Cinta di sini bukan kepemilikan, tapi titipan. Bukan air yang mengalir bebas, tapi embun yang menempel di jendela---eksistensinya jelas, tapi tak pernah benar-benar menetap. Dan pertanyaan besar muncul: kalau cinta ini bukan milik aku liris, lalu untuk apa ia diberikan? Apakah ia hanya sekadar wadah sementara? Atau justru sedang diuji sejauh mana ia bisa menyangkal keberadaannya sendiri? Â
Dari sini, kritik ini akan menelusuri lebih dalam bagaimana puisi ini berbicara tentang cinta, ketidakpantasan, dan dilema eksistensial dalam ruang lingkup sastra modern. Â
2. Struktur dan Teknik Puitis: Lorong yang Tidak Memiliki Ujung
Â
Salah satu elemen paling kuat dalam puisi ini adalah pertanyaan retoris yang digunakan untuk membangun narasi. Ini bukan pertanyaan biasa; ini adalah jeritan hati yang disamarkan dalam bisikan. Â
Bagaimana kabarmu, duhai kasihku? Â
Aku ingin berkisah tentang banyak hal padamu