Mohon tunggu...
Maftuch Junaidy Mhirda
Maftuch Junaidy Mhirda Mohon Tunggu... Digital Marketer

Penikmat tulisan di kompasiana dan menyenangi dunia tulis menulis terkait edukasi, filsafat, bahasa dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Thales Bukan Filsuf Pertama!

4 September 2025   18:23 Diperbarui: 4 September 2025   18:28 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://nationalgeographic.grid.id/

Selama ini banyak buku sejarah filsafat Barat membuka narasinya dengan Thales dari Miletus (624–546 SM). Ia sering disebut sebagai “bapak filsafat” atau orang pertama yang meninggalkan mitos untuk berpikir rasional tentang alam. Namun, penelitian terbaru yang ditulis oleh Lea Cantor berjudul “Thales – the ‘first philosopher’? A troubled chapter in the historiography of philosophy” dan dipublikasikan di British Journal for the History of Philosophy (2022). Artikel tersebut mengkaji ulang klaim populer bahwa Thales dari Miletus adalah filsuf pertama dalam sejarah. Dengan menelusuri sumber-sumber kuno dan tradisi historiografi, Cantor menunjukkan bahwa pandangan ini sebenarnya problematis dan lebih merupakan konstruksi modern daripada fakta sejarah.

Pandangan Yunani Kuno tentang Asal Usul Filsafat

Cantor menjelaskan bahwa sangat sedikit penulis Yunani kuno yang menyebut Thales sebagai filsuf pertama. Bahkan, Aristoteles, filsuf yang paling sering dijadikan rujukan, sebenarnya tidak pernah secara eksplisit menyatakan demikian. Ia hanya menyebut Thales sebagai pelopor jenis filsafat tertentu, yaitu filsafat alam (natural philosophy), dengan pandangan bahwa air adalah prinsip dasar (archê) segala sesuatu. Bagi Aristoteles, filsafat tidak bermula dari Thales, melainkan memiliki kesinambungan dengan tradisi mitologi dan teologi sebelumnya, termasuk dari bangsa non-Yunani.

Lebih jauh, penulis-penulis Yunani lainnya seperti Herodotos, Isokrates, maupun Plato justru menekankan peran bangsa Mesir, Babilonia, dan bahkan Persia dalam melahirkan gagasan filsafat. Misalnya, Plato mengagumi kebijaksanaan Mesir dalam hal matematika dan astronomi. Dengan kata lain, orang Yunani kuno tidak mengklaim filsafat sebagai murni ciptaan mereka, apalagi berawal dari Thales.

Mengapa Thales Jadi “Filsuf Pertama”?

Label “Thales sebagai filsuf pertama” ternyata baru populer pada abad ke-18 di Eropa. Seorang sejarawan filsafat Jerman, Christoph Meiners, adalah tokoh penting yang mengangkat Thales ke posisi ini. Meiners berusaha menegaskan bahwa filsafat lahir di Yunani, bukan di Timur. Alasannya bukan murni akademis, tetapi berkaitan dengan ideologi Eropa saat itu, termasuk rasialisme semu yang membedakan bangsa “Caucasian” (Eropa) dengan bangsa Asia atau Afrika yang dianggap lebih rendah. Dengan cara ini, Eropa meneguhkan citra Yunani sebagai akar rasionalitas Barat, sambil menyingkirkan kontribusi peradaban non-Yunani.

Narasi ini kemudian diteruskan dalam banyak buku sejarah filsafat modern, sehingga kita terbiasa mendengar bahwa filsafat dimulai dengan Thales. Padahal, sumber-sumber kuno justru menyajikan gambaran yang jauh lebih beragam dan terbuka.

Kritik terhadap Pandangan Tradisional

Ada tiga poin utama yang ditekankan Cantor:

  1. Minim Bukti Kuno

    Hanya segelintir penulis di era Yunani-Romawi yang menyebut Thales sebagai filsuf pertama, dan itu pun sering bersifat tentatif. Mayoritas penulis tidak memberi Thales posisi istimewa dalam sejarah filsafat.

  2. Pengakuan Asal-usul Non-Yunani

    Banyak tokoh Yunani klasik secara eksplisit mengakui bahwa gagasan filsafat sudah berkembang di luar Yunani, terutama di Mesir, Babilonia, dan Persia.

  3. Konstruksi Modern

    Pandangan bahwa filsafat lahir dari Thales baru menguat pada abad ke-18, dipengaruhi oleh ideologi Eropa yang ingin menegaskan superioritas Yunani (dan Eropa) atas bangsa lain.

Implikasi Pemikiran

Tulisan Cantor mengajak kita merefleksikan ulang: apakah benar ada satu “awal mula” filsafat? Atau justru filsafat tumbuh dari pertukaran lintas budaya yang panjang? Menurut Cantor, lebih tepat melihat Thales sebagai salah satu tokoh penting dalam tradisi Yunani, bukan sebagai titik nol filsafat.

Dengan perspektif ini, sejarah filsafat menjadi lebih inklusif. Kita bisa mengakui kontribusi tradisi Timur kuno tanpa harus memaksakan sebuah “mitos asal” yang tunggal. Pada saat yang sama, kita tetap bisa menghargai Thales sebagai pemikir kreatif yang memberi warna dalam sejarah pemikiran manusia.

Selama berabad-abad kita diajarkan bahwa filsafat Barat dimulai dengan Thales. Namun, penelitian historiografis terbaru menunjukkan bahwa klaim tersebut lebih merupakan cerita buatan modern ketimbang fakta sejarah. Orang Yunani kuno sendiri banyak yang menelusuri akar filsafat ke Mesir, Babilonia, dan tradisi non-Yunani lainnya. Karena itu, alih-alih menobatkan Thales sebagai “filsuf pertama”, mungkin lebih bijak melihatnya sebagai bagian dari jaringan panjang pertukaran gagasan lintas budaya yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai filsafat. (maftuch)

Referensi

Cantor, L. (2022). Thales – the ‘first philosopher’? A troubled chapter in the historiography of philosophy. British Journal for the History of Philosophy, 30(5), 727–750. https://doi.org/10.1080/09608788.2022.2029347

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun