Di dunia ini, hanya ada tiga titik putih di garis khatulistiwa yang menyimpan salju abadi, yaitu Andes (Peru), Kilimanjaro (Afrika), dan Cartenz (Papua). Tiga keajaiban geografi ini seolah menantang logika, bagaimana mungkin di daerah tropis yang panas, ada puncak gunung yang membeku?
Sayang sekali, salah satunya akan segera hilang dari peta dunia. Cartenz, atap Indonesia, diprediksi kehilangan es abadi terakhirnya pada tahun 2026.
Tidak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa di Papua, tepatnya Pegunungan Jayawijaya, pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl), terdapat puncak yang diselimuti salju abadi. Cartenz Pyramid (atau Puncak Jaya) adalah salah satu dari "Seven Summits," tujuh puncak tertinggi di dunia yang jadi incaran para pendaki profesional.
Indonesia punya es abadi yang membeku sejak ribuan tahun lalu. Mahkota abadi itu kini tinggal serpihan. Es Cartenz yang dulu menutupi sebagian besar puncak Jayawijaya, kini menyusut tinggal di relung-relung batu.
Sejarah Salju Abadi di Puncak Cartenz
Para peneliti memperkirakan gletser di Puncak Cartenz mulai terbentuk sekitar 5.000--7.000 tahun lalu, ketika iklim bumi memasuki periode dingin setelah zaman es kecil terakhir. Artinya, salju abadi ini sudah ada jauh sebelum catatan sejarah Nusantara ditulis.Â
Saat Kerajaan Majapahit menguasai lautan, Cartenz sudah berdiri putih membeku. Saat bangsa Eropa baru mengenal mesin cetak, es di Papua sudah menyimpan jejak perubahan iklim di lapisan-lapisannya. Tiap butir es di Cartenz memerangkap gelembung udara purba, debu vulkanik, hingga jejak iklim ribuan tahun lalu.Â
Tahun 2010, sebuah penelitian dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan Byrd Polar and Climate Research Center (BPCRC) The Ohio State University (OSU), dan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) di Columbia University, serta PT. Freeport Indonesia.
Tim peneliti ini mengebor inti es di Cartenz untuk menyimpan sampel di "ice core library" mereka, sebelum semuanya benar-benar mencair. Siapa sangka 16 tahun kemudian, tepatnya 2026 nanti, kita akan kehilangan salju abadi sekaligus rekaman sejarah iklim tropis yang tidak tergantikan itu.
Ironinya, butuh ribuan tahun es abadi ini terbentuk, tapi hanya kurang dari satu abad hingga semuanya mencair. Data BMKG dan LIPI menunjukkan, sejak 1850, luas gletser Cartenz sudah menyusut lebih dari 80 persen.Â
Pada 1936, masih ada sekitar 13 km es, tapi kini, luasnya tinggal kurang dari 0,23 km. Melihat tren ini terus berlanjut, tahun 2026 diperkirakan menjadi titik akhirnya, bahwa salju abadi Indonesia benar-benar hilang.
Seolah ada yang salah dengan matematika peradaban. Alam membutuhkan ribuan tahun untuk membangun lapisan-lapisan es yang tebal. Tapi manusia hanya butuh dua generasi, selama seratus tahun polusi dan pembakaran fosil, untuk meruntuhkannya.
Keajaiban Salju Tropis di Andes, Kilimanjaro, dan Cartenz
Seberapa penting salju abadi di puncak gunung? Ada mungkin di antara kamu punya pertanyaan kayak gini. Justru di situlah masalahnya. Hilangnya es di Cartenz adalah alarm bahwa bumi sekarang benar-benar panas. Kita bandingkan ya.
Jika es tropis saja bisa hilang, maka apa kabar sawah yang lebih rapuh? Jika puncak gunung tertinggi di Indonesia saja tidak tahan panas, bagaimana dengan pesisir rendah seperti Jakarta atau Semarang?
Jika es yang berdiri ribuan tahun itu bisa tunduk pada polusi satu abad, bukankah itu tanda bahwa waktu kita di bumi ini semakin sempit? Bagaimana nasib anak-anak kita di masa depan yang akan hidup jauh lebih lama dari kita?
Pegunungan Andes, Peru merupakan rumah bagi gletser tropis terbesar di dunia, dengan lebih dari 70% cadangan es tropis global.
Gunung Kilimanjaro, Tanzania adalah ikon Afrika yang memukau Hemingway, dengan puncak putih yang kontras dengan sabana di kakinya.
Cartenz, Papua adalah mahkota es Indonesia, satu-satunya salju abadi di Asia Tenggara. Kini, ketiganya sedang menulis bab terakhir dari kisah mereka.
1. Gletser di Andes
Di Peru, gletser tropis Andes sudah menyusut drastis. Penelitian menunjukkan bahwa sejak 1970-an, luas gletser berkurang lebih dari 40%. Setiap dekade, garis es mundur puluhan meter, meninggalkan batu hitam yang dulu tertutup putih.
Dampaknya nyata terasa. Jutaan penduduk di kawasan Andes bergantung pada es yang mencair perlahan untuk suplai air minum, irigasi, dan tenaga listrik. Ketika gletser surut, cadangan air mereka ikut menyusut.Â
Kekeringan kini menjadi ancaman di Peru, padahal air dari gletser selama ini adalah penyangga kehidupan mereka di musim kering. Jadi, bukan hanya lanskap yang hilang, tapi juga sumber kehidupan.Â
Hilangnya gletser di Andes berarti hilangnya bank air raksasa yang sudah menyelamatkan manusia selama ribuan tahun.
2. Gletser di Kilimanjaro
Gunung Kilimanjaro, 5.895 meter di atas permukaan laut, pernah digambarkan Ernest Hemingway sebagai "gunung luas yang diselimuti salju abadi." Kini, deskripsi itu tinggal kenangan.
Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, lebih dari 80% es di Kilimanjaro telah hilang. Jika tren ini berlanjut, para ilmuwan memperkirakan es di puncak gunung tertinggi Afrika itu akan benar-benar hilang sebelum pertengahan abad ini.
Padahal, Kilimanjaro adalah simbol Afrika yang selalu muncul di kartu pos, novel, bahkan lagu-lagu populer. Hilangnya es di sana bukan hanya menimbulkan krisis iklim, tetapi juga krisis identitas. Afrika jelas akan kehilangan sebuah ikon.
3. Gletser di Cartenz
Berbeda dengan Andes yang menopang jutaan warga atau Kilimanjaro yang jadi ikon benua, hilangnya es Cartenz artinya kehilangan identitas ekologis Indonesia. Kita adalah negeri tropis yang unik karena menyimpan salju di garis khatulistiwa.Â
Begitu Cartenz mencair, hilanglah satu-satunya jejak salju tropis Asia Tenggara. Kita akan jadi generasi terakhir yang bisa berkata, "Aku pernah hidup di negeri yang punya salju abadi."Â
Anak-anak kita, generasi setelah kita hanya akan menemukannya di foto buku geografi, atau mungkin di iklan biro perjalanan (travel agent).
Dampak Hilangnya Es Tropis di Dunia
Hilangnya es tropis di Pegunungan Andes, Kilimanjaro, dan Cartenz lambat laun pasti akan mengetuk pintu rumah kita sendiri. Dia akan hadir di ruang tamu, masuk ke dapur, bahkan memengaruhi isi dompet kita. Apa saja bentuknya?
Pertama, dalam bentuk cuaca ekstrem yang lebih sering. Es di puncak gunung berfungsi seperti penyeimbang alami. Saat ia mencair cepat, pola cuaca menjadi lebih tidak menentu.Â
Hujan bisa turun terlalu deras dalam waktu singkat, lalu berganti dengan kemarau panjang. Akibatnya, banjir dan kekeringan datang silih berganti, membuat kita semakin sulit menebak musim.
Kedua, muncul krisis air bersih. Banyak kota dan desa di dunia bergantung pada lelehan gletser untuk pasokan air. Di Peru, jutaan orang mengandalkan gletser Andes sebagai sumber air minum dan irigasi.Â
Di Afrika Timur, Kilimanjaro menjadi "menara air" bagi sungai-sungai di sekitarnya. Di Papua, es Cartenz ikut menjaga keseimbangan aliran sungai-sungai besar yang bermuara ke pesisir.Â
Ketika es di sini habis, cadangan air hilang. Sungai menjadi kering lebih cepat, sementara kebutuhan manusia terus bertambah.
Ketiga, harga pangan melambung. Air yang hilang berarti sawah lebih susah diairi, ladang lebih rentan gagal panen. Ditambah cuaca ekstrem, produktivitas pertanian menurun.Â
Ketika pasokan beras, jagung, atau kopi menurun, harga otomatis naik. Kita tidak perlu jauh-jauh ke Andes atau Kilimanjaro untuk merasakannya, cukup lihat harga cabai atau beras yang bisa melonjak drastis hanya karena kemarau panjang atau cuaca berubah sedikit.
Keempat, ada ancaman migrasi iklim. Saat gletser mencair, volume air laut global meningkat. Kota-kota pesisir rendah seperti Jakarta, Semarang, atau Makassar menghadapi risiko banjir rob yang makin sering terjadi.
Rumah, jalan, bahkan sekolah bisa tenggelam. Akibatnya, jutaan orang terpaksa pindah, mencari tempat tinggal baru. Migrasi ini juga bisa memicu konflik lahan, persaingan kerja, dan guncangan sosial.
Singkatnya, salju yang mencair di puncak gunung akan turun sebagai krisis di kaki gunung, lalu masuk ke ruang rumah kita. Hilangnya es tropis akan menjadi potret masa depan kita sendiri, dan itu hanya soal menunggu waktu.
Jika kita tidak bisa menjaga salju di atap dunia tropis, bagaimana mungkin kita bisa menjaga kota-kota di pesisir? Jika kita membiarkan es tropis punah, mungkinkah kita mampu melindungi hutan, laut, dan sawah?
Bumi makin panas. Waktu kita makin sedikit. Apakah kita mau mendengarkan suara bumi ini, atau terus pura-pura tuli hingga rumah kita benar-benar runtuh?***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI