Gunung Kilimanjaro, 5.895 meter di atas permukaan laut, pernah digambarkan Ernest Hemingway sebagai "gunung luas yang diselimuti salju abadi." Kini, deskripsi itu tinggal kenangan.
Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, lebih dari 80% es di Kilimanjaro telah hilang. Jika tren ini berlanjut, para ilmuwan memperkirakan es di puncak gunung tertinggi Afrika itu akan benar-benar hilang sebelum pertengahan abad ini.
Padahal, Kilimanjaro adalah simbol Afrika yang selalu muncul di kartu pos, novel, bahkan lagu-lagu populer. Hilangnya es di sana bukan hanya menimbulkan krisis iklim, tetapi juga krisis identitas. Afrika jelas akan kehilangan sebuah ikon.
3. Gletser di Cartenz
Berbeda dengan Andes yang menopang jutaan warga atau Kilimanjaro yang jadi ikon benua, hilangnya es Cartenz artinya kehilangan identitas ekologis Indonesia. Kita adalah negeri tropis yang unik karena menyimpan salju di garis khatulistiwa.Â
Begitu Cartenz mencair, hilanglah satu-satunya jejak salju tropis Asia Tenggara. Kita akan jadi generasi terakhir yang bisa berkata, "Aku pernah hidup di negeri yang punya salju abadi."Â
Anak-anak kita, generasi setelah kita hanya akan menemukannya di foto buku geografi, atau mungkin di iklan biro perjalanan (travel agent).
Dampak Hilangnya Es Tropis di Dunia
Hilangnya es tropis di Pegunungan Andes, Kilimanjaro, dan Cartenz lambat laun pasti akan mengetuk pintu rumah kita sendiri. Dia akan hadir di ruang tamu, masuk ke dapur, bahkan memengaruhi isi dompet kita. Apa saja bentuknya?
Pertama, dalam bentuk cuaca ekstrem yang lebih sering. Es di puncak gunung berfungsi seperti penyeimbang alami. Saat ia mencair cepat, pola cuaca menjadi lebih tidak menentu.Â
Hujan bisa turun terlalu deras dalam waktu singkat, lalu berganti dengan kemarau panjang. Akibatnya, banjir dan kekeringan datang silih berganti, membuat kita semakin sulit menebak musim.
Kedua, muncul krisis air bersih. Banyak kota dan desa di dunia bergantung pada lelehan gletser untuk pasokan air. Di Peru, jutaan orang mengandalkan gletser Andes sebagai sumber air minum dan irigasi.Â
Di Afrika Timur, Kilimanjaro menjadi "menara air" bagi sungai-sungai di sekitarnya. Di Papua, es Cartenz ikut menjaga keseimbangan aliran sungai-sungai besar yang bermuara ke pesisir.Â