Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Transformasi Siskamling Lewat Balai Warga, Apakah Rasa Guyub Masih Bisa Hidup?

12 September 2025   08:55 Diperbarui: 12 September 2025   10:11 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal di salah satu kompleks perumahan sekitar Jatimulya, Bekasi rasanya seperti jackpot kecil dalam hidup. Aku dan suami tergolong pasangan muda, ya anggap saja masih muda lah meski segera menginjak kepala empat, tapi kami dikelilingi tetangga-tetangga yang rata-rata angkatan boomers. 

Jadilah, piramida umur di kompleks perumahan kami ini lengkap, mulai dari balita generasi alfa yang masih belepotan es krim di pipi, remaja gen Z yang suka nongkrong dengan earphone di telinga, para milenial yang sibuk antar-jemput anak sekolah, sampai bapak-ibu pensiunan main padel di lapangan, ngasuh cucu pagi-pagi sambil jalan sehat atau sore hari sambil nge-baso di balai warga.

Dan yang bikin aku bersyukur, kompleks perumahanku ini masih rajin menghidupkan tradisi kumpul-kumpul. Apalagi rumahku sendiri hanya berjarak sekitar 100 meter dari balai warga, tempat segala macam acara digelar. Jadi hampir tiap bulan, aku pasti dengar riuh rendah suara warga, dari tawa ibu-ibu arisan, pengajian, sampai obrolan ibu-ibu sambil beli bahan dapur di tukang sayur keliling.


Bukan cuma ibu-ibu doang. Ada juga kumpul bapak-bapak minggu pertama setiap bulan yang kadang lebih banyak gosip politiknya ketimbang bahas keamanan, pengajian, tadarus, sampai bergiliran menyiapkan takjil buka puasa sebulan penuh. Bahkan kami ada jalan-jalan bareng ke luar kota setahun sekali. 


Jadi, meski zaman makin individualis, kami masih merasa seperti keluarga besar. Meski demikian, ada satu hal yang sudah tidak ada lagi di kompleks kami yaitu... siskamling alias ronda malam. 

Mungkin karena kebanyakan warga di sini sudah lansia, jadi tak sanggup lagi pergi meronda. Kami sudah punya satpam lebih dari enam orang yang bekerja dengan sistem shift 24 jam. Artinya, keamanan kompleks dijaga secara profesional.

Warga? Ya, cukup urunan bulanan saja. Kalau dulu orang jaga malam sambil membawa termos kopi, kini tinggal transfer iuran setiap bulan. Praktis memang, semua serba efisien.

Lalu, apakah ada yang hilang? Apakah rasa kebersamaan yang dulu terbangun di pos ronda, saat bercanda, bergiliran jaga, dan saling menguatkan sebagai tetangga, kini perlahan memudar?

Ide-Ide Memoles Siskamling Zaman Now

Siskamling dulunya memang tujuan utamanya menjaga kampung dari maling, begal, atau sekadar anak muda usil yang doyan coret-coret tembok. Lebih dari itu, siskamling adalah tradisi guyub.

Bapak-bapak nongkrong di pos ronda, ada yang ngerokok, ada yang ngopi, bawa gitar, ada yang cerita tentang zaman mudanya. Kadang diselingi obrolan politik, kadang malah main catur atau kartu. Kalau ada ronda keliling, suara kentongan kayu "tok-tok-tok" jadi pengantar tidur warga kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun