Innalillaahi wainnailaihiraji'un. Setahun terakhir, notifikasi yang mampir di ponsel saya terasa berat sekali. Sejumlah rekan kerja, orang yang saya kenal, teman sekolah/ kuliah, meninggal dunia.Â
Dua orang kena serangan jantung mendadak. Ada yang kena paru-paru basah, dan yang terakhir kemarin, karena radang usus.
Sedih banget. Sedihnya bukan cuma karena kehilangan mereka, tapi karena saya tahu bahwa mereka orang-orang yang luar biasa rajin, pekerja keras, loyal, bahkan workaholic.Â
Ada teman saya yang selalu jadi orang pertama datang ke kantor, orang terakhir yang pulang. Lembur? Sudah makanan sehari-harinya. Deadline? Dia tabrak dengan wajah tanpa ragu.
Tapi di balik semua itu, ternyata ada harga yang dibayar sangat mahal, yaitu tubuh yang lelah, jiwa yang terkuras. Dan sayangnya, tubuh dan jiwa tidak bisa diganti.Â
Kalau kursi kantor kosong, perusahaan bisa cari pengganti. Tapi kalau kita jatuh sakit, atau bahkan pergi selamanya, keluarga kita yang harus menanggung kehilangan. Itulah kenapa saya merasa penting banget untuk menuliskan topik hari ini, tentang SELF LOVE.
Self Love BUKAN Me Time
Kalau dengar kata self love, banyak orang mungkin langsung mikir ke skincare, liburan ke Bali, atau staycation di hotel berbintang. Padahal, self love jauh lebih fundamental dari itu.
Self love adalah soal mengakui bahwa tubuh dan jiwa kita punya hak, berupa hak untuk istirahat dan hak untuk makan bergizi. Ada juga hak untuk bilang "tidak" pada pekerjaan yang melampaui batas, dan hak untuk berhenti sejenak tanpa rasa bersalah.
Di Indonesia, apalagi di perkotaan, budaya kerja sering kali memuja produktivitas. Semakin sibuk, semakin dianggap sukses. Ada istilah yang sering kita dengar, kerja keras banting tulang.Â
Banyak orang bangga kalau bisa cerita, "Wah, semalam gue lembur sampai jam 2 pagi." Tapi jarang yang bilang, "Alhamdulillah, gue tidur cukup 8 jam semalam, badan segar banget hari ini."