IKN dibangun sebagai simbol kemajuan. Kota hijau, kota cerdas, dan kota berteknologi tinggi. Namun, IKN tidak dibangun di atas beton saja, melainkan juga dibentuk relasi sosial, oleh manusia yang datang dan menetap, oleh harapan dan luka yang terbawa dari berbagai daerah.
Ketika ribuan pekerja konstruksi dan pendatang masuk ke wilayah baru seperti IKN, kebutuhan ekonomi, sosial, dan bahkan emosional ikut menyusup. Tidak semua kebutuhan itu bisa dipenuhi oleh infrastruktur formal.Â
Ketika hunian masih minim, fasilitas sosial belum mapan, dan pekerjaan hanya bersifat sementara, maka yang muncul adalah zona-zona abu-abu, seperti losmen tanpa identitas jelas, kamar kontrakan yang dijadikan tempat transaksi daring, atau PSK yang "mengambil risiko" di wilayah strategis.
Alih-alih menghakimi, mari kita bertanya, di mana letak kegagalan kita dalam merencanakan kota ini sebagai ruang sosial? Di mana ruang aman dan adil bagi perempuan? Apa sistem jaminan sosial bagi pendatang yang tidak punya jejaring lokal?
Siapa yang salah?
Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan bekerja dengan cara membuat sesuatu menjadi "terlihat" atau "tidak terlihat." Dalam hal ini, para PSK terlihat. Mereka diberi label, diamankan, dikeluarkan.Â
Namun, bagaimana dengan para pelanggan mereka? Bagaimana dengan para pemilik penginapan yang menyewakan kamar untuk praktik daring? Atau bahkan pihak yang mengambil keuntungan dari perputaran uang informal ini?
Penertiban PSK memang bagian dari tugas Satpol PP. Akan tetapi, penanganan fenomena ini semestinya tidak berhenti di pendekatan represif. Prostitusi tidak hilang hanya dengan "mengusir" pelakunya. Ini seperti kita menyapu debu rumah kemudian membuangnya ke bawah karpet di rumah kita juga.
Fenomena ini akan terus muncul selama akar persoalannya tidak disentuh, yaitu ketimpangan ekonomi, kerentanan gender, minimnya perlindungan sosial, dan tata ruang yang tak ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Segitiga kota baru: mobilitas, seksualitas, dan kapitalisme
Mengapa banyak dari PSK di IKN berasal dari luar Kalimantan? Ini membuka diskusi yang lebih luas tentang migrasi dan mobilitas. Teori push-pull migration (Lee, 1966) menyebutkan bahwa orang bermigrasi karena daya tarik wilayah baru dan tekanan dari wilayah asal.Â
Banyak perempuan datang ke IKN dengan harapan ekonomi, karena di kota asal mungkin mereka mengalami tekanan ekonomi, minim kesempatan kerja, atau masalah sosial lainnya.