Hari ini, saya membaca headline KompasTV di YouTube mengabarkan hal yang bikin bergidik, "PSK Menjamur di IKN, Total 64 Orang Ditertibkan Satpol PP selama 2025." Rasanya agak menggelitik, sekaligus ironis ya.Â
Ibu Kota Nusantara (IKN), yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan Indonesia, nyatanya sedang dibayang-bayangi fenomena sosial klasik yang sering dianggap "penyakit kota besar," yaitu pekerja seks komersial (PSK).Â
Pertanyaannya, apakah ini semata-mata masalah moral? Atau justru ini pertanda bahwa pembangunan tidak pernah netral secara sosial?
Mari kita ulik fenomena ini, bukan dengan cara menghakimi, tapi dengan cara memahami, apa yang sebenarnya sedang terjadi di IKN?
Prostitusi di tengah pembangunan ibu kota baru
Kepala Satpol PP Penajam Paser Utara, Bagenda Ali, dikutip dari KompasTV mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025, pihaknya telah menertibkan 64 perempuan yang diduga PSK dari sekitar wilayah Kecamatan Sepaku, area strategis dalam kawasan IKN.Â
Operasi penertiban ini dilakukan baik terhadap praktik langsung maupun daring, yang artinya, prostitusi digital melalui media sosial kini menjadi medan baru.
Sebagian besar dari mereka bukan warga lokal. Mereka datang dari berbagai penjuru seperti Samarinda, Balikpapan, bahkan sejauh Bandung dan Makassar. Setelah diamankan dan dibina, mereka yang berasal dari luar daerah diminta meninggalkan Penajam Paser Utara dalam 2--3 hari.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam setiap proyek pembangunan berskala besar, terutama yang melibatkan ribuan pekerja dari luar daerah, dinamika sosial seperti ini cenderung muncul.
Teori klasik dalam sosiologi urban seperti yang diungkapkan Louis Wirth atau Ernest Burgess menekankan bahwa urbanisasi cepat kerap membawa tantangan sosial, termasuk tumbuhnya praktik-praktik informal seperti prostitusi.