Sejak musim pertama, Squid Game terkenal dengan “twist” sadis di setiap permainan anak-anak yang dijadikan arena berdarah. Red Light, Green Light yang ikonik. Marbles yang menghancurkan persahabatan.
Di Season 2, banyak penonton merasa “kenapa harus ada lagi?” Beberapa bilang konfliknya dipanjang-panjangin. Kesannya Season 2 berasa kayak jembatan yang setengah jadi.
Tapi ternyata benar, Season 2 dan 3 itu sebenarnya satu cerita utuh. Di Season 3 inilah semua utas yang sempat menggantung akhirnya ditarik kencang. Kencang sampai leher kita sebagai penonton terasa tercekik.
Yang bikin keren adalah caranya tidak menipu. Tidak pakai twist murahan. Permainan-permainan baru memang lebih gila dan rumit, tapi yang benar-benar membunuh kita sebagai penonton adalah pilihan moralnya.
Lebih Brutal, Tapi Lebih Manusiawi
Season 3 Squid Game sangat sadar bahwa kita sebagai penonton Season 1 dan 2 sudah “kebal” terhadap adegan mati demi uang. Jadi alih-alih mengandalkan darah semata, ia menambahkan tragedi dan dilema.
Bayangkan seorang ibu tua yang rela ikut game hanya untuk melunasi utang judi anaknya. Melihat adegan itu bukan hanya bikin sedih, tapi marah. Marah pada dunia yang memaksa orang setua itu untuk melakukan hal seperti ini.
Atau karakter Jun-hee yang sedang hamil, yang tiba-tiba harus membuat keputusan paling kejam demi bertahan. Kita tidak bisa bilang dia salah. Tapi kita juga tidak bisa membenarkannya.
Inilah kekuatan Season 3. Ia tidak cuma bikin kita teriak “Kenapa dia mati!” seperti di Season 1. Ia bikin kita bertanya, “Apa aku akan melakukan hal yang sama?”
Karakter yang Lebih Dalam dan Relatable
Kalau Season 1 dan 2 terasa seperti perkenalan singkat ke tokoh-tokoh yang harus cepat mati demi alur, Season 3 memberi kita cukup waktu untuk benar-benar kenal.
Gi-hun (Lee Jung Jae) bukan lagi “ayah bangkrut yang putus asa.” Sekarang dia orang yang hancur oleh rasa bersalah. Dia menolak main, lalu terpaksa lagi. Kita lihat dia bukan hanya ketakutan, tapi patah arang.