Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Kita Masih Negeri Maritim? Saatnya Kembali ke Perahu Kita Sendiri

4 Juli 2025   20:41 Diperbarui: 14 Agustus 2025   11:31 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Coba buka peta dan lihat bentuk Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, gugusan ribuan pulau itu membentuk negeri yang seolah dikelilingi dan dijahit oleh laut. Tak heran jika Indonesia disebut sebagai negeri maritim.

Akan tetapi, mari kita tanya lagi pada diri sendiri, apakah kita masih benar-benar negeri maritim, atau hanya maritim di atas kertas?

Istilah "negeri maritim" mencerminkan geografi, cara hidup, identitas, filosofi, bahkan kebanggaan. Dan semua itu, sejak dulu, disimbolkan lewat satu hal yang sederhana bernama "perahu."

Sejak zaman nenek moyang, masyarakat Nusantara sudah bersahabat erat dengan air. Sungai dan laut bukan hanya jalur transportasi, tapi juga ruang diplomasi antar-suku, medan laga, dan tempat bertukar budaya. Di tengah semua itu, perahu menjadi kendaraan fisik sekaligus spiritual yang menyatukan berbagai peradaban lokal.

Ribuan tahun lalu, orang-orang Austronesia dari Nusantara menjelajah Samudra Pasifik dengan perahu layar, jauh sebelum bangsa Eropa memetakan dunia. Mereka mewariskan pengetahuan maritim yang luar biasa, yang hari ini masih tersisa dalam bentuk tradisi perahu dayung.

Di tengah modernisasi, perahu perlahan-lahan perahu direduksi menjadi "alat wisata" atau sekadar properti lomba tahunan. Bahkan banyak generasi muda yang tidak lagi bisa membedakan antara jukung, bidar, jong, atau sandeq. Padahal, perahu-perahu ini adalah simbol dari karakter kita sebagai bangsa.

Di berbagai daerah, lomba perahu dayung menjadi pesta rakyat, ajang silaturahmi, sekaligus pertunjukan tradisi yang penuh warna. Di luar Pacu Jalur yang kini mendunia lewat tren "aura farming," sebenarnya masih banyak festival perahu dayung lain yang tak kalah menarik di Indonesia. Yuk, kita bahas satu per satu.

1. Festival Perahu Baganduang

Perahu baganduang berasal dari Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau. Ini bukan perahu biasa, melainkan gabungan dua atau tiga sampan panjang yang diikat rapi menggunakan bambu. 

Kata "baganduang" sendiri berarti bergandengan, mencerminkan nilai gotong royong yang kental. Tradisi ini muncul dalam acara Manjopuik Limau, sebuah upacara adat yang dilakukan menjelang pernikahan bangsawan. 

Kini, tradisi ini dirayakan lewat Festival Perahu Baganduang setiap hari raya Idul Fitri, lengkap dengan hiasan warna-warni, tabuhan musik tradisional, dan tentu saja, semangat kebersamaan.

2. Pesta Pantai Mappanretasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun