Saya pernah menuliskan di lembar BERSATU tentang kejujuran anak saat mengakui kesalahan kecil di rumah. Guru membalas dengan apresiasi, lalu menegaskan kembali nilai tersebut di kelas. Anak pun merasa dihargai. Dari situ saya melihat bagaimana nilai yang diajarkan tidak berhenti di ruang kelas, melainkan berlanjut di rumah.
Contoh lainnya, ketika anak mulai kesulitan menghafal Qur'an. Saya menuliskan kebingungan itu di lembar BERSATU. Guru tidak hanya memberi tips metode hafalan, tetapi juga memberikan semangat kepada anak agar tidak merasa terbebani. Saat anak tahu bahwa gurunya dan saya sama-sama mendukung, ia jadi lebih bersemangat untuk mencoba kembali.
Tidak hanya itu, kegiatan home visit dan diskusi orang tua semakin mempererat kedekatan. Guru tidak hanya menilai akademik, tetapi juga ingin memahami suasana rumah dan peran kami sebagai orang tua. Dari pertemuan itu, saya belajar bahwa pendidikan bermutu tumbuh dari sinergi positif yang saling menguatkan.
Hadir dengan Batin, Bukan Sekadar Lahir
Menjadi orang tua yang hadir ternyata bukan hanya soal waktu fisik. Kehadiran batin adalah kemampuan untuk mendengarkan anak dengan sungguh-sungguh, menanggapi keresahan mereka, dan memberikan teladan dalam keseharian. Saya sering kali teringat bahwa anak-anak bukan hanya belajar dari nasihat, tetapi juga dari cara kita bersikap.
Komunikasi sirkular dalam program BERSATU membuat saya lebih terbuka untuk menerima masukan, baik dari guru maupun anak sendiri. Kadang saya merasa cara mendidik saya sudah benar, namun ketika guru memberikan catatan, saya menyadari masih ada ruang perbaikan. Inilah makna hadir: berani belajar ulang, bahkan dari anak-anak kita.
Anak-anak kita hidup di tengah derasnya arus informasi, globalisasi, dan tantangan moral. Mereka tidak cukup hanya dibekali kecerdasan akademik, melainkan harus memiliki akhlak dan keteguhan iman. Melalui program seperti BERSATU, saya melihat adanya ekosistem pendidikan yang menyiapkan anak menghadapi tantangan abad 21.
Tantangan abad ini bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada bagaimana anak mampu menjaga identitas, membedakan nilai yang benar dan salah, serta bertahan di tengah perubahan yang cepat. Di sinilah peran sinergi menjadi kunci. Pendidikan bermutu tidak lahir dari satu pihak saja, melainkan dari kolaborasi yang harmonis antara guru, murid, dan orang tua.
Guru, murid, dan orang tua bukan lagi pihak yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan membentuk lingkaran yang saling mendukung. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini memiliki modal besar: bukan hanya kecerdasan kognitif, tetapi juga ketangguhan emosional dan spiritual.
Sebuah Renungan untuk Orang Tua