Perkembangan teknologi digital dalam sektor pendidikan telah membawa perubahan signifikan terhadap metode belajar dan mengajar di sekolah. Contoh yang dapat kita lihat adalah dalam masa Pandemi Covid-19. Pada masa ini proses digitalisasi cenderung meningkat pesat, hal ini memaksa sekolah, guru, dan siswa untuk beradaptasi dengan pembelajaran yang berbasis daring. Seperti yang dijelaskan oleh Sukron Said dkk. (2024), digitalisasi kurikulum merupakan langkah strategis dalam mendukung pelaksanaan Merdeka Belajar, karena memungkinkan akses pembelajaran yang lebih fleksibel dan efisien melalui berbagai platform digital. Namun, digitalisasi ini juga menghadirkan tantangan baru yang mana ketergantungan siswa terhadap perangkat seluler yang semakin meningkat dan berpotensi menurunkan kualitas interaksi sosial serta pembentukan karakter dari para siswanya tersendiri.
Di sisi lain, Anri Saputra (2020) menekankan bahwa revolusi pendidikan 4.0 tidak hanya menuntut penguasaan teknologi, tetapi juga kemampuan literasi digital, moral, dan nilai-nilai karakter. Guru tidak lagi sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi diharuskan mampu menanamkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab dalam penggunaan teknologi. Ketika pembelajaran berpindah dari ruang kelas ke layar monitor, terjadi pergeseran budaya belajar yang sangat terasa yaitu dari proses reflektif dan dialogis menjadi instan dan individualistis. Akibatnya, muncul paradoks antara semangat “merdeka belajar” yang seharusnya membebaskan siswa untuk berpikir mandiri sesuai ide yang dimilikinya, sekarang justru harus dengan realitas di mana mereka dipaksa “terpenjara oleh layar”.
Fenomena ini menunjukkan bahwa digitalisasi pendidikan, meskipun tidak dapat dihindari, dan belum sepenuhnya dapat diimbangi dengan kesiapan sosial dan budaya. Banyak siswa kini malah lebih aktif berinteraksi dengan perangkat daripada dengan guru atau teman sekelas. Nilai-nilai disiplin, empati, dan tanggung jawab perlahan-lahan mulai terkikis oleh budaya instan yang ditawarkan oleh dunia digital. Jika tidak diimbangi dengan penguatan pendidikan karakter dan literasi digital yang kritis, maka kebijakan Merdeka Belajar berisiko kehilangan makna sejatinya kemerdekaan berpikir yang baik adalah yang berlandaskan nilai kemanusiaan.
Penggunaan perangkat seluler di sekolah bukan hanya menjadi masalah teknis, tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial dan budaya. Siswa saat ini hidup dalam budaya instan dimana segala sesuatu harus dilakukan dengan cepat dan praktis. Akibatnya bisa dilihat dari nilai-nilai seperti kesabaran, empati, dan tanggung jawab yang mulai memudar. Dalam perspektif antropologis, ini mencerminkan pergeseran budaya belajar dari yang berbasis interaksi manusia menjadi interaksi dengan layar. Dari sudut pandang sosiologis, jelas terlihat bahwa ruang kelas kehilangan kehangatan sosial, dan guru kehilangan otoritas moralnya karena kalah menarik dibandingkan dengan konten digital yang lebih memikat perhatian siswa.
Guru saat ini berada di titik pertemuan antara berperan sebagai fasilitator teknologi dan pelindung nilai-nilai karakter. Seperti yang dinyatakan oleh Saputra (2020), guru perlu mampu menanamkan kesadaran etis dalam pemanfaatan teknologi, bukan hanya sekadar menguasai aplikasinya. Namun, di lapangan, banyak guru mengalami kesulitan dalam mengendalikan penggunaan ponsel di kelas. Tanpa adanya strategi pembelajaran yang seimbang, sekolah dapat kehilangan perannya sebagai tempat pembentukan karakter dan disiplin.
Tantangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan berhenti menggunakan HP di sekolah. Sebaliknya, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh melalui penguatan literasi digital dan pendidikan karakter digital. Siswa harus dibimbing untuk memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan pusat dari proses belajar. Guru juga memerlukan pelatihan untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam aktivitas digital, seperti melalui proyek kolaboratif, etika berkomentar di dunia maya, dan pembelajaran berbasis refleksi. Sementara pemerintah berperan melalui kebijakan Merdeka Belajar, seharusnya tidak hanya menegakkan metode belajar, tetapi juga menanamkan kesadaran etis digital. Sekolah harus menjadi tempat di mana teknologi digunakan untuk memerdekakan pikiran, bukan untuk membatasi manusia. Sebab, seperti yang diingatkan oleh Sukron Said dkk. (2024), digitalisasi pendidikan hanya berarti jika tetap berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, kemandirian belajar yang sejati bukanlah sekedar kebebasan untuk mengungkapkan layar, melainkan kemampuan untuk berpikir, berinteraksi, dan berperilaku bijak baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sumber Referensi
Said, S., Hidayati, D., Suyatno, S., & Sukirman, S. (2024). Manajemen Pendidikan Manajemen Digitalisasi Kurikulum Merdeka di SMP Indonesia. Manajemen Pendidikan, 19(1), 37–50.
Saputra, A. (2020). Pendidikan dan Teknologi: Tantangan Dan Kesempatan. Indonesian Journal of Islamic Educational Management, 3(1), 21. https://doi.org/10.24014/ijiem.v3i1.9095
Sumber Gambar
https://asset-2.tstatic.net/lampung/foto/bank/images/HP-sebagai-sarana-pembelajaran-di-kelas.jpg
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI