Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Ramadan di Kampung

14 Maret 2022   07:46 Diperbarui: 14 Maret 2022   07:46 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi anak-anak kampung yang tumbuh di era 70-an, bulan suci Ramadan merupakan salah satu pembuktian masa akil baligh mereka. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Saatnya pembelajaran kejujuran, baik terhadap lingkungan maupun diri sendiri.

Pada masa itu, datangnya bulan yang penuh berkah ini sudah 'diwanti-wanti' di saat mengaji dengan beberapa hafalan doa. Mulai dari doa makan sahur, niat puasa, niat tarawih, dan doa buka puasa. Tak lupa pula doa mandi untuk membersihkan seluruh tubuh sehari menjelang puasa.

Mandi bersih-bersih inilah yang paling disuka dan seluruh peristiwa yang berhubungan dengan tempat ini tak mungkin terulang oleh anak-anak kampung generasi sekarang. Kenapa? Karena tempat yang menjadi acara ini berlangsung sudah tak memungkinkan dan layak seperti dahulu.

Ya, semua penduduk kampung akan berduyun-duyun ke sungai dengan membawa wadah berisi air berwarna hitam yang merupakan air rendaman dari batang padi yang dibakar (sekam bakar) untuk membilas rambut. Yang di masa sekarang digantikan dengan shampo.

Tradisi mandi dengan 'shampo alami' itu seakan menjadi bagian dari ritual menyambut datangnya bulan suci yang harus disambut pula dengan tubuh yang bersih sebagai perlambang kesucian.

Yang tak sempat mandinya di waktu pagi, biasanya akan mandi di siang atau pun sore hari.

Bagi anak-anak, acara mandi di sungai itu tentunya juga kesempatan bermain menjadi lebih dominan. Ngalun, menyusuri aliran sungai yang saat itu memang jernih, belum ternodai polusi sampah dan limbah. Hari itu pula sebagai awal membuat kombongan, semacam jebakan ikan yang disusun dari batu-batu dengan satu celah pintu masuk untuk menggiring ikan-ikan mampir ke 'kamar-kamar'. Kombongan yang selalu diintip setiap ngabuburit dan akan dibuka di akhir Ramadan sebagai tambahan untuk lauk di hari Lebaran.

Puasa di hari pertama biasanya dirasakan sangat berat hingga aktifitas kami sebagai anak-anak lebih banyak tidur di tepas tajug (musala berbentuk panggung dengan tambahan bale-bale). Terutama sehabis salat zuhur. Meskipun angin musim kemarau meninabobokan kami untuk tidur, tak urung rasa dahaga membuat kami tak benar-benar tidur sempurna. Tubuh terasa lemas.

Ketika satu kawan mengajak untuk ngalun alias berenang, maka akan disambut dengan sukacita. Menghamburlah kami menuju sungai. Byur, byur, melompat dengan penuh semangat setelah melepas sarung dan pakaian. Segar menyerubungi seluruh tubuh.

Disinilah kenakalan kita tergoda. Sambil berenang, menyelam, kita diam-diam minum! Ya, minum air sungai agar tidak dahaga. Dan kita pun berpuas diri bermain air.

Kita tetap mengaku belum batal puasa hingga jelang berbuka. Dan itu dilakukan tidak hanya sekali dua kali. Kadang minum di pancuran pinggir sungai ketika berwudu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun