Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinasti, Monarki, dan Demokrasi

19 Januari 2021   02:07 Diperbarui: 19 Januari 2021   07:26 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

     Dengan segenap keistimewaan yang dimiliki, sekaligus otoritas yang tak terbatas maka sering menjadikan seorang raja lupa diri. Kekuasaan raja menjadi sedemikian absolut. Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan membuat rakyat geram dan berontak terhadap kekuasaan yang otoriter tersebut. 

     Thomas Hobbes sendiri berpendapat bahwa kekuasaan absolut itu wajib ada karena penguasa (raja) telah menerima wewenang dari rakyatnya yang sudah menyatakan kesediaan untuk diperintah. Inilah yang dikenal dalam ilmu politik sebagai "kontrak sosial". Meski Hobbes menolak pembatasan terhadap kekuasaan, namun menurutnya seorang raja tetaplah harus menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan mengikuti hukum Tuhan serta hukum kodrat.

     Upaya untuk membatasi kekuasaan yang absolut dari seorang raja dilakukan oleh filsuf Inggris berikutnya, John Locke (1632-1704) yang menentang pandangan Hobbes tersebut. Menurut Locke, kontrak sosial bukanlah bentuk penyerahan hak tanpa syarat. Karena penguasa yang sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya perlu dilawan.

     Gagasan John Locke ini membuat penguasa Inggris mengeluarkan Bill of Right, sebagai upaya membatasi penetapan hukuman yang dianggap lalim dan tak lazim oleh raja pada masa itu. 

     Revolusi Perancis (1789-1799) merupakan puncak dari perlawanan terhadap kekuasaan monarki absolut. Yang secara radikal mengubah tatanan sosial maupun sistem kenegaraan. Dengan semboyan liberte, egalite, fraternite, revolusi itu pun menghadirkan konsep persamaan hak setiap orang dalam pemerintahan tanpa memandang garis keturunan darah biru. Demokrasi akhirnya menggantikan dinasti. Berpadu dengan pemikiran Montesquieu lewat trias politica-nya, menghadirkan sistem kenegaraan modern yang membagi hak kekuasaan dalam bernegara.

Dinasti dalam Demokrasi

     Sistem demokrasi, sesuai asasnya tak serta merta menutup pintu bagi hadirnya kembali sebuah dinasti. Karena dalam praktik demokrasi, yang utama adalah membagi kewenangan kekuasaan agar tak terjadi kekuasaan yang terpusat pada satu tangan.

     Montesquieu (1689-1755) adalah pemikir besar Perancis yang melahirkan gagasan pemisahan kekuasaan negara menjadi 3 (tiga): kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, dan kekuasaan yudikatif sebagai pengawas pelaksanaan undang-undang.

     Pemisahan kekuasaan dalam trias politca tersebut menjadi landasan dalam membentuk pemerintahan modern, baik berbentuk negara monarki maupun republik. 

     Monarki Inggris yang kini dipimpin oleh seorang ratu tetap dihormati sebagai kepala negara. Sementara kepala pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dipilih secara demokratis. Begitu pun dengan negara Jepang. Meskipun masih ada juga beberapa negara monarki yang yang masih menjalankan kekuasaan dengan kewenangan penuh di tangan raja.

     Yang paradoks adalah negara-negara sosialis komunis yang meskipun  meng-klaim sebagai negara republik namun kekuasaannya hanya dipegang oleh satu partai saja. Bahkan negara Korea Utara merupakan republik sosialis satu-satunya di dunia yang bercorak monarkis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun