Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar aktif

manusia sanguin kholeris yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Operasi Hitung Distributif dari Bakat

25 September 2020   04:30 Diperbarui: 25 September 2020   09:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
academylifearts.com

“Apakah Anda percaya dengan bakat?”

Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh salah seorang teman ketika kami sedang melakukan obrolan daring. Entah dari mana, membawa dia menanyakan hal semacam itu.

Ketika hendak menjawab pertanyaan tersebut membuat saya berpikir cukup lama untuk membalasnya. Namun saya memutuskan untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang, “Apa itu bakat?”.

Setelah membaca beberapa pengertian, akhirnya saya menyimpulkan bahwa bakat adalah kemampuan yang bersifat bawaan yang dimiliki seseorang sebagai potensi yang masih harus terus diasah dan dikembangkan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bakat seseorang, di antaranya faktor lingkungan, motivasi, minat, dan lain-lain.

Begitu memahami arti dari bakat itu sendiri, saya memutuskan untuk menjawabnya, “Kaum netral”. Menjadi netral bukan berarti tidak saya tidak berprinsip, hanya saja bukan tanpa alasan mengapa saya menjawab seperti itu.

Jujur, saya tergolong orang yang meyakini bahwa “Usaha tidak akan menghianati hasil”. Selain itu, saya juga percaya bahwa setiap orang memiliki kecenderungan di bidang masing-masing, pada akhirnya jatuhnya juga disebut bakat. Begitulah jawaban saya saat itu, yang belum begitu tahu menahu tentang bakat.

Ketika teman saya telah melihat balasan tersebut, dengan cepat pesan saya pun terbaca kemudian terbalas. Teman saya memberikan jawaban yang cukup panjang, kurang lebih seperti ini:

“Sebelumnya, aku berpikiran bahwa bakat itu tidak ada. Karena semua orang pasti bisa menjadi apa yang dia inginkan selama dia mau bekerja keras. Seperti musisi hebat di luar sana, pasti mereka melalui perjuangan yang sangat hebat pula. Tetapi ketika SMA munculah pemikiran yang lain, dimana aku sedang mempertanyakan pendapatku sebelumnya. “Kalau bakat itu tidak ada, mengapa ada orang yang terlahir dengan suara yang indah tanpa memerlukan latihan khusus dan mengapa ada pula orang yang terlahir dengan pendengaran yang sangat tajam mengenai nada (perfect pitch). Lalu apakah orang yang tanpa didasari oleh bakat mampu menyaingi mereka yang sudah terlahir dengan kelebihan tersebut?””.

Wow, melihat balasan yang berisi itu, dalam hati bergumam, “Pembahasan mu mengalihkan dunia ku”. Dia adalah salah satu teman yang begitu menggandrungi permusikan duniawi, bahkan saya  sempat bertanya-tanya, “Alih-alih kuliah di bidang musik, mengapa dia memutuskan untuk konsen di bidang yang lain?”.

Tentu saja, pertanyaan tersebut akan dijawab dengan ketidakseriusan nya. Kami sempat berkolaborasi untuk menciptakan sebuah lagu anak, dan Alhamdulillah projek tersebut berhasil. 

Kami berkolaborasi dan dia mengambil peran sebagai arranger. Tidak diragukan lagi skill nya. Itulah mengapa pertanyaan yang dilontarkan nya menyertakan permisalan yang berbau seni musik. Singkat cerita, setelah melalui diskusi yang cukup panjang, akhirnya kami berdua sepakat bahwa bakat itu ada.

Entah mengapa di tengah diskusi kami saat itu, saya teringat akan sebuah pendapat yang diusung oleh salah satu penulis yang sempat bekerja di The New Yorker, sebuah majalah kala itu. Beliau adalah Malcolm Gladwell dengan hukum 10.000 jam untuk menjadi ahli. 

Sederhananya hukum tersebut menjelaskan bahwa untuk menjadi ahli, seseorang perlu menghabiskan sebanyak 10.000 jam untuk melakukan dan mempelajari hal tersebut agar menjadi ahli di bidang tersebut.

Dari situ saya beranggapan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ahli pada suatu bidang tanpa harus memiliki keahlian di bidang tersebut. Salah-kah apabila saya menyimpulkan seperti itu?

Namun, di sisi lain saya juga percaya bahwa setiap orang yang lahir di dunia, pasti satu paket dengan keunikan yang di punya. Itulah mengapa ketika ada orang yang menganggap dirinya bodoh, dalam hati, saya hanya ber-gumam bahwa dia hanya belum menyadari potensinya saja, tepatnya saya pernah berada di posisi mereka yang sedang mempertanyakan tentang diri saat itu.

Dari diskusi kecil yang tiba-tiba tersebut juga menyadarkan saya akan suatu hal, yaitu effort adalah kuncinya. Rasionalisasi dari pernyataan tersebut adalah tidak ada sesuatu yang didapat dengan cuma-cuma, sama dengan eksistensi dari bakat itu sendiri.

Rizki yang sudah pasti saja,  kita masih perlu menjemputnya,  sama halnya dengan bakat, masih perlu untuk diasah. Pertanyaan nya adalah mengapa bakat perlu dikembangkan atau diasah? Entah di buku apa, saya lupa, intinya mereka menjelaskan bahwa bakat itu bersifat laten potensial dimana dia dapat terus dikembangkan.

Memang, bisa dikatakan mencari tahu apa bakat kita itu cenderung lebih susah daripada mencari apa yang kita minati. Namun, dari pada menghabiskan waktu untuk mencari tahu bakat yang kita miliki tanpa melakukan apa-apa, bagaimana jika kita terus ber-eksplorasi sembari berusaha mendeteksi mana yang menurut kita dapat dikatakan bakat kita? Meminta bantuan orang tua atau orang-orang terdekat untuk menerka-kan kira-kira apa bakat kita, bukanlah suatu ide yang buruk.

Coba bayangkan, apabila seseorang telah bermodalkan talenta bawaan tetapi tidak pernah diasah, tentu saja mereka yang berbakat tetapi enggan mengasah akan kalah dengan mereka yang menganut hukum 10.000 jam untuk menjadi ahli, menurut saya. Itulah mengapa, saya menyimpulkan bahwa effort adalah kuncinya.

Lain cerita apabila modal yang telah dimiliki berupa bakat bawaan kemudian di-optimalkan semaksimal mungkin, tentu saja dia akan menjadi expert pada bidang nya. Setidaknya dia akan berada di satu tingkat lebih tinggi dari mereka yang tidak memiliki bakat di bidang tersebut namun berusaha untuk terus belajar.

Bukan bermaksut ingin mengucilkan hati mereka-mereka yang mungkin sampai detik ini masih belum menemukan keahlian mereka atau mematahkan semangat mereka-mereka yang sudah berusaha sampai detik ini dengan menghiraukan potensi apa yang dimiliki atau mereka yang memiliki suatu alasan yang menyebabkan tidak bisa mengoptimalkan bakatnya sehingga mencari opsi lain, dan lain sebagainya.

Tidak, tidak ada maksut menyudutkan siapapun. Justru, ingin mengatakan terima kasih karena telah memilih jalan untuk terus berjuang dan pantang menyerah. Tidak bermaksut menyudutkan siapapun, karena kita semua sama. Kita adalah manusia, yang hanya bisa berdoa dan berusaha, ditambah paket tawakal nya.

Jadi, operasi hitung distributif dari bakat adalah:

  1. Bakat x (-Effort + diabaikan) = (Bakat-effort) + (Bakat+diabaikan) = Bakat kurang effort untuk terus mengasah + Bakat yang diabaikan = Mubadzir.
  2. Bakat x (Effort + diperhatikan) = (Bakat+effort) + (Bakat+diperhatikan) = Bakat tambah effort untuk terus mengasah + Bakat yang diperhatkan= Ahli dalam bidang tersebut.
  3. – Bakat x (Effort+ pantang menyerah) = (-Bakat + Effort) + (-Bakat+ pantang menyerah)= Tidak berbakat tetapi ada Effort untuk belajar + tidak berbakat tetapi pantang menyerah= Terdapat kemungkinan untuk menjadi ahli.

Kiranya cukup sekian, semoga bermanfaat. Dengan senang hati menerima masukan atau tanggapan. Terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun