Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gerakan Cinta Bahasa Indonesia di Sekolah

14 Oktober 2019   14:27 Diperbarui: 14 Oktober 2019   14:37 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suaranya serak, dengan artikulasi yang  tegas dan sesekali Ia meninggikan  intonasi, lalu di bagian lain suaranya melembut. Gestur tubuhnya begitu selaras mendukung setiap point penting pidatonya. Tatapan matanya tak henti menyorot teman-teman, juri dan para guru, penontonnya siang itu. 

Di balik podium, Elsa Bire (15) berpidato mengupas isu etika berbahasa Indonesia di media sosial dengan lugas dan menawan. Tepuk tangan penonton membahana di bawah rindang barisan pohon asam (Tamarindus Indica), begitu Elsa menutup sesi pidatonya.

Elsa adalah satu dari 28 siswa peserta lomba pidato dalam rangka memperingati bulan bahasa dan sastra nasional di SMAN Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan--NTT pada 3 Oktober lalu.  Tema pidato secara umum adalah kesantunan berbahasa di media sosial. 

Kegiatan bulan bahasa di sekolah yang letaknya persis di pinggir Laut Timor ini berlangsung sederhana. Lapangan bola voli disulap menjadi panggung pidato dan beberapa lomba lain. Area penonton dan juri lomba memanfaatkan teduhnya sejumlah pohon asam yang memenuhi halaman sekolah.

Meski sederhana, tetapi kegiatan ini memiliki nilai filosofis mulia, terutama untuk menanamkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda. Sekolah sebagai entitas pembentuk karakter peserta didik menjadi salah satu lokus menanamkan benih kecintaan anak-anak pada Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. 

Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang membentuk wilayah nusantara, kemudian terdapat setidaknya 1.331 kelompok suku, dan 652 bahasa daerah di Indonesia, bisa dibayangkan jika aneka keragaman ini eksis tanpa ada satu bahasa yang mempersatukan. 

Momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 telah menjadi tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, di mana fungsionalitas bahasa nasional merupakan instrument penting dalam upaya menyatukan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dan karenanya, kita semua wajib menjaga eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan alat pemersatu bangsa.  

Dalam konteks persatuan dan kesatuan, ancaman keutuhan bangsa tidak hanya soal disintegrasi dan radikalisme, tetapi juga disrupsi dalam penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. 

Penggunaan ragam jejaring media sosial secara masif telah melahirkan perspektif baru dalam cita rasa berbahasa, melenceng dari kaidah dan norma Bahasa Indonesia, yang kemudian kerap mengundang perdebatan para ahli dan praktisi bahasa.

Tipikal bahasa anak-anak remaja dalam aktivitas texting di aplikasi pengolah pesan maupun di media sosial adalah salah satu contohnya.  Sejumlah kata, frase dan ungkapan-ungkapan yang dipakai merupakan hasil modifikasi dari sumber asli Bahasa Indonesia. Bahasa alay, demikian istilah populernya. Kata alay merujuk pada akronim anak lebay. Bahasa alay adalah bahasa gaul dalam bentuk tulisan atau lisan yang merupakan kombinasi dari huruf, singkatan, kode, visualisasi dan angka.  

Ada banyak kata hasil modifikasi yang sering ditemui, misalnya saia/aq (saya, ) ciyus, (serius) miapa (demi apa), kayakx (kayaknya), ciyan (kasihan), maacih (terimakasih), wkwkwk (tertawa). Ada juga frase atau klausa yang disingkat menjadi satu term, contohnya susis (suami takut isteri), piktor (pikiran kotor), semangka (semangat kakak), titidj (hati-hati di jalan). Dalam bentuk kalimat, misalnya"Aq mw k rmh k4mu" artinya "saya mau pergi ke rumahmu", penggalan kalimat seperti ini sering ditemukan di media sosial.

Fenomena linguistik ini menarik untuk dikaji, misalnya pada ranah sosiolinguistik dan morfologi. Kalangan usia remaja seperti memiliki varian bahasa sendiri, dengan struktur dan bentuk yang kerap hanya dipahami dikalangan mereka sendiri. Varian bahasa itu tidak lahir dari suatu konsensus tertentu, kecuali semata-mata melalui frekuensi, pola dan kebiasaan komunikasi dalam komunitas mereka.  Pada ranah ilmu pengetahuan, gejala ini memang menarik untuk ditelaah melalui riset-riset yang mendalam.  

Akan tetapi, kaitannya dengan fungsi dan eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, fenomena ini justru tidak produktif.   Gaya bahasa di media sosial seperti menjadi pelemahan terhadap prinsip penggunaan Bahasa Indonesia sesuai kaidah. 

Celakanya, fenomena ini justru terjadi dikalangan generasi muda Indonesia. Jika jiwa nasionalisme diukur salah satunya dari kecintaan  pada bahasa nasional, maka fenomena ini perlu diberi garis tebal oleh berbagai pihak terkait. Perlu ada kajian untuk mencari titik temu, bagaimana sebaiknya Bahasa Indonesia digunakan sesuai norma dan kaidah,  baik di media sosial maupun aplikasi messanger.

Foto: bahasa.foresteract.com
Foto: bahasa.foresteract.com
Mesti dicatat, di belahan dunia lain, Bahasa Indonesia justru sedang digandrungi dan menarik minat banyak negara untuk mempelajarinya. Tercatat ada delapan negara,  (Australia, Kanada, Jepang, Vietnam, Ukraina, Korea Selatan, Hawai dan Suriname) yang memasukan Bahasa Indonesia untuk di pelajari dalam kurikulum pendidikan mereka.  

Di Australia, ada sekolah yang bahkan telah mengajarkan Bahasa Indonesia selama 30 tahun. Macarthur Anglican School di Sydney misalnya. Di sekolah ini, Bahasa Indonesia diajarkan sebagai pelajaran wajib, dari masa prasekolah hingga kelas 8 atau setara SMP dan dapat dipilih sebagai mata pelajaran pilihan oleh siswa kelas 9 hingga 12 atau setingkat SMA. 

Keputusan ini di antaranya dipengaruhi oleh hubungan kemitraan strategis kedua negara dan menurut otoritas sekolah, mempelajari Bahasa Indonesia bagi siswa adalah sebuah keuntungan di masa depan. Sebagai bahasa asing di Australia, Bahasa Indonesia justru dilihat memiliki prospek sebagai kompetensi yang harus dikuasai.

Contoh di Australia, juga cara SMAN Kualin memperingati bulan bahasa dengan kegiatan pidato sebagaimana  prolog tulisan ini membuktikan, bahwa sekolah bisa menjadi tempat efektif untuk memartabatkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, alat pemersatu bangsa. 

Upaya diseminasi informasi dan kampanye penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah, bisa dimulai dari sekolah dengan peserta didik sebagai klien utama. Gerakan cinta Bahasa Indonesia di sekolah, diharapkan membawa dampak pada perilaku berbahasa peserta didik di media sosial dan aktivitas internet lainnya. Sekolah harus menjadi tempat untuk memperkuat fungsionalitas Bahasa Indonesia.

Bagaimanapun, jika merujuk pada Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, menunjukan pengguna penetrasi internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa dengan persentasi pengguna terbesar adalah remaja pada rentang usia 13-18 tahun atau 75 persen. 

Data lain sebagaimana dirilis harian Kompas (8/11/2018), sebanyak 87,13-89,35 persen dari aktivitas digital orang Indonesia dipakai untuk mengakses media sosial dan aplikasi berbasis messanger. Aplikasi media sosial menyedot pengguna dalam jumlah yang sangat besar, berturut-turut facebook mencapai 130 juta akun, Whatsapp 99,2 juta, dan Instagram  53 juta akun. 

Bisa jadi, fakta ini  juga memberikan kita gambaran potensi kerusakan Bahasa Indonesia dalam skala yang besar, terutama itu berasal dari aktivitas online para pengguna jejaring media sosial dan aplikasi pesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun