Fenomena linguistik ini menarik untuk dikaji, misalnya pada ranah sosiolinguistik dan morfologi. Kalangan usia remaja seperti memiliki varian bahasa sendiri, dengan struktur dan bentuk yang kerap hanya dipahami dikalangan mereka sendiri. Varian bahasa itu tidak lahir dari suatu konsensus tertentu, kecuali semata-mata melalui frekuensi, pola dan kebiasaan komunikasi dalam komunitas mereka. Â Pada ranah ilmu pengetahuan, gejala ini memang menarik untuk ditelaah melalui riset-riset yang mendalam. Â
Akan tetapi, kaitannya dengan fungsi dan eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, fenomena ini justru tidak produktif. Â Gaya bahasa di media sosial seperti menjadi pelemahan terhadap prinsip penggunaan Bahasa Indonesia sesuai kaidah.Â
Celakanya, fenomena ini justru terjadi dikalangan generasi muda Indonesia. Jika jiwa nasionalisme diukur salah satunya dari kecintaan  pada bahasa nasional, maka fenomena ini perlu diberi garis tebal oleh berbagai pihak terkait. Perlu ada kajian untuk mencari titik temu, bagaimana sebaiknya Bahasa Indonesia digunakan sesuai norma dan kaidah,  baik di media sosial maupun aplikasi messanger.
Di Australia, ada sekolah yang bahkan telah mengajarkan Bahasa Indonesia selama 30 tahun. Macarthur Anglican School di Sydney misalnya. Di sekolah ini, Bahasa Indonesia diajarkan sebagai pelajaran wajib, dari masa prasekolah hingga kelas 8 atau setara SMP dan dapat dipilih sebagai mata pelajaran pilihan oleh siswa kelas 9 hingga 12 atau setingkat SMA.Â
Keputusan ini di antaranya dipengaruhi oleh hubungan kemitraan strategis kedua negara dan menurut otoritas sekolah, mempelajari Bahasa Indonesia bagi siswa adalah sebuah keuntungan di masa depan. Sebagai bahasa asing di Australia, Bahasa Indonesia justru dilihat memiliki prospek sebagai kompetensi yang harus dikuasai.
Contoh di Australia, juga cara SMAN Kualin memperingati bulan bahasa dengan kegiatan pidato sebagaimana  prolog tulisan ini membuktikan, bahwa sekolah bisa menjadi tempat efektif untuk memartabatkan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, alat pemersatu bangsa.Â
Upaya diseminasi informasi dan kampanye penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah, bisa dimulai dari sekolah dengan peserta didik sebagai klien utama. Gerakan cinta Bahasa Indonesia di sekolah, diharapkan membawa dampak pada perilaku berbahasa peserta didik di media sosial dan aktivitas internet lainnya. Sekolah harus menjadi tempat untuk memperkuat fungsionalitas Bahasa Indonesia.
Bagaimanapun, jika merujuk pada Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, menunjukan pengguna penetrasi internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa dengan persentasi pengguna terbesar adalah remaja pada rentang usia 13-18 tahun atau 75 persen.Â
Data lain sebagaimana dirilis harian Kompas (8/11/2018), sebanyak 87,13-89,35 persen dari aktivitas digital orang Indonesia dipakai untuk mengakses media sosial dan aplikasi berbasis messanger. Aplikasi media sosial menyedot pengguna dalam jumlah yang sangat besar, berturut-turut facebook mencapai 130 juta akun, Whatsapp 99,2 juta, dan Instagram  53 juta akun.Â
Bisa jadi, fakta ini  juga memberikan kita gambaran potensi kerusakan Bahasa Indonesia dalam skala yang besar, terutama itu berasal dari aktivitas online para pengguna jejaring media sosial dan aplikasi pesan.