Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cak Doko, Grandprix dan Pendidikan di NTT

12 Januari 2019   20:21 Diperbarui: 4 Maret 2019   19:17 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari segi potensi sumber daya alam, NTT sudah kering kerontang sejak dulu. Di masa lalu, keadaan itu tidak jadi masalah, malah membakar semangat sejumlah anak muda NTT untuk bersekolah sebagai alternatif mengubah kehidupan yang lebih baik.

Sebagai contoh, kecintaan pada pendidikan mendorong seorang putra Sabu meninggalkan kampung halaman nan tandus pada usia yang sangat muda untuk menuntut ilmu di Ambon kemudian melanjutkan ke Bandung. Dia adalah Izaak Huru Doko, atau populer dengan sebutan Cak Doko. Lahir di Sabu pada 1913, Cak Doko merantau ke Ambon- Maluku setelah menyelesaikan pendidikan desa 3 tahun di Sabu. Pada 1937, saat selesai pendidikan di Bandung, Ia ditempatkan sebagai guru muda pada Openbare Schakel School di kota Kupang, ibu kota keresidenan Timor.

Kiprahnya di bidang pendidikan dijalani dengan motto: "memerangi kemiskinan dan ketertinggalan melalui pendidikan". Cak Doko benar-benar tulus mendedikasikan dirinya di bidang pengajaran dan pendidikan di NTT, ketika menjabat Kepala Inspeksi Pengajaran Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja, sejak 1950 sampai 1958. Saat Propinsi NTT resmi dibentuk tahun 1958, beliau diangkat menjadi Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT berkedudukan di Kupang sejak 1958 sampai dengan masa pensiunnya ditahun 1971.

Sampai dengan masa pensiunnya beliau tetap aktif dalam berbagai jabatan dibidang pendidikan, sebagai ketua Yayasan Pendidikan Kristen NTT (Yupenkris), mendirikan Akademi Teologia Kupang, mendirikan Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang; dan Anggota Presidium dan Dewan Penyantun Universitas Nusa Cendana-Kupang. Atas jasanya dalam bidang pendidikan ini, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan Pendidikan.

Puluhan tahun kemudian, sosok impian macam Cak Doko seperti lahir kembali dalam diri Grandprix Kadja, pemuda 24 tahun kelahiran Kupang. Grandprix saat ini menjadi doktor paling muda se Indonesia, ketika menyelesaikan disertasinya di ITB pada 2017 lalu.

Anak muda asli NTT ini lulus S1dan S2 Kimia, dari Universitas Indonesia pada usia 19 tahun, sangat muda. Ia lalu lebih memilih melanjutkan program doktoralnya di ITB, dan mengabaikan tawaran beasiswa doktor ke Korea Selatan. Selama empat tahun studi doktor, ia mampu menghasilkan 7 jurnal berskala internasional.

Grandprix memang istimewa, SMP SMA dia habiskan di kelas akselerasi. Prestasi seperti inilah yang ingin ditularkan kepada banyak anak NTT, saat ini.

Sumber: tamanbacaanpelangi.com
Sumber: tamanbacaanpelangi.com
           

  

Sayang, pendidikan NTT hari ini belum secemerlang kisah Cak Doko dan Grandprix. Sebaliknya cerita piluh kerap mewarnai dunia pendidikan di NTT dalam beberapa dekade terakhir.

Misalnya, nilai Ujian Nasional/UN siswa NTT kerap diurutan terakhir secara nasional. Pada UN tahun 2007/2008, NTT menempati peringkat ke-33 atau terakhir dari 33 propinsi di Indonesia. Sejak saat itu, dalam sepuluh tahun terakhir, peringkat NTT stagnan pada posisi 3 terbawah bersama Papua dan Papua Barat. Pada UN 2017 dan 2018, pemerintah pusat tidak lagi melakukan perankingan hasil UN secara nasional, tetapi hasil pemetaan masih menempatkan NTT di peringkat bawah.

Ada masalah klasik, di bidang infrastruktur, banyak sekolah tidak dilengkapi fasilitas dan sarana prasarana belajar memadai. Ratusan sekolah setiap jenjang melaksanakan kegiatan belajar dengan gedung apa adanya dari bahan lokal.

Sebaran sekolah juga tidak merata antara wilayah perkotaan dan pelosok. Ketersediaan sumber daya manusia guru juga menjadi tantangan besar secara kualitatif, selain distribusi yang timpang antar sekolah.

Akumulasi semua masalah ini mencapai klimaks pada akhir tahun 2017. Saat itu orang NTT di berbagai tempat tersentak mendengar pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Efendi. 

Pernyataan Pak Menteri itu untuk merespon laporan Program for International Students Assesment (PISA) dalam rapat UNESCO Nopember 2017 terkait rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Kepada sebuah media nasional pada Desember 2017, Mendikbud menyebut jika sampel survey tersebut adalah siswa-siswi di NTT. Pernyataan itu mengundang beragam reaksi, sebagian besar dalam bentuk kemarahan, seolah-olah keterpurukan kualitas pendidikan Indonesia semata-mata karena kontribusi anak-anak NTT.

Mestinya, pernyataan Mendikbud itu menuntun kita pada pertanyaan, bagaimana tata kelola pengembangan pendidikan di NTT selama ini? Sejauh mana peran para pihak terkait dalam ekosistem pendidikan di NTT?

Sebagai sebuah sistem yang kompleks, pengembangan pendidikan pada hakekatnya melibatkan banyak elemen penting, antara lain pemerintah, lembaga legistatif, guru sebagai front line staf--eksekutor kurikulum pendidikan dan keluarga serta masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficaries) layanan pendidikan. Penting untuk meneropong lebih jauh, peran masing-masing pihak tersebut dan dampaknya terhadap penyelenggaraan pendidikan di NTT.

Pertama, pemerintah pada berbagai hirarki merupakan pemangku kewajiban utama (duty bearer) yang bertanggung jawab penuh pada penyelenggaraan pendidikan. Meskipun urusan pendidikan kita bersifat sentralistik, tetapi dalam pelaksanaanya peran dalam porsi besar justru dimainkan pemerintah kabupaten dan kota. Komitmen pemerintah pada level inilah yang menentukan keberhasilan pengembangan pendidikan. Sayangnya, sudah bertahun-tahun pemda di NTT belum menunjukan komitmen menggembirakan.

Di bidang anggaran misalnya, pada tahun 2016 dan 2017 berdasarkan data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang dihimpun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tak ada satupun pemkab/pemkot, termasuk pemprop NTT yang mengalokasikan anggaran untuk urusan pendidikan, murni dalam APBD.

Selain itu, mekanisme penyusunan program dan penganggaran untuk bidang pendidikan masih menggunakan sudut pandang orang dinas pendidikan, belum mengakomodir input dari berbagai pihak terkait, misalnya guru, orang tua, organisasi profesi, dewan pendidikan dan masyarakat umum. Ada kesan, program yang didesain dinas pendidikan hanya bersifat copy paste dari tahun ke tahun.

Sebagai contoh, program kapasitasi guru cenderung monoton, dilaksanakan menjelang UN, dengan kegiatan semisal bedah SKL dan prediksi soal, berulang-ulang dari tahun ke tahun. Program demikian menggambarkan kecendrungan layanan pendidikan kita yang berorientasi pada hasil, bukan proses. Ini bisa dibuktikan dengan ketiadaan pelatihan, misalnya memfasilitasi pembelajaran yang menarik bagi guru-guru.

Berikut, saat ini distribusi guru antar sekolah perlu diperbaiki. Banyak guru menumpuk di sekolah A, sementara di sekolah B malah kekurangan guru. Sekolah di pelosok paling menderita dengan kondisi ini.

Kedua, peran DPRD juga vital. Fungsi bujeting dilegislatif belum mencerminkan komitmen dan dukungan para legislator untuk pendidikan daerah. Peran pengawasan untuk mengoreksi program-program dinas pendidikan yang kurang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan juga minim.

Ambil contoh, berapa banyak pemda di NTT yang mengintervensi bantuan ke sekolah untuk mendukung pelaksanaan UN berbasis komputer? Hampir semuanya berharap dari bantuan Kementrian Pendidikan. Jarang ada upaya komisi terkait di DPRD yang mengadvokasi ini.

Pelajaran terkini dari Kota Kupang pada awal 2019 misalnya, di tengah upaya memperbaiki kualitas pendidikan di kota Kupang yang kini berada di urutan ke-18 di antara pemde se NTT, pemkot justru mengalokasikan anggaran Rp. 6M untuk membeli seragam bagi peserta didik. Tidak berarti program ini buruk, tetapi jika substansi penganggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan daerah, maka bahasa program mestinya bukan pengadaan seragam sekolah.

Ketiga, keberhasilan pendidikan secara umum salah satunya ditentukan oleh kualitas guru. Di NTT, ini persoalan pelik. Pendidikan di NTT menghadapi tantangan besar tentang guru, dengan isu-isu seperti minimnya kualifikasi pendidikan, distribusi yang tidak merata, kurangnya kegiatan pelatihan bagi guru-guru, dan buruknya sistem pengupahan untuk guru-guru non PNS.

Pada tahun 2010, menurut data di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), NTT memiliki guru sebanyak 75.352 dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Separuh dari jumlah ini merupakan guru non PNS dengan berbagai katagori. Jumlah mereka mencapai 32.642 orang, dengan rincian guru honor propinsi 1.009 orang, honor kabupaten/kota 105, guru bantu 447, guru yayasan 3.775 dan guru tidak tetap sebanyak 23.502 orang.

Pada 2017, jumlah guru di NTT lebih dari 90 ribu orang, tercatat sesuai Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada Bidang Guru dan Tenaga Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Separuh dari jumlah ini adalah guru non PNS dengan berbagai status. Ada guru kontrak daerah, kontrak provinsi dan honor komite. Guru-guru honor komite inilah yang paling menderita atas sistem pengupahan yang tidak manusiawi.

Mereka dibayar 300-500ribu per bulan, itupun tidak rutin dibayar setiap bulan, tetapi kinerja mereka diukur dengan standar nasional pengelolaan pendidikan di Indonseia. Bagi saya, tata kelola guru merupakan salah satu masalah paling buruk dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini.

Di sisi lain, harus diakui, guru juga turut berkontribusi pada buruknya kualitas pendidikan di NTT. Kreatifitas mengajar berpengaruh besar pada kemampuan anak-anak. Di kabupaten Kupang pada 2016, ada temuan di Fatuleu Barat, di mana anak SD kelas IV-VI belum bisa membaca. Ini pukulan telak, di tengah upaya besar pemerintah mensejahtrakan guru dengan tunjangan profesi dan lainnya.

Keempat, orang tua/keluarga juga tidak boleh tutup mata pada pendidikan anak. Sebagai pendidik di pelosok, saya menemui cara pandang orang tua yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak pada guru di sekolah.

Di rumah, orang tua sangat jarang mengontrol dan memperhatikan waktu belajar anak. Dampaknya, pembelajaran selama 8 jam di sekolah sama sekali tidak ada penguatan dengan belajar di rumah. Bagaimanapun, orang tua wajib menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan prioritas anak, termasuk waktu belajar di rumah.

Jangan lupa, angka putus sekolah di NTT tinggi, juga dipicu oleh minimnya perhatian dan kesadaran orang tua pada pendidikan anak. Pada 2015 misalnya, ada 4.000 lulusan SMP, tetapi data dinas Pendidikan provinsi mencatat lulusan dalam jumlah besar tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau sederajat.

Ketakutan terbesar saat ini atas tingginya angka putus sekolah di NTT adalah, jika anak-anak itu tersesat di rimba raya perdagangan orang dan pekerja anak. 

 Data Lembaga Perindungan Anak NTT, pada 2010 tercatat setidaknya 23.103 anak di bawah umur di NTT dikatagorikan pekerja anak dengan alasan ekonomi dan tradisi budaya. Dari jumlah itu, 18,91 persennya merupakan anak yang tidak pernah bersekolah. Selain itu, terdapat 40,45 persen anak yang belum tamat SD, 32,29 persen tidak tamat SMP dan tidak tamat SMA sebesar 1,35 persen. LPA NTT juga mencatat pada 2013, jumlah anak jalanan yang bekerja di berbagai sektor di NTT mencapai 3.762 orang, termasuk 150 di antaranya adalah anak yang dilacurkan. 

Inilah tugas berat seluruh pihak terkait dalam ekosistem pendidikan di NTT. Pemerintah, guru, orangtua dan masyarakat umum harus bersatu padu, untuk menjadikan sektor pendidikan sebagai pintu keluar strategi memerangi kemiskinan di NTT.

Sumber;

www.kabarinews.com | www.jpnn.com | www.pos-kupang.com | www.detik.com | www.npd.kemdikbud.go.id

www.tempo.co.id

www.beritasatu.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun