Mohon tunggu...
Mabda Dzikara
Mabda Dzikara Mohon Tunggu... Dosen Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta

Tanamkan Kebaikan di Setiap Jengkal Tanah Kehidupan | Hobi Camping, Hiking, Reading | Pemerhati Agama, Sosial, Politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisruh Kuota Haji: Antara Hukum, Politik, dan Kita

14 September 2025   19:05 Diperbarui: 14 September 2025   19:05 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisruh haji ini bukan sekadar soal pelaksanaan ibadah yang dinilai kurang baik; ia telah bergeser menjadi perebutan kursi dan kuasa. KPK mengusung seruan "follow the money" --- frasa yang menggema, tetapi mudah sekali jadi hiburan retoris bila aliran itu tak benar-benar ditelusuri sampai ke ujungnya. Uang, seperti air, punya saluran berliku; anehnya, media kerap menggiring publik ke satu keran seakan di situlah seluruh aliran berakhir.

Arah serangan KPK terasa terlalu telanjang untuk dikatakan murni teknis. Terlalu cepat, hingga sulit dipisah dari aroma politisnya. Semua tahu: yang dipotret bukan hanya pejabat teknis di kementerian, melainkan simbol---pucuk pimpinan organisasi besar yang masih punya pengaruh elektoral. Dalam logika pertarungan kekuasaan, suksesi muktamar 2027 adalah medan gladi, tempat bidak-bidak dijatuhkan lebih awal agar peta 2029 lebih mudah digambar.

Ironisnya, nama Dirjen Haji hampir tak terdengar. Jika benar ada "uang kuota", mungkinkah seorang dirjen benar-benar steril dari arus tersebut? Publik baru mendengar nama itu secara lebih luas per 11 September --- namun pemberitaan dan jagat media sosial tetap lebih suka menyorot nama yang lebih menjual. Simbol lebih cepat dihantam daripada jejak transaksi yang rumit.

Akibatnya, marwah PBNU ikut terseret ke meja peradilan opini. Belum ada bukti bahwa uang kuota sampai ke sana, tetapi simbol sudah dipukul. Inilah mekanik politik yang sering dipakai: rusak-kan reputasi lebih dulu, biarkan proses hukum mengekor belakangan.

Namun di sisi lain, semua memang harus berbenah. PBNU perlu menata ulang tata kelola yang menyangkut hajat umat. KPK perlu memastikan keadilan bekerja tanpa pilih-pilih korban. Dan kita---warga medsos---juga tak bisa lepas tangan. Kita terlalu sering menjadi "hakim kilat", menyebarkan potongan berita seolah kebenaran final, melupakan bahwa di balik layar ada intrik politik yang tidak selalu tampak.

"Follow the money" jangan berhenti jadi jargon. Ia harus sungguh-sungguh diikuti sampai ke saluran terakhir, transparan dan berimbang. Jika tidak, ia hanya akan jadi alat politik untuk menyingkirkan lawan. Dan kita, sebagai warga yang terus mengulang narasi tanpa kritis, hanya akan menjadi pengeras suara bagi kepentingan yang tak pernah kita kenal.

Dan pada akhirnya, siapa tahu---aliran itu justru akan bermuara di Solo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun