Di republik ini, setiap presiden membawa cerita dan harapannya sendiri. Prabowo Subianto, yang kini duduk di kursi RI1, pun datang dengan riwayat panjang perjalanan politik dan panggilan sejarah yang tidak mudah. Ia terpilih melalui kontestasi yang memunculkan banyak perbincangan: dari kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden yang menuai pro-kontra, hingga riak-riak politik yang masih membayangi dari masa lalu militernya.
Namun memang dalam setiap perjalanan politik, ada kalanya seorang tokoh memperlihatkan sesuatu yang berbeda---sebuah percikan yang tidak terduga, di tengah tafsir publik yang riuh. Misalnya aku ingat saat Prabowo berbicara di KTT D8 Mesir tahun 2024. Di hadapan negara-negara Muslim, ia mengirimkan suara yang nyaris asing dari seorang pemimpin Indonesia dalam beberapa dekade terakhir:
 "Kalau kita lemah, bagaimana kita bisa mendukung Palestina? Bagaimana kita bisa menolong rakyat Gaza? Kita harus kuat, kita harus bersatu. Negara-negara Muslim tidak boleh saling melemahkan."
Mungkin ini masih sebatas wacana, tetapi bagi sebagian orang, kata-kata itu sudah cukup menjadi oase kecil---menyembuhkan pilu yang pernah mengendap, ketika isu-isu seperti persatuan umat Islam nyaris lenyap dari diplomasi kita.
Barangkali di situlah letak kerumitannya: politik tak pernah sekadar soal benar dan salah, iman dan kufur. Ia selalu berada di wilayah abu-abu, di mana kata-kata bisa menjadi harapan, sekaligus ujian bagi kesabaran kita sebagai rakyat.
Namun, apa yang seharusnya kita cari dari seorang presiden? Kesempurnaan iman? Atau kemampuan menjaga stabilitas bangsa?
Pertanyaan itu, entah bagaimana, menjadi gema sepanjang halaman-halaman Islam ala Prabowo. Buku ini tidak menawarkan jawaban dari mulut Prabowo sendiri. Tidak ada catatan tentang wudhu yang khusyuk di subuh hari, zikir lirih di antara rapat kabinet atau buku fikih apa saja yang Prabowo baca. Tidak. Buku ini bicara dengan suara orang lain---tokoh politik, ulama, akademisi, dan mantan jenderal---yang masing-masing menafsirkan Prabowo melalui lensa pengalaman mereka.
H. Ahmad Muzani, Wakil Ketua MPR RI, membuka prolog dengan nada integrasi spiritualitas dan visi kebangsaan. Di ujungnya, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim mengakhiri dengan refleksi tentang Umar bin Abdul Aziz, seolah ingin mengatakan: seorang pemimpin tidak harus sempurna untuk membawa kebaikan bagi umat.
Inilah yang membuat buku ini penting: ia bukan hagiografi yang memutihkan segala cela, tetapi mosaik tafsir yang menunjukkan bahwa dalam politik, persepsi sering lebih kuat dari realitas.
Penerbit Atmo Sphere berhasil menegaskan bahwa buku ini adalah sebuah karya apresiatif, bukan catatan spiritual mendalam. Yang kita dapatkan adalah tafsir pengalaman---potongan kisah dan pandangan dari para pemikir Islam, politisi, dan intelektual.