Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bukan "Code Mixing" Anak Jaksel, Ini Tentang Kosakata "Upa"

14 September 2018   16:19 Diperbarui: 14 September 2018   20:05 2337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi|Nasi Lalap Ikan Asin|Ahsanfile.com

Perkembangan kosakata baru, terkait dengan sistem budaya, cara berkomunikasi dan berinteraksi where is mereka tinggal. Di tengah masyarakaat multikultural seperti Jakarta, gaya bahasa code mixing"Anak Jaksel" yang heboh belakangan ini misalnya, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor itu.

Kosakata Inggris seperti which is,like, dan literally mereka campur dengan bahasa Indonesia. Jadinya terkesan unik, seperti kicauan pemilik Twitter yang mengaku sebagai Petani Jaksel di media ini:

"...padinya ditumbuk which is bijinya lepas gitu. Nah moreafter, dikumpulin deh itu hence masi ada kulitnya its fine, baru abis itu ditumbuk2 like biar jadi beras literally" (Sumber: Twitter Nga @iyajgybg)

Wkwk! Saya tak akan membahas lebih lanjut topik itu. Tapi ini tentang kosakata lama dalam bahasa Jawa. Kosakata ini belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tidak juga dalam bahasa Inggris. Kosakata itu adalah "upa" (baca upo, Jawa).

*****

Kamis malam itu (13/09/2018), saya diajak kawan-kawan untuk menemani makan bersama tamu, seorang professor dari kota Makassar. Untuk kepentingan privasinya, saya sengaja tak menyebutkan namanya.

Sembari menunggu hidangan makanan, kami ngobrol ringan di warung makan yang berlokasi di pojok ujung jalan, tepatnya di Jl. Jakarta No. 51, Kota Malang.

Sang tamu berbagi pengalaman banyak hal dengan kami. Tak lama kemudian, makanan datang. Kami menikmati kerenyahan gorengan "kepiting soka" dan kehangatan "wedang jahe kelapa muda".

*****

Nah, di sela-sela menikmati hidangan itu, tiba-tiba dia nyelethuk menghangatkan suasana seraya berkata:

"Bahasa Jawa itu kaya akan perbendaharaan kata, bahkan lebih kaya dari bahasa Inggris. Misalnya untuk menyebut nasi, dalam bahasa Inggris kan cuma ada "rice"... Tapi dalam bahasa Jawa, katanya banyak sebutan untuk penggunaan yang berbeda-beda, padahal bendanya sama, nasi. Apa betul begitu?"

Spontan, saya yang berada di dekatnya merespon begini.

"Saya kira betul. Misalnya untuk menyebut nasi sepiring, disebut sego. Tapi jika nasinya hanya sebulir, disebut upo. Untuk nasi sebanyak satu jimpit, disebut sak puluk. Kalau makan nasi sebanyak itu tanpa sendok (dengan tangan), disebut muluk. 

Tanpa jeda, lalu saya melanjutkan...

"Jika nasinya sebanyak satu genggam, dikatakan "sak kepel". Untuk nasi kering, dinamakan karak. Untuk nasi yang dilembutkan, dinamakan bubur. Apabila sudah jadi kue, dinamakan "rengginang...". 

Kwkwkwk!

Belum cukup. Masih ada kosakata lain sejenis yang artinya makan dengan peruntukan yang berbeda-beda, seperti mangan, madyang, menthong, dan dahar. Nah, ada kosakata yang artinya "makan" namun terkesan kasar, maaf... kosakata itu adalah mbadhok".

Memang begitu, kan? Wkkkk! Kawan-kawan terkekeh-kekeh, merespon jawaban spontan saya :)

Ada lagi yang tak kalah serunya. Jika nasi itu disajikan sebagai tumpengan untuk disantap beramai-ramai, namanya sego bancakan. Lanjutkan sendiri, hehe :)

*****

Dahulu kala, banyak kerajaan berdiri di pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Kesultanan Yogyakarta, Mataram, dan lain sebagainya. Dalam struktur dan budaya masyarakat kerajaan, penggunaan unggah-ungguh bahasa sangat diperhatikan.

Penggunaan kata sampean atau panjenengan (Jawa) untuk kamu (Indonesia), terasa lebih menghormati dari pada kowe. Kecuali sapaan kowe dipergunakan untuk menyebut teman sejawat atau orang yang usianya/kedudukannya lebih muda dalam keluarga.

Sayang, unggah-ungguh bahasa seperti itu dewasa ini mulai luntur, terutama di perkotaan. Saya pun tak pandai bertutur dengan mengunakan bahasa Jawa halus seperti generasi terdahulu.

Untuk melestarikannya, salah satu caranya ditanamkan lewat jalur pendidikan. Kurikulum sekolah ada yang mengakomodai pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa. 

Selain itu, ada pula kamus bahasa Jawa yang dapat dikases secara online.

*****

Seperti dikenal publik, bahasa Jawa merupakan bahasa ibu yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Meski menggunakan bahasa yang sama, tapi gaya penuturan bahasa di kedua propinsi itu sedikit berbeda. Di ujung Jawa Timur, ada juga bahasa Osing, bahasa Jawa khas masyarakat lokal di daerah Banyuwangi.

Jika Anda menyeberang ke Bali lewat jalur darat dilanjutkan dengan menyeberang laut via kapal, Anda akan dapat menyaksikan video-video atau lagu-lagu daerah itu diputar di kapal. Unik.

*****

Indonesia kaya akan kekayaan alam, budaya dan bahasa lokal. Sejak dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote.

Sembari mengenalkan Pesona Indonesia ke para wisatawan, barangkali Pemerintah perlu menerbitkan buku saku kosakata bahasa lokal. Di level nasional, ada buku saku berjudul "7 Hari Pertama di Indonesia".

Buku itu berisi kosakata dan percakapan sehari-hari dalam bahasa Indonesia-Inggris, seperti selamat pagi, terima kasih, dan lain sebagainya. Saya berhasil mengunduhnya di laman INAGOC, saat berlangsung gelaran Asian Games 2018 lalu.

Walhasil, Bahasa Jawa dan bahasa lokal lainnya itu merupakan kekayaan Nusantara. Amat sayang jika tidak dilestarikan. Jangan-jangan, ketika kita kesulitan mencari sumber penting tentang Bahasa Jawa, kita harus pergi ke Belanda, pusatnya kajian budaya Jawa, literally?

Aha... dari kosakata sebulir upa kok jadi buku saku? Yo wis, semoga bermanfaat! Setujukah Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun