Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Taksu

9 Maret 2019   15:14 Diperbarui: 9 Maret 2019   15:18 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : http://www.infobudayabali.com

Kutukankah ini?

Atau inikah takdir yang harus aku jalani?

Oh Sang Hyang Widhi.

Aku pasrah...

Bunyi -- bunyian gamelan Bali mengalun cepat. Nampak Rangda dikejar -- kejar oleh puluhan Pepatih yang menghunus sebilah keris. Tangan mereka mencengkeram keris itu kuat -- kuat. Sepenuh tenaga mereka kerahkan. Otot -- otot tangan mereka menyembul dari balik kulit. Dengan ekspresi marah, puluhan Pepatih itu mengejar Rangda yang seorang diri tanpa senjata tajam. Ia hanya membawa secarik kain putih dengan sebuah gambar rerajahan di tengahnya.Dalam beberapa menit, Pepatih itu berjatuhan satu persatu setelah Rangda mengibaskan kain putih yang dibawanya ke arah mereka.

Bunyi -- bunyian gamelan Bali mengalun lambat. Seruling ditiup dengan nada yang cukup panjang sebagai tanda berakhirnya acara. Para penari berkumpul ditengah halaman utama pura. Mereka mengatupkan tangan mereka didepan dada dan menunduk secara bersamaan. Kemudian berjalan memasuki pura.

Pementasan Tari Wali Barong dan Rangda di Pura Tanah Lot berjalan lancar. Tarian itu dijadikan sebagai tarian pembuka untuk upacara Piodalan di Pura Tanah Lot yang akan digelar selama satu pekan ke depan.

Para pengunjung membubarkan diri dengan tertib. Suasana di sekitar pura sangat ramai. Banyak masyarakat sekitar dan turis asing yang hadir. Dua orang pria paruh baya memasuki halaman utama pura dengan membawa bejana emas. Sambil berjalan mengelilingi halaman utama, mereka memercikkan tirta suci. Air suci yang mereka ambil dari dalam pura untuk menetralkan energi di sekitarnya. Bulan purnama nampak menggantung diatas langit.

"Wahai jiwa yang tersesat dan diratapi angin, kembalilah..."ucap mereka pelan sambil menunduk memberi hormat kepada Sang Hyang Widhi. Lalu mereka masuk kedalam pura setelah mematikan beberapa obor di sudut -- sudut halaman utama pura.

***

"Selamat ya..."

"Terimakasih Ni Luh." jawab Anak Agung Made Iriawan sambil melepas kostum Rangda yang dipakainya. Mereka berdua dan beberapa penari lainnya berada didalam ruang ganti di sebuah ruangan didalam pura.

Setelah berkemas, Made berpamitan kepada Ni Luh. Ia sudah ditunggu oleh kedua orangtuanya didepan pura.

"Hati -- hati Made..." ucap Ni Luh dengan senyum mengembang di wajahnya. Hatinya sangat berbunga -- bunga malam itu. Sebuah rasa menjalar dalam aliran darahnya.

Kedekatan Made dengan Ni Luh bukan tanpa sebab, sejak kecil mereka sering bermain bersama. Berlatih menari bersama. Sekolah di tempat yang sama. Namun ketika menginjak SMA, mereka tidak bersama lagi. Sebab orangtua Made memilih menyekolahkan putranya di sebuah lembaga pendidikan elite di daerah Denpasar. Sedangkan Ni Luh tetap tinggal di desanya, Desa Tejakula.

"Bagaimana pementasan Tarian Rangda hari ini? Apakah acaranya berjalan lancar?"

"Lancar biyang." jawab Made kepada wanita disebelahnya. Wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu itu.

Setelah itu yang terdengar hanya musik gamelan Bali yang disiarkan lewat radio. Tidak terdengar suara manusia. Tubuh Anak Agung Made Iriawan terlalu lelah untuk sekedar mengucapkan sebuah kata.

Mobil SUV yang mereka tumpangi melaju menembus kegelapan malam Kota Tabanan. Kota yang cukup ramai meski sudah larut malam.

***

Suasana kelas III IPA 2 riuh. Beberapa siswa dan siswi menyerbu kedatangan Made pagi itu. Mereka bersorak gembira atas kesuksesan Made dan sanggar tarinya dalam mementaskan Tari Wali Barong dan Rangda semalam.

"Selamat ya, tarianmu bagus sekali. Sangat memukau." ucap Ida Ayu Diah Tantri.

"Benar sekali ucapan Dayu Diah itu. Tarian Rangda mu mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari para penonton. Aku semalam menyaksikannya lewat siaran langsung di Bali TV. Selamat ya." ucap Cokorda Rai Sudarta sambil menjabat tangan Made.

"Terimakasih teman -- teman." balas Made sambil tersenyum.

Ketika melewati bangku di baris terdepan, seorang siswi melempar senyum manis kepada Made. Membuat Made salah tingkah. Waktu seakan berhenti berputar. Tubuh Made membeku. Hanya anggukan pelan sebagai balasannya. Lalu ia berjalan menuju bangkunya.

Tak lama kemudian muncullah seorang pria berkacamata hitam memasuki kelas III IPA 2.

"Selamat pagi anak -- anak,"

"Selamat pagi Pak."

"Keluarkan buku Biologi. Ada tugas yang harus kalian kerjakan."

"Baik Pak..." ucap mereka serempak.

Pelajaran tentang organ dalam manusia itu berjalan membosankan. Banyak murid yang asyik dengan kesibukannya sendiri -- sendiri. Sehingga ketika bel istirahat berbunyi, semua murid bersorak gembira dan berhamburan keluar kelas.

Tak terkecuali Made dan beberapa temannya. Mereka berjalan menuju kantin sekolah.

"Bagaimana acara pelepasan siswa kelas III besok malam? Apakah semuanya beres?" tanya Made.

"Tenang bos, semuanya aman terkendali." jawab I Putu Agus Dharma singkat.

"Bagus," ucap MAde sambil menyeruput es teh yang ia pesan.

Sebagai ketua OSIS, tanggungjawab Anak Agung Made Iriawan sangat besar. Semua kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya harus ia awasi dan ia laporkan kepada pihak sekolah. Sebagai siswa yang pandai, tugas itu cukup berhasil Made jalankan. Walau begitu, ia tidak melupakan tugas utamanya, yakni belajar.

***

Hari kelulusan pun tiba, Made mendapatkan predikat siswa berprestasi nomor satu di sekolahnya di Denpasar. Ia berhak mendapatkan beasiswa dari sebuah perusahaan swasta di Bali untuk belajar selama setahun di Universitas Queensland di Brisbane, Australia.

"Biyang, Aji.... Made pamit. Doa'kan Made." ucap Made kepada kedua orangtuanya.

"Hati -- hati Bli, jaga dirimu."

"Terimakasih Aji,"

Keberangkatan Made sore itu di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai diiringi senyum bahagia kedua orangtuanya. Tak ada air mata meleleh. Tak terlihat rasa haru biru di wajah mereka berdua. Sebab mereka yakin, Sang Hyang Widhi akan mengembalikan anak semata wayang mereka ketika waktunya telah tiba.

***

Beberapa hari terakhir ini Desa Tejakula dilanda ketakutan. Gempa bumi berskala kecil sering melanda desa itu. Meskipun tidak berbahaya, mereka masih khawatir akan munculnya gempa yang lebih besar.

"Sepertinya kita perlu mengadakan ritual untuk desa kita," ucap kepala adat setempat.

"Benar Pak, sudah hampir tujuh bulan kita tidak mengadakan ritual desa. Dulu kita rutin mengadakan ritual desa. Namun akhir -- akhir ini mulai jarang dan hampir dilupakan." balas penduduk yang lain.

"Baiklah kalau begitu, besok sore kita adakan ritual desa." ucap kepala adat.

Sore itu, Desa Adat Tejakula menggelar upacara Pacaruan Carcan Linuh. Ribuan warga Desa Tejakula larut dalam persembahyangan bersama yang dipusatkan di Pura Prajapati Tejakula. Mereka memohon kepada Sang Hyang Widhi agar melimpahkan keseimbangan alam dan keselamatan bagi mereka semua.

Kejadian gempa bumi beberapa hari yang lalu tidak menimbulkan korban. Gempa selama 3 menit itu hanya membuat retakan -- retakan di dinding rumah penduduk. Tidak sampai merobohkannya.

Rencana Ni Luh untuk mengikuti seleksi pendaftaran kuliah di Denpasar terpaksa ditunda. Tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Jalanan rusak cukup parah.

***

Tujuh bulan setelah kedatangannya di Brisbane, Anak Agung Made Iriawan mulai bisa menyesuaikan diri. Aktivitasnya berjalan seperti ketika ia berada di Indonesia.

Malam belum terlalu larut. Namun udara mendadak dingin. Made menyalakan pemanas ruangan elektrik. Membuat secangkir latte panas dan menyesapnya cukup lama. Tubuhnya mulai terasa hangat didalam balutan selimut tebal yang ia pakai. Karena tidak mampu menahan kantuk, akhirnya Made terlelap diatas sofa apartemennya.

"Made.... Bangunlah Made..." sebuah suara berat dan dalam memanggil Made.

Made mengusap -- usap kedua matanya. Berusaha mencari sumber suara yang memanggilnya itu.

"Kakek...?" ucap Made sambil kemudian beranjak dari sofa dan berjalan menuju sebuah cahaya putih yang cukup terang. Ia masuk kedalamnya.

***

Sementara itu di Bali...

Upacara Pacaruan Carcan Linuh diakhiri dengan pemberian sesaji di Pura Prajapati Tejakula.\. Tepat ketika matahari mulai tenggelam, para penduduk mengakhiri persembahyangan mereka dan meninggalkan pura satu persatu.

Ni Luh dan ibunya berjalan menuju gerbang utama Pura. Mereka berjalan beriringan sambil membawa sebuah keranjang kosong. Keranjang yang mereka pakai untuk meletakkan sesaji. Saat melangkah keluar menuju halaman parkir, Ni Luh melihat Ayu Komang Widyadari. Ibunda Made.

"Bu Ayu..." sapa Ni Luh dari kejauhan. Ayu Komang menoleh setelah menutup pintu mobilnya. Wanita itu nampak anggun dalam balutan busana putih dan selendang kuning yang dililitkan di perutnya. Kain kebaya coklat motif bunga melengkapi keanggunannya. Rambutnya disanggul rapi. Dihiasi dua buah bunga kamboja kuning diatas telinga kirinya. Menunjukkan bahwa ia bukanlah wanita biasa -- biasa saja.

"Ni Luh, sedang apa kau disini?"

"Saya dan biyang baru saja melakukan persembahyangan, ini kami hendak pulang. Bu Sekar ada apa datang kemari?"

Mereka berdua terlibat dalam percakapan yang ringan. Saling menanyakan kabar masing -- masing. Ni Luh terlihat bahagia ketika mendengar Made telah berhasil diterima di sebuah Universitas di Australia.

"Jadi, Bli Made kuliah di Australia?" tanya Ni Luh.

"Benar, sudah hampir tujuh bulan ia berada disana." jawab Ayu Komang.

"Kapan Made kembali ke Indonesia?"

Pertanyaan Ni Luh seketika mengubah ekspresi wajah Ayu Komang.

"Maaf, sejak kapan kamu begitu perhatian kepada anak saya?" tanya wanita itu dengan nada kurang ramah.

Seketika hati Ni Luh bagai tertusuk pisau.

"Oh... Maaf Bu, saya tidak ada maksud apapun. Saya hanya ingin mengetahui kabar Made. Itu saja." jawab Ni Luh gemetar.

Setelah berpamitan, Ni Luh berjalan meninggalkan Ayu Komang. Sambil meremas kuat keranjang yang ia bawa, air matanya meleleh membasahi pipi.

"Sehina itukah kasta Sudra di mata mereka?" batin Ni Luh menjerit. Dari kejauhan, Ayu Komang menatap Ni Luh yang sedang berjalan menuju motornya. Sebuah tatapan merendahkan.

***

Tiga bulan kemudian...

"Biyaaang...." teriak Made setelah ia melewati pintu pemeriksaan barang di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

"Made..." balas Ayu Komang.

Mereka berdua berpelukan erat. Waktu setahun terasa begitu lama bagi Ayu Komang. Seketika itu juga ia meluapkan kerinduannya kepada anak semata wayangnya itu.

"Akhirnya Sang Hyang Widhi mengabulkan doaku." ucap Ayu Komang bahagia.

"Iya biyang, ini semua berkat doa biyang. Made berhasil menyelesaikan studi Made dengan nilai memuaskan." ucap Made bangga.

"Kau memang putra biyang yang hebat. Dewata telah menunjukmu sebagai penerus keluarga Nyoman. Penerus keturunan Nyoman Mahendra ayahmu." jawab Ayu Komang sambil menggandeng tangan putranya menuju mobil mereka.

"Aji kemana? Kok tidak kelihatan?"

"Aji sedang ada pertemuan di Puri. Jadi tidak bisa menjemputmu. Kau tahu sendiri kan Ajimu. Sebagai pejabat di Desa Tejakula, ia harus melayani masyarakat sepenuh hati. Kebetulan hari ini ada seorang penduduk yang ingin berkonsultasi di Puri." ucap Ida Ayu Sekar. "Ayo Masuk."

"Baik biyang." jawab Made setelah sampai didepan mobil SUV mereka.

***

Keesokan paginya, Made memulai rutinitas dengan berlari mengelilingi kompleks perumahan. Seperti halnya yang sering ia lakukan ketika berada di Australia dulu. Ia selalu berusaha menjaga kebugaran tubuhnya dengan berolah raga.

"Made..." sapa seorang gadis cantik tak jauh dari tempat Made duduk.

"Iya, siapa ya?" tanya Made kebingungan menatap seorang gadis yang berdiri diseberang jalan.

Wanita itu mendekat. Ia menyeberang jalan dengan hati -- hati. Tatapan mata Made tak bisa lepas darinya. Sesuatu didalam mata wanita itu seolah menarik jiwa Made. Taksu wanita itu telah menguasai jiwa Made.

"Made...? Halooo?" ucap wanita itu sambil melambaikan tangan kanannya didepan wajah Made.

"Oh... I... Iya. Maaf. Kamu siapa?" tanya Made.

"Aku Dayu Indriani. Ida Ayu Indriani teman kamu SMA dulu. kamu lupa?" ucap wanita itu dengan suara yang sangat lembut. Suara yang mengisi relung hati Made. Menggaung merdu dalam rongga telinganya. Udara seketika menjadi sejuk bagi Made. Sebuah perasaan aneh memenuhi hatinya.

Mereka berdua memutuskan untuk duduk di bangku di pinggir jalan. Obrolan panjang menguar ke udara. Seperti seekor burung yang telah lepas dari sangkarnya. Bebas tanpa beban.

Dalam kurun waktu setahun, banyak hal -- hal baru diantara mereka. Kesibukan mereka, pekerjaan mereka, hingga kehidupan pribadi mereka tak lepas dari topik pembicaraan pagi itu.

"Jadi kau telah lulus kuliah?" tanya Dayu Indriani. "Mengapa aku tidak tahu ya?"

"Benar, aku baru saja menyelesaikan kuliahku beberapa bulan lalu. Karena aku diterima lewat seleksi program beasiswa, jadi aku sibuk mengurusi administrasi perkuliahanku. Aku bahkan tidak sempat berpamitan secara langsung kepada teman -- temanku. Setelah aku berada di Australia, aku baru mengabari mereka semua lewat email."

"Pantas saja aku tidak melihatmu saat mengurusi pendaftaran kuliah." jawab Dayu Indriani pelan. Hati Made berdesir. Keanggunan wanita itu membuatnya salah tingkah.

"Jadi, apa kesibukanmu?" tanya Made.

"Aku sekarang kuliah di Denpasar. Pagi kuliah dan sorenya menari di Griya."

"Menari? Untuk apa?"

"Iya, aku seorang penari Bali. Sebagai anak seorang Pedanda, aku diwajibkan orangtuaku untuk menguasai beberapa tarian Bali. Sabtu depan aku ada pementasan Tari Wali di Pura Taman Ayun. Kalau kau ada waktu, datanglah. Ini nomor ponselku. Hubungi aku untuk memastikan aku sudah berada disana." ucap Dayu Indriani sambil memberikan kartu namanya kepada Made.

Tak lama kemudian datanglah sebuah motor antar jemput online  pesanan Dayu Indriani.

"Aku pulang dulu ya? Masih banyak urusanku dirumah."

"Baiklah. Hati -- hati."

"Jangan lupa hubungi aku."

"Tentu."

***

Hari pementasan Tari Wali di Pura Taman Ayun tiba. Sabtu itu, setelah Made menghubungi Dayu Indriani untuk memastikan keberangkatannya, ia bergegas mandi dan memakai pakaian serba putih. Sebuah udeng Bali berwarna putih dengan motif batik berwarna emas menghiasi kepala Made. Ia terlihat tampan dan gagah.

"Biyang, Made berangkat dulu."

"Hati -- hati di jalan. Jangan ngebut." ucap Ayu Komang dari dalam rumah.

"Iya biyang."

Made sedikit terlambat datang ke acara pementasan Tari Rejang Dewa. Di halaman utama Pura Taman Ayun telah nampak berjejer gadis -- gadis muda berdiri dalam posisi menangkupkan tangan mereka.

"Syukurlah, acara baru dimulai. Aku tidak terlambat." gumam Made dalam hatinya. Iapun berjalan menuju panggung utama. Membaur dengan beberapa penonton lain yang hadir malam itu. Setelah mendapatkan posisi yang bagus, ia berhenti. Ia sangat menikmati alunan gamelan Bali. Gerakan tarian yang dibawakan gadis -- gadis itu sangat memukai. Luwes dan anggun.

"Taksu Tari Rejang Dewa benar -- benar dahsyat." ucap Made pelan saat menatap mata para gadis penari didepannya.

Made segera mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa gambar Dayu Indriani yang sedang menari Tarian Rejang Dewa. Lalu ia mencari kontak Dayu Indriani didalam daftar kontak.

"Terkirim...." ucap Made pelan sambil tersenyum. Sebuah ikon hati terpampang dibawah foto yang ia kirim.

Ketika asyik menikmati pertunjukan Tarian Rejang Dewa, Made dikagetkan oleh sebuah tepukan pelan di bahunya.

"Hai... Sendirian saja?"

"Oh kamu Ni Luh. Mengagetkan saja kamu."

"Datang juga kamu?"

"Iya, aku kemari untuk menyaksikan Dayu Indriani menari. Kamu masih ingat dia kan?"

"Tentu saja. Dayu Indriani teman SMA kita kan? Kebetulan sanggar tarinya sama denganku. Jadi kita sering latihan bersama. Malam ini aku kemari untuk membantu persiapan pementasan."

"Oooh..."

Tanpa ada kata terucap, mereka berdua melanjutkan menikmati Tarian Rejang Dewa. Ni Luh terlihat sangat bahagia. Ia mencuri -- curi pandang kepada Made. Perasaannya kali ini sangat tidak karuan. Malam ini Made bukanlah Made yang biasa ia lihat. Dalam balutan busana putih dan udeng Bali, Made seperti seorang pangeran di matanya. Pangeran yang ia puja selama ini.

"Made, aku mencintaimu." ucap Ni Luh Sulastri dalam hati. Dalam kegelapan, senyumnya mengembang.

Malam harinya sepulang dari pementasan Tari Rejang Dewa, Dayu Indriani membuka ponselnya. Ia melihat tiga pesan di dalam messengernya. Sebuah foto dirinya, sebuah ikon hati, dan sebuah kalimat I LOVE YOU yang diketik menggunakan huruf kapital. Ketiga pesan itu memiliki jeda yang berbeda. pesan pertama dan kedua memiliki jeda lima menit. Pesan kedua dan pesan ketiga memiliki jeda satu jam. Bagi Dayu Indriani, jeda pesan itu tidaklah begitu penting. Ia menganggapnya sebagai lambatnya sinyal ponsel. Yang terpenting bagi Dayu Indriani adalah ia kini tahu bahwa telah ada suatu ikatan batin antara dirinya dan Made. Lalu ia membalas pesan Made.

I LOVE YOU TOO

***

Sejak pertemuan mereka di taman itu, Made dibuat tergila -- gila oleh Dayu Indriani. Gadis itu telah menguasai jiwa Made. Hubungan mereka makin dekat setelah Made mengirimkan foto Dayu Indriani menari Tari Rejang Dewa.

Beberapa hari terakhir, komunikasi antara keduanya makin sering. Ketika istirahat makan siang, Made selalu mengirim pesan kepada Dayu Indriani. Pesan -- pesan itu berjubel dalam layar ponsel Made. Layar ponselnya seakan dipenuhi gelombang kalimat yang dikirim oleh Dayu Indriani. Gadis cantik putri seorang pedanda Bali. Taksu gadis itu kini benar -- benar menguasai jiwa Made seutuhnya.

Di akhir pekan, mereka selalu pergi berdua. Mengunjungi suatu tempat yang menarik. Entah itu di Pantai Kuta atau di tempat nongkrong anak muda yang banyak berjejer di sepanjang Boulevard Sunset Road Kuta.

"Jadi, malam ini kau ada waktu?"

"Iya Made, aku ada waktu untukmu. Kita mau kemana?" tanya Dayu Indriani.

Ucapan yang keluar dari mulut Dayu Indriani terdengar seperti mantra sihir di telinga Made.

"Kita makan malam di Boulevard Sunset Road saja. X.O Suki and Grill baru buka cabang disana. Kamu mau?"

"Tentu."

Karena tidak ingin terjebak macetnya jalan di Kuta, Made menjemput kekasihnya itu sore hari. Dengan kecepatan yang stabil, mobil SUV Made memecah kesunyian jalan raya. Hingga tibalah ia dirumah Dayu Indriani. Setelah ia memarkir mobilnya didepan halaman rumah Dayu Indriani, ia berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Di pojok Barat rumah Dayu Indriani, Made melihat seorang wanita berpakaian kebaya putih dengan rambut panjang yang diikat. Wanita itu terlihat sangat cantik meskipun yang nampak adalah tubuh bagian belakangnya. Made terdiam di tempat. Sebuah energi yang entah darimana datangnya, membuat tubuh Made seperti terpaku didalam tanah. Pandangannya tak lepas dari wanita yang membawa canangsari ditangannya. Dengan gerakan anggun, wanita itu meletakkan canangsari diatas pelinggih taksu. Lalu ia berdoa disana. Cukup lama Made mematung. Hingga ia tak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi oleh seseorang.

"Made..." ucap Dayu Indriani dengan suara agak tinggi.

Made tersadar. Seperti orang yang baru lepas dari hipnotis mematikan.

"Oh maaf... Aku tidak mendengarmu Dayu."

Setelah Dayu mengajak Made masuk, ia lekas berganti pakaian. Made menunggunya dengan sabar di teras rumah. Sepasang mata memandangi Made. Mata itu seolah -- olah membaca takdir dan garis hidup Made. Bukan mata biasa. Tapi mata yang telah mataksu. Mata yang mampu menembus batas -- batas dimensi yang dilihat manusia biasa.

"Ayo, kita berangkat." ajak Dayu Indriani. Ia berdiri anggun di depan pintu rumahnya.

Made terpukau. Kecantikan Dayu Indriani membuatnya menelan ludah. Dengan tergagap -- gagap ia menjawab ajakan Dayu.

"Aa... Aa...Ayo."

Made dan Dayu meninggalkan rumah. Berjalan menuju SUV merah yang terparkir di halaman depan. Sepasang mata itu lenyap dari balik kelambu rumah setelah berhasil menyimpan suratan takdir Made. Menyimpannya rapi dalam bilik ingatannya.

***

"Hentikan semuanya, atau kau akan hancur."

Sebuah suara membuyarkan konsentrasi Dayu Indriani sore itu.

"Aji... Apa maksud Aji?"

Ida Bagus Putu Widyana mendekati putrinya. Duduk disebelahnya. Mengambil buku yang dibaca Dayu. Dengan berkonsentrasi, ayah Dayu memegang kedua pelipis putrinya itu. sebuah mantra dalam bahasa Kawi Kuno dirapalkannya. Tubuh Dayu menggigil hebat. Keringat dingin seketika keluar pelan. Butir demi butir meleleh di lehernya.

Dalam pandangan Dayu Indriani, ia melihat sebuah peristiwa. Peperangan antara manusia. ia melihat seorang prajurit yang membantai banyak orang di medan perang. Prajurit itu bukan prajurit biasa. Terlihat dari baju perang yang ia pakai. Benar. Ia seorang panglima prajurit. Kesatria Bali yang beringas membantai musuhnya satu persatu.

Dayu Indriani berteriak histeris ketika melihat darah tumpah ke bumi. Tubuhnya terciprat oleh darah prajurit yang telah tewas.

"Hentikaaaan....." teriak Dayu Indriani.

Seiring teriakannya, tubuh Dayu Indriani terjatuh diatas sofa. Ia tak sadarkan diri.

***

Malam itu, Made tertidur sangat pulas. Pekerjaan kantor yang baru beberapa minggu ia jalani membuat tubuhnya lelah.

"Sepertinya aku harus minum obat. Tubuhku lemas sekali." gumam Made sesaat sebelum beranjak tidur.

Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk masuk ke dunia mimpinya. Pengaruh obat itu membantu jalannya menuju ke dunia mimpinya.

"Kakek...? Mengapa kakek mengajakku kemari?"

"Aku adalah kakek moyangmu. Taksumu adalah pemberianku."

"Tapi aku tidak merasakan apapun kakek, aku masih sama seperti dulu. tidak ada yang spesial dari diriku."

"Belum anakku, belum sepenuhnya taksu itu kuberikan kepadamu."

"Lalu, aku harus bagaimana?"

"Jika kau ingin mendapatkan taksu itu sepenuhnya, jauhi gadis yang sekarang sedang dekat denganmu."

"Maksud kakek?"

"Jauhi saja. Dengarkan perkataanku."

"Kakek? Kakeeeeekkk......"

Hari mulai pagi. Terdengar ayam jago berkokok.

"Masih jam 3 dini hari. Ternyata aku hanya bermimpi." gumam Made setelah melihat layar ponselnya.

***

Hari berganti hari, tak terasa hubungan Anak Agung Made Iriawan dengan Ida Ayu Indriani telah berjalan hampir setahun. Selama itu pula Ni Luh Sulastri hanya bisa memendam perasaannya kepada Made. Ekspresi wajah ibu Made masih teringat jelas dalam ingatan gadis Sudra itu. masih tertancap kuat dalam hati dan menembus hingga ke lubuk dasar hatinya. Sakit. Setiap kali Made menjemput Ida Ayu Indriani di sanggar tari mereka, Ni Luh hanya bisa memandangi Made dari jauh. Seolah ia berusaha menyembunyikan keberadaannya dari Made. Lelaki pujaannya. Di mata Ni Luh, Made bagaikan pangeran. Namun di mata Made, Ni Luh seolah tak ada. Ia seperti hilang ditelan bumi. Ketika Ni Luh menyapanya, Made hanya membalas seperlunya. Tidak ada basa -- basi sedikitpun. Ini semua karena Ida Ayu Indriani. Taksu wanita kasta Brahmana itu lebih kuat daripada taksu wanita kasta Sudra. Ni Luh bukan tandingan Dayu Indriani. Pelan namun pasti, Ni Luh mulai menjauh dari Made. Bukan untuk melupakan Made, namun mengagumi Made dari kejauhan. Ni Luh Sulastri hanya bisa memeluk bayangannya dan bercumbu dengannya dalam mimpi -- mimpinya yang hambar. Ni Luh pasrah.

"Kutukankah ini? Atau inikah takdir yang harus aku jalani? Oh Sang Hyang Widhi. Aku pasrah." jerit Ni Luh Sulastri dalam hati. Bulir airmata menetes dari ujung matanya.

***

Pelan namun pasti, hubungan Made dengan Dayu Indriani kian erat. Bagai bulan yang tak mau muncul jika tak ada malam. Tak terpisahkan satu sama lain.

"Jadi kapan kamu siap?" tanya Made suatu ketika.

"I want it I got it. I want it I got it." ucap Dayu Indriani.

"I see it I like it I want it I got it." balas Made.

"Hahaha... Hafal ya kamu?" ejek Dayu Indriani dalam nada genit.

"Tentu, kau selalu meminta lagu itu diputar setiap kita pergi bersama. Suara mesin mobilku kalah nyaring dengan lagu kesukaanmu itu." balas Made tak mau kalah.

"Hahaha... You like my hair, gee thanks."ucap Dayu Indriani.

Setelah beberapa menit, obrolan yang cukup serius melalui sambungan telepon itupun berakhir.

***

Teman masa SMA. Sempat terpisah selama setahun. Bertemu kembali lewat ketidaksengajaan. Berawal sebagai teman dekat. Berlanjut menuju ikatan pernikahan.

"Jadi kau dan Made akan bertunangan?" tanya Ni Luh Sulastri dalam bahasa yang ia atur sedemikian agar nampak sempurna didengar. Meski ia tahu itu menyayat perih hatinya. Seperti silet yang tipis diguratkan menembus kedalam daging. Perih dan berdarah.

"Iya Ni Luh, akhirnya Made melamarku. Tepat setahun hubungan kami, ia datang kerumahku." ucap Dayu Indriani dalam ekspresi yang meledak -- ledak karena bahagia.

"Selamat ya Dayu, akhirnya kalian menikah juga." balas Ni Luh sambil menyalami tangan Dayu Indriani. Seketika itu juga mendung menggelayut tebal dalam hatinya. Mendung tebal yang tidak akan menurunkan hujan setetespun. Hujan itu tidak akan turun. Wanita berkasta Sudra itu menolaknya.

"Aku harus kuat." gumam Ni Luh Sulastri sambil memeluk sahabatnya itu.

"Aku tunggu undangannya ya?" lanjut Ni Luh.

"Pasti." balas Dayu Indriani sambil memeluk erat Ni Luh.

***

"Hentikan anakku, kau tidak pantas untuknya. Taksu kalian akan menolak hubungan ini. kalian tidak sama. Kalian berbeda."

Suara lelaki tua yang berat itu menggema dalam telinga Made. Mengaung -- ngaung keras seperti bunyi sirine peringatan tanda bahaya.

Made terhenyak dari tidurnya. Keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Ia mengusapnya dengan selimut. Lalu ia duduk di tepi ranjangnya. Memikirkan makna mimpi yang baru saja ia alami. Mimpi yang seolah nyata baginya. Lelaki tua yang mendatanginya dalam mimpi sebelumnya, kini hadir kembali. Ini adalah kali ketiga lelaki tua itu mengunjunginya dalam mimpi.

"Kakek..." gumam Made sambil mengusap mukanya dengan kedua tangannya.

Di malam yang sama, Dayu Indriani bermimpi. Kesatria Bali yang muncul dalam penglihatannya yang dibuka oleh Ida Bagus Putu Widyana ayahnya, kini muncul dalam mimpinya. Kesatria itu berjalan mendekati Dayu Indriani dengan pedang di tangan kanannya. Dengan langkah tegap dan gagah, kesatria itu berjalan seperti seorang pangeran. Dayu Indriani tersenyum bahagia. ia membuka kedua tangannya. Menyambut kedatangan kesatrianya.

Dalam suasana perang penuh pertumpahan darah, Dayu Indriani tidak merasakan keanehan apapun. Ia memandang pangeran yang berjalan didepannya itu dengan tatapan penuh bahagia. Udara di sekitarnya berubah menjadi butiran embun. Lalu berubah menjadi asap tipis. Berubah lagi menjadi kabut tebal. Dayu Indriani tidak melihat kesatria itu. Matanya menyebar ke seluruh penjuru arah angin. Dengan tetap berdiri ditempatnya, sejenank kemudian terdengar langkah kaki dalam jarak satu meter. Dayu Indriani tersenyum. Kesatria itu kini telah berada didepannya.

"Aku tahu kau akan datang pangeranku." ucap Dayu Indriani. Kesatria itu tersenyum. Lalu melangkahkan kakinya. Memeluk tubuh Dayu Indriani yang terbungkus kebaya putih dengan selendang merah melilit pinggangnya.

Mereka berdua larut dalam suasana yang aneh. Bahagia bercampur duka. Bahagia karena kini mereka telah bersatu. Duka karena mereka berada dalam perang penuh pertumpahan darah.

"Maafkan aku Dayu." ucap Kesatria itu tiba -- tiba.

"Maaf untuk apa Kesatriaku?" tanya Dayu Indriani dalam pelukan sang Kesatria.

Setelah kalimat terakhir terucap dari mulut Dayu Andriani. Waktupun berhenti berputar. Suasana perang penuh pertumpahan darah berubah menjadi suasana hening senyap. Hanya hamparan kosong hampa yang nampak di mata Dayu Indriani. Kesatria dalam pelukannya lenyap. Tubuhnya bersimbah darah. Sebuah pedang menembus pinggang kanannya. Darah mengalir deras dan jatuh di kedua ujung selendangnya yang berwarna makin merah.

Pandangan Dayu Indriani gelap. Ia ambruk.

"Oh Sang Hyang Widhi...." teriak Dayu Indriani. Ia terbangun dengan keringat membasahi leher bajunya. Ia menangis. Mimpi yang dialaminya membuatnya takut. Hanya tangisan yang menenangkan emosinya.

***

Tiga bulan kemudian...

Pesta pernikahan adat Bali digelar di sebuah Pura di daerah Tabanan. Pesta itu sangat meriah. Banyak tamu undangan yang hadir. Teman kantor Made dan teman Sanggar Tari Dayu diundang semua. Mereka akan menjadi saksi atas bersatunya kedua insan berbeda kasta itu. Kasta Brahmana dan Kasta Kesatria. Secara hukum adat, persatuan dua insan beda kasta tidak dianjurkan. Namun mereka tidak peduli. Mereka menganggap bahwa hal itu tidak berlaku lagi di zaman modern seperti sekarang.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya sang Pedanda datang. Ia membawa perlengkapan upacara pernikahan lengkap. Anak Agung Made Iriawan dan Ida Ayu Indriani duduk bersila didepan sang pedanda. Mereka telah siap untuk disatukan dalam ikatan cinta.

Tepat ketika matahari akan tenggelam, sang pedanda membacakan mantra pernikahan. Ritual pernikahan itu berlangsung khidmat. Semua yang hadir terlihat khusyuk mengikuti jalannya upacara.

"Kini aku satukan kalian dalam ikatan suci. Semoga kalian selalu dalam lindungan Sang Hyang Widhi." ucap sang Pedanda sambil memercikkan tirta suci kepada kedua mempelai.

Made dan Dayu Indriani saling berhadap -- hadapan dalam keadaan bersila. Dalam busana adat Bali, keduanya nampak serasi. Made terlihat gagah dan Dayu Indriani terlihat Anggun. Semua yang hadir disana menyepakatinya dalam kebisuan mereka. Seolah hal itu tidak perlu terkatakan. Dalam hati, mereka berkata "Cepatlah bersatu, penantian kalian pantas berakhir dalam ikatan pernikahan."

Namun takdir berkata lain. Tepat ketika Made menyematkan tanda suci di tengah -- tengah dahi Dayu Indriani, waktu berhenti. Tangan Made berhenti. Tanda itu tidak tersampaikan di dahi Dayu Indriani. Tubuh Made kejang secara ghaib. Tubuhnya ambruk di lantai. Mulutnya berbusa.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, tubuh Ida Ayu Indriani kaku. Ia hanya memandangi calon suaminya yang jatuh menggelepar dihadapannya. Dalam penglihatan Ida Ayu Indriani, ia menyaksikan Kesatria itu datang kembali. Kini kedatangannya tanpa membawa pedang. Dalam balutan busana pangeran Bali, ia berjalan dengan gagah menemui Dayu Indriani. Kesatria itu tersenyum. Memegang kedua tangan Dayu Indriani. Lalu mencium kedua tangan itu dengan hangat dan penuh cinta. Dayu Indriani tersenyum lalu memeluk Kesatria itu.

"Made..." bisiknya.

"Ikutlah denganku..." jawab Kesatria itu.

***

Upacara pernikahan Made dengan Dayu Indriani menjadi pembicaraan hangat di Desa Tejakula tempat mereka tinggal. Selama beberapa hari setelah pesta pernikahan itu, para penduduk Desa Tejakula selalu membicarakan mereka.

"Anak kita meninggal Aji..." isak Ayu Komang Widyadari kepada suaminya.

"Kita harus sabar, ini semua sudah kehendak Sang Hyang Widhi. Kita harus menerimanya." ucap suami Ayu Komang tegar. Tidak ada penyesalan di wajahnya. Ia pasrah.

Sementara itu, dirumah Pedanda Ida Bagus Putu Widyana terlihat ramai. Mereka sibuk mempersiapkan ngaben untuk Dayu Indriani.

"Maafkan Aji anakku. Ini sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widhi. Meskipun Aji telah mengetahui hal itu, Aji tidak mampu melawan kehendak-Nya." ucap sang Pedanda dalam hati.

Sore hari ketika melihat kedatangan Made dari balik tirai rumahnya, Ida Bagus Putu Widyana telah mengetahui jalan hidup dan nasib Made. Bahwa taksu yang dimiliki lelaki itu akan berakibat buruk bagi putrinya. Taksu yang dimiliki putrinya tidak akan sanggup menerima taksu lelaki itu. Tepat ketika ia menyadari hal ini, sesosok Rangda muncul di pojok Barat rumahnya. Disebelah pelinggih rumahnya. Rangda itu menatap tajam kedalam mata Ida Bagus.

Sejak kejadian itu, Ida Bagus berusaha mengingatkan putrinya untuk menjauhi Made. Ritual untuk memisahkan hubungan mereka berdua telah dan sering ia lakukan. Namun sosok Rangda selalu menghalanginya. Rangda itu selalu menggagalkan ritualnya. Hingga akhirnya ia mendapatkan petunjuk. Bahwa ia harus merelakan putrinya. Merelakan putrinya untuk dibawa oleh lelaki yang berkasta lebih rendah dari dirinya.

"Maafkan Aji putriku. Aji tidak mampu berbuat apapun untukmu." ucap Ida Bagus Putu Widyana dalam deraian airmata. Ia hanya bisa menyaksikan putrinya menyatu dalam kobaran api. Api suci yang akan mengantarnya menuju Nirwana. Api suci yang berkobar terang dalam senja sore itu. Api suci yang mengantarkan Dayu Indriani menemui Made kekasihnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun