Mohon tunggu...
Shofyan Kurniawan
Shofyan Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Arek Suroboyo

Lahir dan besar di Surabaya. Suka baca apa pun. Suka menulis apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

What The Nose Knows: Mengenal Lebih Dekat Hidung Kita

14 Februari 2021   18:41 Diperbarui: 15 Februari 2021   16:49 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Avery Gilbert
Halaman : 396 halaman
Cetakan : September 2019
ISBN : 978-602-1201-70-1
Penerbit : Renebook

Avery Gilbert, seorang pakar aroma dan bebauan dunia, mengawali buku ini dengan sebuah pertanyaan: “Berapa banyakkah jenis bau yang ada?”

Pertanyaan itu terdengar berlebihan, mengingat ada banyak sekali bebauan di sekeliling kita. Gilbert mengakui itu. Sulit sekali menghitung jumlah bebauan yang ada di dunia. Ia pun lantas menyederhanakan pertanyaan tersebut hingga terdengar lebih realistis. Maka muncullah pernyataan ini: “Mungkin, seharusnya kita tidak terobsesi dengan jumlah bau. Pertanyaan kita seharusnya adalah, berapa banyakkah kategori bau alamiah yang ada, dan bagaimana hidung dan otak kita menyederhanakannya?”

Otak manusia dapat menyederhanakan warna-warna yang ada, bersepakat setidaknya ada setengah lusin warna yang dapat dengan mudah kita kenali, yaitu: putih, hitam, merah, kuning, biru, dan hijau. Begitu juga dengan nada. Kita dapat menyederhanakannya—atau disebut juga dengan persepsi pengategorian—ke dalam nada-nada individual yang biasa kita temui pada tangga nada musik (do, re, mi, fa, sol, la, si).

Di sini Gilbert memberi fakta-fakta mengenai hidung yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Semua fakta itu didukung dengan penelitian yang serius. Bahkan seringkali Gilbert membantah mitos-mitos soal aroma yang berada dalam karya-karya fiksi. Misalnya, pembaca akan menemui bagaimana di sini dia akan mengolok-olok novel berjudul Perfume: The Story of a Murderer.

Aroma tersusun dari beberapa molekul bau. Kombinasi dari molekul-molekul bau membentuk suatu aroma yang berbeda, namun sebenarnya saling terhubung satu sama lain. Gilbert mencontohkan, molekul bau yang ditemukan dalam aroma tiram segar di pantai Britanny, juga bisa ditemukan dalam aroma ikan sarden Maroko, kemudian dalam aroma ikan sarden terdapat molekul bau yang membentuk aroma rumput laut, lalu dengan menelusuri molekul bau yang membentuk aroma rumput laut, kau akan mendapati molekul bau yang juga ada dalam tiram segar.

Melalui fakta tersebut kita memahami, seperti halnya warna atau musik, aroma tersusun dari beragam kombinasi dari molekul-molekul yang membentuknya. Terdengar seperti kabar baik, setitik cahaya terang. Sayangnya, fakta ini justru akan menjauhkan hidung kita dari tujuan untuk melakukan pengategorian persepsi dari bau. Kenapa demikian?

Di halaman berikutnya, Gilbert akan membahas soal bagaimana cara kerja penciuman kita, juga kemiripannya dengan organ penciuman hewan lainnya, dalam hal ini tikus dan primata. Fakta berikutnya disodorkan. Gilbert menggambarkannya begini, aroma adalah cara alam berkomunikasi, juga cara alam untuk saling menipu. Dia memberi contoh, misalnya, bagaimana bunga menguarkan aroma yang mirip dengan aroma lebah betina guna memancing para lebah jantan datang dan membuat mereka seolah kawin dengan bunga itu, semua demi membantu penyerbukan.

Bagi manusia fungsi penciuman tidak demikian. Reseptor bau—organ yang penting untuk penciuman—yang terdapat dalam hidung manusia jumlahnya kalah banyak jika dibandingkan tikus dan hewan primata lainnya. Hanya saja manusia dibekali otak yang mampu menampung kombinasi bebauan lebih banyak ketimbang hewan-hewan tersebut.

Dan memang, jika menyangkut aroma, manusia lebih bergantung pada otak dibandingkan hidung mereka. Sayangnya, justru inilah yang menyulitkan manusia menentukan bebauan dasar atau alamiah sebagaimana pertanyaan Gilbert di awal. Persepsi manusia pada aroma cenderung berbeda-beda satu sama lain tergantung pengalaman mereka pada aroma tersebut. Jika mereka tak punya pengalaman akan aroma tersebut, maka sulit bagi mereka untuk mempersepsinya.

Gilbert juga mengatakan, bahwa tempat kita dibesarkan ikut memengaruhi cara kita mempersepsi aroma, bahkan cara kita menentukan mana bau yang enak dan bau yang busuk. Gilbert memberi contoh, masakan di negara-negara bersuhu tinggi lebih berbumbu dibandingkan masakan di negara-negara bersuhu rendah. Ini tentu saja makin menyulitkan kita untuk menyamakan persepsi bau satu sama lain, sebagaimana kita menyamakan persepsi warna dan nada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun