Mohon tunggu...
M Khoirul Anwar KH
M Khoirul Anwar KH Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial -

Pencatat Fenomena

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Geliga Temani Petualanganku di Yogyakarta

9 Januari 2018   20:15 Diperbarui: 9 Januari 2018   22:16 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gedangsari, Gunungkidul/Dok. Pribadi)

(Jalanan Licin Menuju Tegalrejo/Dok. Pribadi)
(Jalanan Licin Menuju Tegalrejo/Dok. Pribadi)
Oleh sebab itu, kutelusuri kembali jalan sepi nan berlubang menuju Tegalrejo. Tangan yang terlalu lama memegang setir sepeda motor sudah mulai terasa keram. Pundak dan punggung juga begitu nyeri lantaran menahan dentuman demi dentuman jalanan yang tak bersahabat. Yang terbetik di benakku saat itu hanya satu: lekas sampai dan segera rebahan ditemani olesan lembut Geliga Krim.

Setelah berpacu melawan tikungan demi tikungan yang tajam dan pejal, kaki ini sampai juga di desa Tegalrejo, kecamatan Gedangsari. Desa ini begitu sunyi. Hanya satu-dua orang yang terlihat berlalu-lalang. Warung-warung juga banyak yang tutup. Mungkin ini dikarenakan hujan rintik-rintik masih bersetia menyiram Tegalrejo dan sekitarnya.

Aku segera menuju sebuah mushalla kecil di depan balaidesa Tegalrejo. Setelah menunaikan shalat, langsung kukeluarkan perbekalan yang kubawa sejak dari penginapan. Selain beberapa makanan ringan, tentu yang menjadi senjata pamungkas adalah Geliga Krim. Aku keluarkan sedikit krimnya dan kuoleskan di pergelangan tangan yang sedari tadi sempat keram. Selain mudah digunakan, kelebihan lain dari krim ini juga tidak lengket dan tidak menimbulkan noda pada pakaian.

Tak berselang lama, orang yang kutunggu-tunggu pun datang. Namanya pak Sugiman (50). Ia merupakan lurah desa Tegalrejo yang baru saja mendapatkan penghargaan dari Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X lantaran kiprahnya yang berhasil menghidupkan kembali tradisi batik di desanya.

(Lurah Sugiman/Dok. Pribadi)
(Lurah Sugiman/Dok. Pribadi)
Pembawaannya rileks, supel dan santun. Jauh sekali dari kesan formil. Kendati kami baru saja bersua, seolah kami merupakan sahabat yang lama sekali tak berjumpa. Perbincangan mengalir dengan lancar tanpa ada kendala apapun. Ia menguraikan potensi lokal desa Tegalrejo dari hulu hingga hilir, berikut tantangan apa yang menyertainya. Potensi itu misalnya seperti kerajinan batik tulis dan kayu, kerajinan akar bambu, olahan kuliner, pentas kesenian, hingga wisata alam yang potensial.

"Walaupun desa kami nyempil di pojokan Yogya, kami ingin memberi warna tersendiri untuk turut menyemarakkan pentas wisata Yogyakarta. Kami ingin berkontribusi dengan bekal potensi lokal yang ada Mas", ucapnya bersemangat.

Dan memang, apa yang diutarakan Sugiman bukan sekadar omong belaka. Jika Anda ke sini, jangan terkejut jika mendapati anak usia 4 tahun yang sudah bisa mewarnai pola batik dengan baik. Juga jangan kaget jika bertemu anak setingkat SD-SLTP yang sudah piawai membuat pola batik sendiri. Dan jangan takjub jika remaja jenjang SLTA sudah biasa memasarkan karya batiknya sendiri secara mandiri.

Begitu juga dengan lini potensi lainnya seperti wisata alam. Para pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna berjibaku menjadikan desanya sebagai destinasi wisata alam baru yang ekonomis tapi berkualitas. Selain curug Tegalrejo yang indah menawan, belakangan para pemuda itu juga menggalang kerjasama dengan lintas Karang Taruna tiga desa demi membuat wahana rekreasi berjuluk Green Village Gedangsari. Sungguh kreatif bukan?

(Jalan Menuju Green Village/Dok. Pribadi)
(Jalan Menuju Green Village/Dok. Pribadi)
Atas semua yang sudah mereka lakukan, warga Tegalrejo kini sanggup berdiri tegak di atas potensi lokalnya sendiri. Mereka tak perlu kemana-mana lagi untuk mengadu peruntungan nasib. Bahkan desa ini kini sudah menjadi salah satu destinasi yang cukup diperhitungkan dalam kancah wisata di Gunungkidul bahkan Yogyakarta.

Selain mendapat banyak sekali pengetahuan, dari desa ini aku juga mendapat segunung inspirasi untuk menghidupkan kembali tradisi batik di kampungku yang kini mulai terdampak krisis regenerasi. Keluh kesah yang menyerang sepanjang perjalanan keberangkatan juga terbayar sudah lantaran melihat semangat warga desa yang berjibaku membangun desanya.

Menjelang senja, akupun tancap gas untuk pulang ke penginapan. Kali ini aku menjajal jalan pulang yang berbeda. Sengaja aku tempuh desa Mertelu kecamatan Gedangsari untuk sekadar melihat wahana Green Village yang diceritakan para pemuda tadi. Sayangnya, karena hujan tak kunjung berhenti, wahana itu terlihat sepi dan berkabut. Kendati demikian hal itu tak mengurangi sama sekali keindahan dan keanggunannya. Berselimutkan kabut, puncak bukit Green Village serasa menjadi lautan awan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun