Mohon tunggu...
Riski Situmorang
Riski Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa | Ilmu Komunikasi | Universitas Sumatera Utara

Mahasiwa S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara dengan Keterampilan Desain Grafis dan Copywriting. Memiliki Hoby membaca, Membuat desain, Traveling. dan Sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bambu: Si Buluh yang Tegar, Pilar Ekonomi yang Berdiri Teguh

30 September 2025   16:39 Diperbarui: 30 September 2025   16:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seorang pengrajin sedang menganyam kerajinan dari bambu (Sumber: DreaminaAI/Riski)

Bayangkan sebuah tanaman yang bisa tumbuh lebih cepat dari rambut manusia, menahan tanah dari longsor, menyerap karbon lebih efisien daripada hutan kayu biasa, sekaligus menjadi bahan baku furnitur mewah, rumah tahan gempa, bahkan pakaian yang lembut di kulit. Itulah bambu-si buluh sederhana yang selama ini sering diremehkan, namun sejatinya menyimpan kekuatan luar biasa untuk menggerakkan ekonomi, melestarikan lingkungan, dan menjaga warisan budaya.

Di Indonesia, bambu bukan sekadar tanaman pinggir kali atau bahan untuk membuat angklung. Ia adalah bagian dari nafas kehidupan masyarakat-dari Sabang sampai Merauke. Lebih dari 150 spesies bambu tumbuh liar maupun dibudidayakan di Nusantara, masing-masing dengan karakter unik yang cocok untuk berbagai kebutuhan: dari bambu petung yang kokoh untuk konstruksi, hingga bambu tali yang lentur untuk anyaman. Yang menakjubkan, bambu bisa tumbuh hingga satu meter per hari pada masa pertumbuhan puncaknya. Artinya, dalam waktu kurang dari dua bulan, batang bambu sudah siap panen-tanpa perlu menebang seluruh rumpun. Ini adalah keajaiban alam yang sekaligus solusi nyata di tengah krisis deforestasi dan perubahan iklim.

Secara ekologis, bambu adalah pahlawan diam-diam. Akarnya yang menjalar membentuk jaring hidup di dalam tanah, mencegah erosi, menstabilkan lereng, dan menyaring air. Di daerah rawan bencana seperti lereng Gunung Merapi atau tepi Sungai Brantas, rumpun bambu kerap menjadi benteng alami yang menyelamatkan nyawa dan lahan pertanian. Tak hanya itu, menurut International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), satu hektar hutan bambu mampu menyerap hingga 12 ton karbon dioksida per tahun-lebih tinggi daripada banyak jenis pohon tropis. Dalam bahasa sederhana: menanam bambu adalah cara paling cepat dan murah untuk "membersihkan" udara.

Namun, kekuatan bambu tidak berhenti di sana. Di tangan masyarakat yang kreatif, batang buluh ini berubah menjadi mesin ekonomi yang tangguh. Di desa-desa Jawa Tengah, misalnya, ibu-ibu rumah tangga menganyam limbah bambu menjadi tas, tempat tisu, hingga lampu hias yang laku di pasar Eropa. Di Bali, arsitek muda membangun sekolah, restoran, bahkan hotel mewah menggunakan bambu sebagai tulang punggung struktur---dengan desain yang memukau dunia. Di Jawa Barat, petani bambu kini tak lagi menjual batang mentah, melainkan produk jadi seperti lantai bambu atau panel dinding yang harganya puluhan kali lipat lebih tinggi.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021) mencatat bahwa ekspor produk bambu Indonesia mencapai USD 27,5 juta, dengan permintaan terus meningkat dari Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa yang kian peduli pada keberlanjutan. Lebih mengesankan lagi, sektor ini menyerap tenaga kerja hingga 1,2 juta orang-banyak di antaranya perempuan dan pemuda desa yang sebelumnya kesulitan mencari penghasilan tetap. Bambu, dengan demikian, bukan hanya komoditas, tapi juga alat pemerataan ekonomi.

Yang menarik, tren global kini justru berpihak pada bambu. Di tengah kekhawatiran atas polusi plastik dan eksploitasi hutan, dunia mulai mencari alternatif yang alami, cepat tumbuh, dan dapat diperbarui. Bambu menjawab semua itu. Bahkan, industri tekstil pun mulai beralih: serat bambu kini diolah menjadi kain yang lembut, menyerap keringat, dan memiliki sifat antibakteri alami. Meski proses pengolahannya masih perlu penyempurnaan agar benar-benar ramah lingkungan, inovasi ini membuka jalan bagi Indonesia untuk menjadi produsen tekstil hijau berbasis lokal.

Tapi tentu, jalan menuju masa depan gemilang untuk bambu tidak sepenuhnya mulus. Salah satu tantangan utama adalah persepsi. Bambu masih sering dianggap "murahan" atau "kuno", terutama di kalangan perkotaan. Padahal, dengan teknologi pengawetan modern dan desain kontemporer, bambu bisa tampil setara-bahkan lebih unggul-dibanding kayu jati atau beton. Selain itu, akses terhadap teknologi pengolahan, pelatihan desain, dan pasar global masih terbatas bagi pelaku usaha kecil. Banyak petani bambu terpaksa menjual hasil panennya dengan harga murah karena tidak memiliki keterampilan mengolah atau jaringan pemasaran yang memadai.

Infrastruktur juga menjadi kendala. Sentra bambu sering berada di daerah terpencil dengan akses jalan yang buruk. Biaya logistik yang tinggi membuat harga jual akhir menjadi kurang kompetitif, terutama bila dibandingkan dengan produk bambu impor dari Tiongkok atau Vietnam-negara yang telah lebih dulu mengindustrialisasi bambu secara masif. Padahal, kualitas bambu Indonesia, terutama dari sisi keberagaman genetik dan kekuatan serat, sebenarnya sangat unggul.

Untungnya, upaya kolaboratif mulai bermunculan. Yayasan Bambu Lestari, komunitas petani di Garut, hingga inkubator bisnis hijau di Yogyakarta mulai menghubungkan petani, desainer, dan pasar dalam satu ekosistem yang saling menguatkan. Pemerintah pun tidak tinggal diam. Melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.39/2018, pengelolaan hutan bambu kini diakui sebagai bagian sah dari kehutanan sosial, memberi kepastian hukum bagi masyarakat yang mengelolanya. Sementara Kementerian Perindustrian memasukkan bambu ke dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, sebagai komoditas strategis berbasis ekonomi sirkular.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2020, pasar global untuk produk bambu diproyeksikan mencapai USD 98 miliar pada 2025. Ini bukan angka kecil. Dan Indonesia, dengan kekayaan spesies, tenaga kerja terampil, serta warisan budaya yang dalam, memiliki semua modal untuk menjadi pemimpin di pasar ini-bukan hanya sebagai pemasok bahan mentah, tapi sebagai pencipta nilai tambah, inovasi, dan merek global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun