Mohon tunggu...
Luthfya Zahra Nur Afifah
Luthfya Zahra Nur Afifah Mohon Tunggu... Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga – 24107030050

Seorang mahasiswa semester awal yang menyukai pembahasan tentang isu-isu sosial, politik, psikologi. Tertarik di bidang budaya, seni dan bahasa. よろしく!greetings!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Media dan Massa dalam Game 'We Become What We Behold'

4 Juni 2025   08:05 Diperbarui: 3 Juni 2025   23:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Game We Become What We Behold (Sumber : Pinterest/Crazy Games)

Pernah nggak sih merasa kalau yang sering muncul di media sosial akhir-akhir ini hanyalah konflik, drama, dan perdebatan yang tak kunjung usai? Seolah-olah, semua platform berlomba -- lomba untuk menyoroti sisi negatif dari setiap peristiwa yang terus-terusan memeras emosi kita---sementara sisi baiknya jarang sekali diberi ruang. Padahal sering kali, kita bahkan tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.

Tanpa kita sadari, hal-hal seperti itulah yang membuat kita lelah dan merasa harus beristirahat sejenak dari dunia media sosial. Namun, fenomena ini tidak terjadi tanpa adanya alasan. Fenomena ini dipengaruhi oleh media, pola mengolah informasi dan dari diri kita sendiri bagaimana akan mereaksi apa yang telah kita lihat. Kadang, kita kehilangan kontrol dari diri sendiri karena percikan emosi yang ditampilkan pada media sosial.

Dari sinilah, game yang dikembangkan oleh Nicky Case, We Become What We Behold, mencoba mengkritisi kondisi media sosial kita yang kian tidak sehat. Melalui pendekatannya yang sederhana namun reflektif, game ini juga berhasil menyampaikan pesan edukatif tentang literasi media secara relevan dan segar. Walaupun hanya berdurasi selama kurang lebih selama 5 menit dan gameplay yang tergolong mudah, namun game ini telah sukses untuk menyindir dan merefleksikan cara kerja media saat ini. Bahwa yang tenang tak menarik klik, dan yang ribut justru mendatangkan trafik. Ini juga merupakan salah satu bentuk edukasi media yang segar dan relevan, mengajak pemain untuk menyadari bagaimana framing dan agenda media bisa membentuk persepsi kita terhadap dunia luar.

Di dalam game tersebut pemain hanya perlu memotret hal-hal yang berbeda dan menarik perhatian audiens. Meskipun  cara bermainnya hanya sederhana, namun game ini berhasil menggambarkan bagaimana media memilih dan menyajikan informasi yang kemudian mempengaruhi persepeksi dan reaksi dari masyarakat.

Namun, dalam game ini kita tidak diberi opsi untuk memotret hal-hal damai atau biasa karena dianggap tidak memenuhi ekspetasi masyarakat mengenai perbincangan yang sedang viral. Game ini mengarahkan kita untuk semakin lama mengambil hal-hal negatif. Seperti konflik, ketegangan, dan kekerasan. Karena hal-hal seperti itulah yang akan menjadi "penghibur" dan mendapatkan perhatian massa.

Hubungan psikologi terhadap fenomena yang terjadi.

Dalam sudut psikologi massa, game ini secara lugas menggambarkan bagaimana emosi dapat menyebar layaknya efek domino. Kita melihat bagaimana satu potret kecil---satu narasi, satu sudut pandang---bisa memicu pertentangan yang meluas. Ketika media secara sepihak menyoroti dua kelompok yang tampak berseberangan, tanpa konfirmasi atau konteks yang jelas, konflik mulai terbentuk. Bermula dari satu individu, menyebar menjadi dua, empat, hingga membentuk polarisasi. Bahkan mereka yang semula bersikap netral pun akhirnya terseret dalam pusaran konflik akibat paparan informasi yang terus-menerus disampaikan secara provokatif.

We Become What We Behold tidak memerlukan banyak kata atau efek suara bombastis untuk menyampaikan kritik sosialnya. Melalui visual yang minimalis dan perubahan ekspresi karakter yang halus namun signifikan, game ini menunjukkan bagaimana massa bisa berubah dari diam menjadi destruktif---dalam waktu yang sangat singkat.

Ada satu hal menarik lainnya yang ditampilkan di tengah kegaduhan tersebut, terdapat dua karakter yang tampil sebagai penyeimbang: mereka hanya menyuarakan cinta dan kedamaian. Namun, kebebasan mereka untuk menyebarkan pesan positif tak mendapat sorotan dari media. Akibatnya, mereka tidak mampu menahan gelombang kebencian yang telah menyebar dan mengakar di masyarakat. Akhirnya, di akhir cerita kita diajak menyaksikan mereka berdiri di depan barisan kuburan---simbol pahit dari akibat konflik yang tak terkendali. Momen ini menggambarkan betapa seringnya suara damai tenggelam di tengah riuhnya perpecahan sosial.

Apa yang ditampilkan game ini menjadi pengingat bahwa dalam masyarakat digital, persepsi bisa lebih memicu aksi daripada fakta. Ini bukan hanya soal bagaimana media bekerja, tetapi juga bagaimana manusia meresponsnya. Di sinilah letak pentingnya pemahaman akan psikologi massa---agar kita tidak sekadar menjadi bagian dari keramaian, tapi mampu mengambil jarak, memahami, dan merespons dengan lebih bijak.

Bukan lagi telinga, tapi kamera.

Bukan lagi soal telinga, kini dunia dimata-matai oleh kamera.
 Dari video game ini, kita akhirnya menyadari bagaimana media massa modern terbentuk. Tidak lagi tentang tembok-tembok yang menguping atau menyimak, melainkan tentang sorotan kamera yang terus merekam, menyoroti, dan menyebarkan. Yang paling membahayakan kini bukan apa yang terdengar, tetapi apa yang terlihat dan dipilih untuk ditampilkan.

Dan tanpa kita sadari, kita lah kamera itu. Kamera-kamera yang punya kuasa untuk menyebarkan informasi yang akurat dan bermanfaat---atau justru menjadi sumber hoaks demi mengejar perhatian, tren, dan likes semata.

We Become What We Behold bukan sekadar game. Ia adalah cermin. Cermin kecil yang mengingatkan bahwa kekacauan dunia digital bukan hanya kesalahan media---tapi juga kita, para penontonnya, penyebarnya, dan pemuja perhatiannya.

Dan kini, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah kita akan terus menjadi bagian dari atensi semu yang  memperparah kekacauan, ataukah memilih untuk menyuarakan kebenaran?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun