Langit cerah seakan mendukung perjalanan hari ini. Walaupun sedikit mendung, tapi untungnya tidak ada sedikit pun air yang jatuh dari langit. Seakan alam ikut merestui perjalanan pendakian ini. Namun sayangnya, udara juga sekaligus terasa begitu dingin.
Inilah perjalanan spiritual yang disuguhi dengan pemandangan alam yang menyejukkan hati. Untuk rehat sebentar dari hiruk pikuknya kota dan pikiran. Perjalanan pendakian ke Bukit Turgo di Sleman, Yogyakarta.
Pendakian ini juga sekaligus mengantarkan kita untuk berziarah ke makam Syekh Jumadil Kubro. Mungkin, perjalanan ini dapat kita ambil dari sisi filosofis juga. Medan mendaki di bukit turgo tidaklah terlalu sulit. Yang membuat sulit adalah harus menaiki anak tangga sejumlah 1743.
Kesabaran dilatih disini. Kesabaran untuk mencapai puncak. Langkah demi langkah, anak tangga itu terasa seperti ujian kecil yang harus ditaklukkan satu per satu. Semakin tinggi kita melangkah, bukan hanya napas yang diuji, tapi juga pikiran dan hati. Sesekali ingin menyerah dan berhenti, tapi entah mengapa, ada dorongan dari dalam diri untuk terus melangkah. Mungkin karena tahu, bahwa setiap tangga ini bukan hanya jalan menuju puncak, tapi juga jalan menuju ketenangan batin dan konsistensi dalam menyelesaikan sesuatu yang telah di mulai.
Di beberapa titik, kita bisa berhenti sejenak, menengok ke belakang, lalu sadar bahwa kita sudah melangkah cukup jauh. Bukankah begitu juga hidup? Kadang kita terlalu sibuk melihat ke depan sampai lupa bersyukur atas sejauh apa kita sudah bertahan. Di sinilah, Bukit Turgo memberi pelajaran tanpa kata: bahwa perjalanan itu bukan tentang cepat sampai, tapi tentang bagaimana kita menjalaninya dengan sabar dan penuh kesadaran. Perjalanan untuk sampai di puncak Bukit Turgo kira-kira memakan waktu satu setengah jam.
Setibanya di puncak, rasa lelah itu seolah lenyap digantikan oleh pemandangan yang membentang luas dan memanjakan mata. Angin berhembus pelan, membawa kesejukan dan rasa lega. Terlihat dari kejauhan gagahnya Gunung Merapi, berdiri tenang seolah sedang mengawasi semua yang ada di bawahnya. Di momen inilah, hati terasa penuh. Penuh syukur, penuh diam, penuh makna.
Tepat diatas juga terlihat pemandangan dari makam Syekh Jumadil Kubro. Terdapat nisan putih yang dikelilingi oleh besi dan terdapat mustaka di atasnya yang dalam adat Jawa digunakan sebagai simbolis dari area sakral atau penting. Biasanya, mustaka ini diletakkan di puncak cungkup atau pagar makam yang menandakan akan kehormatan orang yang dimakamkan.
Dan seolah telah ditentukan, sesaat setelah kami menginjak puncak, terdengar azan dzuhur mengalun dari kejauhan. Waktu yang pas, untuk sejenak berhenti, menunduk, dan bersyukur untuk kembali mengingat-Nya dan tidak melupakan kewajiban sebagai seorang muslimin. Tetapi ada sedikit keraguan di dalam diri, "apa tidak papa sholat di makam?"
"Sebenarnya disini tidak ada jasadnya, makam ini sebenarnya mengandung arti dari bahasa Arab yaitu 'maqom' atau yang diartikan tempat bersemayam atau bertapa Syekh Jumadil Kubro di Bukit Turgo." Ungkap Mahfud, dosen peradaban islam di UIN Sunan Kalijaga yang membersamai perjalanan di Bukit Turgo.