Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dulu Aku Tidak Percaya Corona, Sampai......

4 Februari 2021   14:39 Diperbarui: 4 Februari 2021   14:49 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
In Memoriam Bapak (Dokpri)

Mei, 2020. 

Suasana pagi kala itu masih cerah seperti sebelumnya, orang-orang tetap sibuk beraktifitas demi bisa bertahan hidup di tengah suasana yang katanya pandemi. Kebetulan saat itu adalah bulan ramadhan, orang-orang biasanya berlomba-lomba mempersiapkan bekal finansial yang cukup untuk pulang ke kampung halaman dan mempersolek diri, pun dengan diriku, pekerjaan menjadi marketing mobil di salah satu perusahaan swasta rasanya tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gaji bulanan saja, ketika itu aku masih berusaha meyakinkan calon konsumen untuk membeli produk yang aku jual demi mendapatkan bonus penjualan, walaupun aku tahu kondisi mereka juga sedang kesulitan karena virus ini.

Kondisiku di tempat kerja waktu itu juga sedang terhimpit, sudah 3 bulan lamanya aku tidak memenuhi target penjualan yang diberikan oleh management, tapi aku masih optimistis, dengan adanya pandemi ini, mungkin saja perusahaan akan berbaik hati memberikan toleransi. Ternyata yang terjadi tidak seindah keyakinanku, tepat di hari itu Kepala Cabang menyampaikan keputusan dari perusahaan untuk memecatku. Tidak ada protes berlebihan dariku, walaupun sempat kuminta kesempatan satu bulan lagi untuk bisa mencapai target, tapi memang perusahaan sudah membuat keputusan bulat. Aku bisa mengerti, keadaan memang serba susah, tapi kenapa harus terjadi saat lebaran tinggal menyisakan beberapa hari. lagi-lagi aku semakin membenci corona, mungkin virus ini memang sengaja diviralkan untuk menggerus budak korporat seperti aku. Sedangkal itu pemikiranku saat itu.

Lebaran Terakhir Bersama Bapak (Dokpri)
Lebaran Terakhir Bersama Bapak (Dokpri)

Agustus, 2020.

Sudah 3 bulan sejak di PHK oleh perusahaan aku menganggur, kata orang bagaimanapun keadaannya, life must go on, akhirnya di Agustus ini aku nekat untuk mewakafkan diri berkarya secara mandiri dengan usaha kecil-kecilan berjualan beras.

Sosok bapak memang sangat berpengaruh dalam jalan hidupku termasuk ketika berada dalam fase hancur seperti saat ini. Beliau yang akhirnya mampu memotivasi dan meyakinkanku untuk membuka usaha. Alhamdulillah, di awal semuanya berjalan dengan baik, padahal aku benar-benar orang baru dalam dunia wirausaha, apalagi soal beras. Semuanya aku lakukan secara nekat dan otodidak, bahkan saat sudah memulai usaha pun aku masih dalam tahap belajar jenis-jenis beras mulai dari yang biasa sampai premium. Kalo soal cari pelanggan aku sudah terbiasa, mengingat sebelumnya juga bekerja sebagai marketing otomotif, maka aku perlakukan usahaku ini sama dengan caraku bekerja di tempat sebelumnya, turun ke jalan mendatangi satu demi satu toko sembako dan warung makan demi mengikat konsumen baru.

Alhamdulillah, pelan-pelan mulai banyak yang rutin mempercayaiku untuk memenuhi kebutuhan berasnya . Aku semakin senang dengan aktivitas baru sekaligus peran baru sebagai pengusaha. Punya kesibukan baru, aku juga masih cuek dengan masa pandemi, corona dibenakku seperti virus yang hanya dibuat-buat untuk menakuti kita, walaupun berita menunjukan sebaliknya dengan angka-angka kematian yang terus meningkat, tapi aku masih berprasangka, bisa saja angka itu adalah hasil manipulasi semata.

Oktober, 2o2o.

Telepon Whatsapp berdering siang itu, seorang kolega yang telah lama tidak bersua mendadak menghubungiku, usut punya usut, dia menawariku pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang bergelut di bidang ekspor dan impor. Ia begitu semangat menceritakan kepadaku bahwa perusahaan tempatnya bekerja sangat bonafit, dan tentu saja ia sedang berusaha meyakinkanku agar mau menerima tawarannya. Aku sangat mengapresiasi hal itu, tapi aku juga tidak mau gegabah untuk mengambil keputusan, karena ini akan berhubungan dengan masa depanku nanti.

Beberapa saat setelah itu, langsung kutelepon bapak, sekedar untuk meminta pertimbangan. Seperti yang sudah kujelaskan di atas, Bapak punya peran yang sangat besar dalam setiap keputusan yang aku buat, apalagi jika keputusan tersebut berkaitan langsung dengan masa depanku. Kebetulan kolega yang menawariku pekerjaan juga menjadi kerabat dekat di keluarga besar bapak, oleh karena itulah bapak orang yang sangat tepat untuk aku ajak berdiskusi soal hal ini.

Pada akhirnya bapak dan ibu satu suara untuk mendukungku menerima tawaran pekerjaan itu, setelah aku pikir-pikir, tidak ada salahnya juga aku bekerja lagi di perusahaan. Di bulan ini, aku resmi menjadi karyawan lagi, walaupun usaha jualan beras yang sudah aku rintis masih tetap berjalan untuk penghasilan sampingan. Di posisi ini, aku semakin jumawa, berpikiran bahwa corona memang tidak ada, buktinya lapangan kerja masih sangat terbuka buatku.

Bapak dan Calon Menantunya (Dokpri)
Bapak dan Calon Menantunya (Dokpri)

Desember, 2020.

Memasuki penghujung tahun, aku sungguh semangat, selain ingin segera menyudahi tahun yang berat di 2020, pada akhir tahun ini, aku juga punya hajat besar yang sudah lama kunantikan. Melepas masa lajang dengan membuat ikatan komitmen sepanjang sisa hidup dengan seseorang yang sudah menjadi pilihan hati adalah salah satu hal terbesar yang akan aku jalani di penutup tahun ini. Undangan sudah selesai dicetak, tempat untuk acara akad nikah pun telah dipersiapkan, walaupun yang akan menjadi tamu hanya pihak keluarga besar saja mengingat kondisi masih pandemi dan himbauan Pembatasan Sosial diberlakukan di mana-mana, tak terkecuali kota tempatku tinggal, Yogyakarta.

Seminggu sebelum acara penikahan, hari Jum'at pukul 06:30 pagi, teleponku berdering, sepintas aku lihat percakapan di Whatsapp group keluarga sudah sangat banyak, perasaanku mulai tidak enak, seperti ada sesuatu yang sedang terjadi, batinku. telepon aku angkat, di seberang terdengar suara adik yang menahan tangis membawa kabar duka. Innalillahi wa innalillahi rojiun, Bapak telah dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit tempat bapak dirawat. Ya, sehari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bapak memang masuk rumah sakit karena sakit sesak nafas dan demam yang sudah dirasakannya hampir seminggu tidak kunjung membaik. Tapi aku masih tidak percaya dengan keadaan ini, karena pada hari pertama ketika di rumah sakit, beliau masih sanggup untuk bercengkerama denganku dan bercanda di telepon selama satu jam, seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, akan kehilangan bapak secepat ini, sebelum beliau sempat menyaksikan hari pernikahanku. Aku juga tidak punya firasat apapun, bahwa sosok yang selama ini berpengaruh dalam jalan hidupku akan meninggalkan keluarga untuk selamanya. Saat itu juga aku segera meninggalkan Yogyakarta untuk pulang ke Rembang dan memberikan penghormatan terakhir kepada bapak. Sebelum benar-benar sampai di Rembang, pihak rumah sakit memberikan kabar bahwa hasil Swab beliau positif Corona. 

Corona seperti sedang menamparku dengan caranya merenggut nyawa bapak, untuk menunjukkan bahwa virus ini memang benar-benar ada dan berbahaya. Hasil swab test yang telah dijalani ibu juga sama, ibu dinyatakan positif Corona beriringan dengan hari meninggalnya bapak. Pikiranku sungguh kalang kabut, aku dan adik yang negatif harus berusaha menghibur ibuk agar imun beliau tetap kuat dan tidak melemah seperti yang terjadi dengan bapak. Keterangan dari rumah sakit menyatakan kondisi bapak sudah melemah sejak semalaman sebelum meninggal, beliau sempat berkali-kali mengalami gagal nafas sebelum akhirnya kembali ke pangkuan Allah SWT. Ternyata virus ini memang benar-benar ada, dan dari pandemi ini, setelah kehilangan bapak, aku jadi belajar perlunya kita menerapkan protokol kesehatan secara ketat seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah adalah tidak lain untuk menjaga orang-orang sekeliling yang kita cintai.

Berat rasanya harus menjalani pernikahan dan mengucap akad tanpa didampingi bapak yang telah tiada dan tanpa kehadiran ibuk yang sedang menjalani isolasi mandiri. Tapi sekali lagi, life must go on, aku juga yakin bapak lebih suka menyaksikan dari surga kalo acara pernikahanku tetap berlanjut seperti rencana semula. Akhirnya 19 Desember 2020, telah kuikrarkan sisa hidupku untuk kujalani hidup bersama seorang wanita pilihan. Semua prosesi berjalan dengan lancar, khidmad, dan tentu saja penuh haru. Beruntungnya kita sudah hidup di zaman internet, sehingga ibuk dan adik tetap bisa menyaksikan dari rumah melalui live streaming.

Apa yang terjadi denganku di 2020 memang sungguh berat, aku kira saat dipecat oleh perusahaan adalah ujian paling rumit, namun ternyata, kehilangan bapak untuk selamanya dan menjalani akad nikah tanpa kehadiran beliau adalah cobaan terberat yang sedang diberikan Allah SWT untukku di tahun ini. Tapi, sebesar-besarnya ujian yang datang tetap banyak hikmah yang aku ambil, kini aku menjadi lebih menjaga diri dan keluarga agar tidak terserang virus ganas ini dengan menerapkan hal-hal baik yang telah disosialisasikan oleh pemerintah selama ini.

Selain itu, adanya kisah ini juga membuatku kembali merangkumnya dalam sebuah tulisan setelah sekian lama tidak menulis lagi. Sebelum wafat, bapak juga sempat mengingatkanku dengan kata-kata, "kamu kok sudah nggak pernah menulis lagi". Jadi, semoga bapak tetap bisa membaca tulisanku ini dari surga. Selamat jalan pak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun