Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Drama Ratna Sarumpaet, Kritik atas Positivitik dan Keraguan atas Analisa Akademis

3 Oktober 2018   22:54 Diperbarui: 3 Oktober 2018   23:17 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Ratna ... oh... Bu Ratna, dramatis sekali ceritamu ini. Sejujurnya saya sama sekali tidak berpikir untuk menulis hal ini, entahlah kenapa, tebakan saya mungkin karena tadi siang menulis tanggapan terhadap @tsamaradki. Btw, sejak kapan saya menulis se-produktif ini? tapi okelah, mari kita mulai.

Setelah saya menulis tentang propaganda pada artikel sebelumnya, saya mendapat banyak tanggapan terutama mengenai data dan pendekatan apa yang saya gunakan. Menarik sebetulnya, ketika para akademisi berbondong-bondong mengumpulkan data untuk menegaskan bahwa dirinyalah ilmuwan politik dan analisanyalah yang paling objektif. Malam ini, disudut-sudut tongkrongan kantin orang-orang sibuk membahas tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan Ratna Sarumpaet? Beragam analisis muncul, masing-masing saling mengeluarkan data, entahlah berapa banyak kuota yang habis untuk membuka berita online saat itu.

Sebagai akademisi, kita memimpikan sebuah penjelasan yang akurat tanpa celah bantahan, tidak satupun dari kita yang mau ketinggalan data malam itu. Sayangnya alih-alih menjelaskan fenomena secara utuh, analisa kita justru seringkali mengawang-ngawang tercerabut dari kesederhanaan fenomena. Sebut saja beberapa analisa dan pertanyaan yang muncul, seperti:

"Ini mainannya orang-orang Jokowi, seperti kata lu fi (kampret dia pake nama gua lagi) bahwa negara adalah pembuat propaganda yang efektif." Tapi meski menyertakan referensi dari tulisan sendiri, saya mulai menduga-duga bagaimana caranya pihak Jokowi menggunakan Ratna Sarumpaet sebagai bagian dari perminannya. Kemudian, "Justru ini mainannya Prabowo yang ingin memframing dirinya sebagai orang yang tidak terlalu militeristik, lihat saja nanti, Prabowo akan memaafkan kecerobahan Ratna." Oalah, cukup masuk akal juga, tapi "apakah benar Ratna sebodoh itu dan mau di kambing hitamkan oleh pihak Prabowo, dia kan timsesnya Prabowo-Sandi?" ... hmmm, iya juga sih pikir saya. "tapi gimana kalau gini, Polisi justru yang memainkannya, mereka memaksa Ratna untuk meminta maaf. Soalnya kalau kita liat, masa sih tiba-tiba polisi negbuka data ke public? Wong dari dulu biasanya juga lama, malah banyak persekusi nguap gitu aja, ini justru serius banget kayak emosi malah." Haduduh, bisa juga sih, apalagi kalau polisi sudah nyebarin data artinya dia tidak mau salah dong, bayangkan kalau data polisi itu salah, atau bahkan bila Ratna tidak minta maaf artinya isu ini akan mengambang di public dan pendukung Ratna akan tidak percaya pada data polisi, alhasil integritas polisi akan tercoreng.

Singkatnya begitulah tanggapan beberapa orang, tentu lagi-lagi dengan data dan peta kronologis yang (seolah-olah) lengkap ditambah campur aduk pendekatan (baik tradisional, behavioralism atau post-behavioralism) . Saya sendiri melihat pemaksaan analisis para akademisi dalam sebuah fenomena, kita menuntut adanya dalang dibalik sebuah fenomena, kalau bukan Jokowi yang Prabowo, begitu sebaliknya. Tapi yang jadi masalah sebetulnya adalah pemaksaan itulah, kenapa? Karena kita lupa bahwa banyak fenomena yang terjadi secara aksidental dan sederhana. Bisakah kita bilang ini ulahnya Ratna Sarumpaet? Seketika pertanyaan ini diacuhkan, katanya tidak mungkin sesederhana itu, ini fenomena politik, ada sesuatu dibelakangnya, pasti ada yang memainkan, dsb. Masing-masing dari kita bersikukuh adanya penjelasan spektakuler atau paling tidak siapa dalang dan siapa korbannya?

Tulisan ini tentu tidak menjawab itu semua, tentu anda boleh bilang amatir. Tapi setidak-tidaknya saya ingin mengembalikan cara pandang fenomen pada akarnya yaitu bahwa fenomena terjadi secara acak dan oleh karenanya sulit untuk membaca dengan cara linear. Sebagai contoh: seseorang yang tasnya terjatuh di pasar dan barang-barangnya jatuh berantakan, kegaduhan membuat barnag-barang yng berserakan itu hilang. Lantas kita nyari, siapa ini dalangnya? Terus kita salahkan orang yang nyenggol dengan menerka-nerka bahwa dia berkomplot dengan orang-orang dipasar yang mengambil barang. Pertanyaan, saya mungkin gak itu? tentu mungkin, tapi apakah itu satu-satunya penjelasan? Tentu tidak.

Sama halnya dengan kejadian Ratna Sarumpaet, boleh gak saya berimajinasai begini: 

Ratna Sarumpaet yang sedang operasi plastic itu di foto oleh temennya, terus disebarin di grup privat dengan maksud becanda, tanpa disadari ada orang yang nyebari, terus kebetulan wartawan yang lagi pusing nyari bahan liat foto itu dan kasihan akhirnya dia sampaikn rasa kasihan itu sekaligus mencarai kabar Bu Ratna. Mendengar hal itu Ratna berpikir, bagaimana kalau saya bikin ini jadi seolah-oleh pengeroyokan? Kan seru, nanti orang prihatin dan menganggap Jokowi nyuruh orang gebukin saya. Akhirnya dia sampaikan itu ke orang-orang terdekatnya, tanpa disangka justru tanggapan orang-orang terdekat itu serius sekali, hal ini membuat kubu Jokowi terpojok. Dalam keterpojokan itu polisi mencari data, apakah data polisi itu utuh? Who knows, kita bisa skeptic, sepertihalnya wawancara skripsi tidak semua hasil wawancara kita masukan dalam tulisaan kan? Tentu hanya data pendukung, tetapi bukan berarati direkayasa, hanya saja dimungkinkan utk mengambil bbrpa datang yang penting. Sebagai aparat negara, ketika data tersebut di publish, tentu polisi tidak ingin integritasnya tercoreng, lalu ada orang yang punya militansi tinggi di kepolisian mengambil tindakan untuk menjaga public trust dengan meminta Ratna untuk minta maaf. Bukan tanpa dilema, akhirnya Ratna mengakui kecerobohannya.

Mungkin anda tertawa membaca penjelasan diatas, ngaco. Tentu saya tidak akan mendesak siapapun untuk percaya, karena memang penjelasan diatas adalah pengandaian dari penulis. tetapi kita bahwa hal itu mungkin, saya kira lebih mungkin, kenapa? karena dalam sebuah fenomena banyak orang yang mengambil keuntungan, jadi fenomena Ratna ini tidak tunggal tetapi acak, kompleks dan aksidental. Alih-alih menyudutkan satu pihak, kita mesti skeptis bahwa setiap pihak mencari keuntungan dalam perkara ini. Misalnya, bisa jadi mulanya ini permainan pihak Prabowo, tetapi ditengah jalan Media tidak terkendali karena tentu media juga cari keuntungan, dan Polisi melihat fenomena ini bisa memberikan menaikkan integritasnya, pihak Jokowi juga ikut bagian ketika kondisi mulai menguntungkan. Umumnya, pandangan positivis dan teori konservatif akan mengarahkan kita untuk mencari akar masalah, tetapi lupa melihat dinamika yang terjadi, dimana setiap orang tidak bisa dibaca statis tetapi justru dinamis dan oleh karena itu setiap orang berimprovisasi dan mencari keuntungan. bahkan, bisa jadi termasuk penulis ketika menyampaikan hal ini.

Dalam hal ini, penulis menolak penjelasan tunggal, dan lebih ingin memberi contoh bahwa sebuah fenomena tidak melulu membutuhkan dalang utama, katanya negara selalu bikin propaganda? Ya iya, tapi apakah tidak mungkin sesuatu terjadi diluar kehendak penguasa? Apakah individu demikian statisnya hingga tidak mampu berimprovisasi? Inti dari tulisan propaganda adalah memberikan alternative kemungkinan dari pandangan umum yang beredar. Begitu pula dengan tulisan ini utk memperkaya perspektif public dlam memandang sebuah fenomena. Bahwa tidak ada yang mampu memberikan sebuah penjelasan utuh meskipun muncul dari mulut Ratna berupa pengakuan. Tapi apakah penulis menolak adanya dalang di balik fenomena ini? tidak sama sekali, klo begitu penulis setuju? Ya engga juga.

Lagi-lagi anda paksa oposisi biner, klo engga A ya pasti B. Dan pandangan itulah yang sedari awal penulis tolak, seperti halnya pandangan positivistik dan bihavioraalis, bahwa ada banyak kemungkinan yang terjadi, dengan begitu tidak ada yang mempu menjelaskan kebenaran fenomena. Oh, kalau begitu tidak ada dong kebenaran tunggal atau universal? Ada, lah katanya gak mungkin? 

Sekarang penulis sampai pada intinya, akhir dari tulisan ini, bahwa kebenaran universal itu ada tetapi mestilah ditangguhkan (epoche menurut Husserl, defferance menurut Derrida), sedangkan penjelasan yang muncul hanyalah kemungkinan yang benar (relative) dan pada saat yang sama mengandung juga kemungkinan salahnya. Terakhir penulis juga ingin sampaikan bahwa dibanding memaksa adanya penjelasan tunggal, lebih baik para akademisi menawarkan alternative lain, dengan begitu public sadar bahwa dirinya dan kemampuannya untuk memfilterlah yang mesti dipercaya, bahkan negara sekalipun memungkinkan untuk berbohong (ya klo oposisi lebih memungkinkan, tetapi gak secanggih koalisi). Kesadaran itulah yang akan mendewasakan, tentu juga tidak diinginkan politisi, kenapa? Karena mereka menginginkan masyarakat itu bodoh hingga mampu di mobilisasi, sedangkan kedewasaan akan melepaskan masyarakat dari ketergantungan akan negara (detailnya pada tulisan selanjutnya).

Terimakasih, mohon maaf karena tulisan ini pasti ada kesalahan, tapi ambillah yang mungkin benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun