Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syair Arya Dwipangga dan Anak Tahun 1990-an

30 April 2020   11:13 Diperbarui: 15 Juni 2021   10:02 6932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar menulis puisi | Sumber: mimbarumum.co.id

Puisi? Siapa sih yang tak kenal puisi? Salah satu karya sastra ini selalu di dibahas dalam materi pelajaran sekolah. Selain itu puisi sering dilombakan dengan beragam jenis lomba seperti menulis puisi, baca puisi, dan musikalisasi puisi.

Saya? Sama dengan sebagian anak-anak lainnya, mulai mengenal puisi saat di bangku sekolah dasar. Mengenal puisi "Aku" karya Chairil Anwar juga di sekolah. Puisi tersebut seringkali dihadirkan sebagai contoh dan soal dalam buku pelajaran. Sampai saat ini pun puisi tersebut masih sering dibahas.

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, dari anak-anak, remaja hingga dewasa beberapa puisi lain telah saya baca, termasuk puisi rekan-rekan kompasianer. Puisi-puisi yang sangat menarik dan inspiratif yang kadang membuat saya iri dan bertanya bagaimana membuatnya.

Bagi rekan-rekan kompasianer yang telah saya baca puisinya, mohon maaf jika tak sempat meninggalkan jejak dengan menekan kata inspiratif, menarik atau pilihan lainnya. Biarlah saya menjadi pengagum diam-diam di antara pilihan jejak tersebut. Lagi pula buat apalagi jejak itu jika puisi yang tertulis telah membekas di sanubari.

Saya ingin sekali menulis puisi, tetapi terasa terbendung kefakiran imajinasi dan ketidakpercayaan diri. Akhirnya, beberapa tulisan saya lemparkan ke luar jendela berulang kali, meskipun kadang esoknya saya ambil lagi untuk dicermati dan dibuang lagi. 

Baca juga: "Wate Ka Saho", Syair Kreatif ala Pemuda Aceh Bangunkan Warga Saat Sahur Tiba


Akibat masalah itu saya lebih memilih jalur lain yaitu ngoceh seadanya. Kata ngoceh saya pilih ketimbang menulis, karena mau disebut penulis masih jauh kertas dari pena. Saya sebut juga hanya ngoceh barangkali memeroleh pemakluman dari rekan pembaca yang baik hati manakala ada sesuatu yang kurang tepat.

Berangkat dari kata ngoceh itu, kali ini saya mau mengoceh puisi berdasarkan pengalaman. Jelasnya, pengalaman tahun 1990-an bersama teman saya, bukan secara umum. Perkara ada kesamaan cerita antara pengalaman pengoceh dan pembaca itu hanya sebatas kebetulan saja.

Syair cinta dan berdarah Arya Dwipangga

Bagi anak-anak tahun 1990-an yang menyukai sinetron laga atau kolosal tidak akan melewatkan Tutur Tinular sebagai tontonan. Tutur Tinular sebenarnya adalah sandiwara radio karya S.Tidjab yang kemudian diangkat ke layar lebar dan televisi.

Sebagai penikmat acara tersebut, ada satu tokoh yang saya sukai meskipun perannya antagonis yaitu tokoh Arya Dwipangga. Arya Dwipangga dalam sinetron tersebut merupakan kakak kandung Arya Kamandanu sebagai tokoh utama. Berbeda dengan adiknya yang sibuk berlatih dan jago dalam ilmu kanuragan, Arya Dwipangga justru sibuk dengan syair-syairnya.

Nari Ratih...
Kau adalah sebongkah batu karang
Tapi aku adalah angin yang sabar setia
Sampai langit di atas terbelah dua
Aku akan membelai namamu bagaikan bunga

Kepiawaian Arya Dwipangga dalam meramu syair inilah akhirnya yang membuat Nari Ratih, kekasih adiknya itu bertekuk lutut di hadapannya. Nari Ratih yang semula begitu setianya terhadap Kamandanu lebih memilih berpaling dan jatuh ke pangkuan Arya Dwipangga setelah mendapat kiriman syairnya berkali-kali.

Baca juga: Keindahan dan Manfaat dari Syair Pra Islam

Arya Kamandanu sakit hati? Sudah pasti, saya yang menonton waktu itu juga kesal terhadap Arya Dwipangga. Untungnya Kamandanu seorang pendekar yang dibilang tangguh, tentu tangguh juga hatinya. Coba kalau saya, mungkin sudah nangis di pojokan kamar dan unggah status di WhatsApp.

Tidak hanya sampai di situ, dengan kepiawaian dalam membuat syair itu pula Arya Dwipangga dikenal dengan penyair berdarah. Syair itu pula yang membuat Arya Dwipangga menjadi sakti dan diperhitungkan dalam dunia persilatan. Lawan-lawannya yang mendengar syairnya akan merasakan sakit yang luar biasa, terutama di telinga.

Sayangnya, di akhir Arya Dwipangga memilih bertobat dan terus berjalan untuk melakukan penebusan dosa. Akibatnga syairnya pun turut lenyap karena Arya Dwipangga tidak pernah disyuting lagi setelah itu.

Puisi anak tahun 1990-an

Tahun 1990-an sampai awal 2000-an di tempat saya perangkat handphone tidak banyak seperti saat ini. Bisa dibilang hanya satu dua orang yang memegang handphone, sehingga orang yang pegang handphone waktu itu sudah dianggap keren.

Oleh karena itu, saya dan teman saya yang termasuk tidak memunyai handphone lebih mengandalkan secarik kertas untuk berkirim pesan, yang disebut surat. Umumnya bagi kami, surat yang dikirim adalah surat cinta. Isi suratnya ada dua pilihan surat seperti biasa ala Zainuddin dan Hayati atau puisi, bisa juga gabungan dari keduanya.

Kedua pilihan tersebut bagi saya sangat sulit karena tidak pandai merangkai kata dan kerap kali surat itu tak berujung balasan. Namun berbeda dengan teman saya, serasa mudah menuliskannya dan berujung balasan. 

Kata teman saya pula, cewek yang telah membaca dan menaruh respek terhadap surat yang dikirim akan selalu curi pandang dan lempar senyum esok harinya. Dia juga akan menunggu surat yang dikirim lagi dan membaca meskipun berlembar-lembar.

Lucunya, dalam menulis baik puisi maupun surat yang akan dikirimkan, malam hari perlu merenung dan menyendiri agar memeroleh inspirasi. Kadang juga perlu membaca buku untuk mencari referensi. 

Baca juga: Tentang Syair, Puisi, Sajak, serta Kiat Menulis bagi Pemula

Ada juga yang salin tempel tetapi tidak semudah sekarang yang tinggal unduh di internet. Sayangnya, saat ini cinta-cintaan model begitu sudah jarang dan sudah terganti elektronik.

Refleksi

Dua cerita di atas memang menonjolkan sisi cinta. Akan tetapi, terlepas dari itu saya ingin menunjukkan betapa kuatnya puisi memengaruhi pengarang dan pembacanya. 

Chairil Anwar dan penyair-penyair lainnya telah membuktikan kepada kita bahwa puisi bukan hanya sekadar tulisan tetapi luapan hati dan emosi pengarang.

Dari cerita di atas juga sebenarnya saya ingin mengoceh betapa menariknya jika puisi hadir kembali dalam bentuk sinetron di layar kaca sebagaimana Arya Dwipangga memerankannya. Disisipkannya puisi dalam sinetron akan menambah nuansa baru dalam persenetronan tanah air.

Terakhir, puisi atau surat yang dikirimkan kepada pujaan hatinya oleh anak tahun 1990-an memantik minat literasi. Buku-buku dan referensi lain dibaca serta proses renungan sehingga tercipta puisi dan surat yang dapat menggugah senyum pembacanya, termasuk perempuan yang disukai. Selamat hari puisi 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun