Lumajang, Antara Keindahan Alam dan Reputasi Suram Keamanan
Keputusan Universitas Jember (Unej) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) menarik seluruh 1.070 mahasiswanya dari program KKN Kolaboratif 2025 di Kabupaten Lumajang, bukan sekadar reaksi spontan terhadap insiden pencurian kendaraan bermotor di dua posko. Langkah ini adalah tamparan keras terhadap citra keamanan Lumajang yang sejak lama dibayangi reputasi sebagai "lahan subur" bagi begal dan pelaku curanmor.
Dua kejadian pencurian motor di Desa Alun-Alun, Kecamatan Ranuyoso, dan Desa Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh, hanya puncak dari gunung es. Warga Jawa Timur, khususnya di kawasan Tapal Kuda, tentu tak asing mendengar kabar bahwa Lumajang kerap masuk daftar hitam daerah rawan kriminal jalanan. Istilah "sarang begal" bukanlah label yang muncul semalam, melainkan hasil akumulasi peristiwa yang terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun.
Reputasi Lama yang Sulit Terhapus
Lumajang memang punya kekayaan alam memukau seperti Gunung Semeru yang megah, pantai selatan yang eksotis, air terjun yang laksana mengalirkan air dari surga, hingga hamparan perkebunan yang luas. Namun di balik panorama itu, cerita soal begal motor dan pencurian kendaraan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari ingatan kolektif masyarakat. Banyak kisah tragis, mulai dari korban kehilangan harta hingga nyawa yang membuat warga luar daerah lebih waspada jika harus melintas di wilayah ini, apalagi untuk tinggal sementara.
Ironisnya, stigma ini tak juga surut meski berbagai operasi keamanan sudah digelar aparat. Masyarakat di beberapa kecamatan bahkan menganggap kehilangan motor sebagai risiko "biasa" yang sudah mereka akrabi, sebuah mentalitas yang lahir dari kenyataan bahwa pelaku sering lolos dan kasus jarang tuntas.
Seorang warganet bernama Jack berkomentar di media sosial:
"Weh. Jangan dah ke Lumajang. Saya warga Lumajang aja was-was tinggal di sana. Kalau memang tidak ada kepentingan dan tidak tahu seluk-beluk Lumajang, mending jangan."
Komentar ini memperlihatkan rasa takut yang bukan hanya dialami pendatang, tetapi juga warga asli. Sementara akun Facebook bernama Ni menambahkan:
"Cerita lama yang paling lama, tanpa upaya dan penanganan. Kata teman saya, daerah situ bukan hanya motor, bahkan pembunuh atau orang bayaran, dikasih 300 ribu pun mau."
Kedua komentar ini mempertegas bahwa masalah keamanan di Lumajang bukan sekadar rumor atau kabar dari luar, tetapi juga realita yang diakui dan dirasakan masyarakat sendiri.
KKN dan Gagalnya Jaminan Keamanan
Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah ajang mahasiswa mengabdi dan berbaur dengan masyarakat. Di Lumajang, sejak 15 Juli 2025, sebanyak 1.070 mahasiswa Unej disebar di 102 desa. Harapannya, mereka bisa menjadi agen perubahan, membawa ide dan inovasi bagi desa-desa. Namun semua itu runtuh hanya karena faktor paling dasar yakni keamanan diri dan barang pribadi tidak bisa dijamin oleh masyarakat Lumajang itu sendiri.
Tindakan Unej menarik mahasiswa dari Lumajang patut diapresiasi dari sisi proteksi terhadap keselamatan mahasiswa. Namun di sisi lain, ini menjadi bukti nyata bahwa kabupaten ini gagal menyediakan ruang yang aman bahkan bagi tamu yang datang untuk membantu. Ini bukan hanya memalukan, tapi juga menunjukkan lemahnya deteksi dini risiko dan koordinasi keamanan dengan pihak kampus.
Pemerintah Daerah Harus Bercermin
Pemkab Lumajang tidak bisa menutup mata. Insiden ini bukan sekadar kasus pencurian biasa, melainkan pukulan telak terhadap reputasi daerah. Dampaknya lebih jauh dari hanya kehilangan motor. Kepercayaan publik, lembaga pendidikan, dan pihak luar terhadap Lumajang ikut tergerus.
Label "daerah rawan begal" akan terus melekat jika tidak ada langkah luar biasa. Penambahan patroli, pemasangan CCTV, atau razia besar-besaran bukanlah solusi jangka panjang jika tidak dibarengi penegakan hukum tegas dan pemberantasan jaringan pelaku hingga ke akar.
Keselamatan sebagai Hak Dasar
Mahasiswa KKN tidak dibekali untuk menghadapi kriminal bersenjata atau sindikat pencurian. Mereka datang dengan niat baik, bukan untuk menguji nyali di daerah rawan. Ketika daerah gagal memberikan jaminan rasa aman, apapun program pengembangan desa yang dijalankan akan selalu dibayangi rasa waswas.
Jika Lumajang serius ingin mengubah citra, insiden ini harus menjadi titik balik. Pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat perlu bersatu menutup ruang gerak begal dan pencuri. Tanpa itu, Lumajang akan terus dikenang bukan karena Semerunya yang gagah, melainkan karena jalannya yang berbahaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI