Oleh : Lutfillah Ulin Nuha, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
80 ribu lebih koperasi desa. 400 triliun rupiah. Angka-angka ini bukan hanya besar, melainkan bombastis. Pemerintah mengumumkan bahwa dana tersebut akan digelontorkan ke seluruh Indonesia untuk menopang Koperasi Desa Merah Putih. Menteri Keuangan Sri Mulyani buru-buru menegaskan, dana tidak akan mengganggu likuiditas perbankan karena berasal dari APBN, tepatnya dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang ditempatkan di bank.
Dari sisi teknokratis, penjelasan itu masuk akal. Tapi sebagai pengamat kebijakan publik, saya tidak ingin berhenti pada logika fiskal semata. Sebab, dalam sejarah kebijakan pembangunan, terlalu banyak program besar yang diklaim untuk rakyat kecil justru berujung menjadi karpet merah bagi para elite ekonomi dan politik.
Mari kita bertanya jujur, tanpa euforia, apakah ini benar-benar skema pembebasan desa? Atau hanya ilusi kebijakan yang dibungkus manis menjelang tahun politik?
Koperasi atau Korporasi?
Dalam pernyataan resmi, Sri Mulyani menyebut bahwa dana akan disalurkan lewat bank milik negara yakni BRI, BNI, Mandiri, dan BSI. Dana itu bukan diberikan cuma-cuma, melainkan sebagai pinjaman yang harus melewati proses uji kelayakan atau due diligence. Masalahnya, sejak kapan bank pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat kecil jika tidak dibarengi intervensi politik?
Bank akan tetap memakai standar kelayakan ekonomi, bukan standar keberpihakan sosial. Maka koperasi-koperasi yang dekat dengan struktur kekuasaan dan memiliki kemampuan administratif akan lebih cepat mengakses dana. Sementara koperasi tulen yang hidup dari semangat gotong royong desa, bisa jadi hanya menjadi penonton.
Lebih dari itu, skema ini rawan berubah dari koperasi rakyat menjadi korporasi lokal yang hanya dikuasai segelintir orang. Sejarah kita penuh dengan proyek yang diawali atas nama rakyat tapi berakhir di meja kontraktor, makelar, atau politisi daerah.
Dana Segunung, Transparansi Senipis Daun Lontar
400 Triliun bukan jumlah kecil. Dana ini setara dengan hampir seperlima dari total belanja negara dalam satu tahun. Tapi hingga kini, belum ada peta jalan transparan tentang siapa yang akan menerima, siapa yang mengawasi, dan bagaimana proses evaluasi akan dilakukan. Pemerintah hanya menyebut "uji kelayakan", tapi tidak menjelaskan siapa yang menjadi juri, dan dengan indikator apa mereka menilai kelayakan tersebut.