Dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari akun resmi Gedung Putih pada 15 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa produk asal Indonesia akan dikenai tarif impor sebesar 19 persen. Dalam kalimat yang terdengar penuh percaya diri, Trump menyatakan bahwa "Indonesia akan membayar tarif 19 persen, dan kami tidak akan membayar apa-apa." Ia juga mengklaim bahwa Amerika Serikat akan mendapatkan "akses penuh ke Indonesia" serta menyebut adanya sejumlah kesepakatan yang segera diumumkan.
Pernyataan ini, di satu sisi, bisa saja dimaknai sebagai pengakuan atas pentingnya posisi Indonesia dalam rantai pasok global terutama karena Trump memuji tembaga dan mineral Indonesia yang disebutnya berkualitas tinggi. Namun, di sisi lain, narasi tersebut justru menunjukkan relasi ekonomi yang timpang dan mencerminkan pola kolonialisme gaya baru yakni eksploitasi sumber daya dengan kedok kerja sama dagang.
Narasi Retoris yang Menyesatkan
Pujian terhadap produk tembaga Indonesia harus dibaca secara kritis. Di tangan pemimpin seperti Trump, pujian bukanlah sanjungan tulus, melainkan taktik negosiasi untuk menekan negara mitra agar menyerahkan lebih banyak akses. Kata "akses penuh ke Indonesia" terdengar ambigu, tapi berbahaya. Apakah yang dimaksud akses terhadap produk ekspor Indonesia? Atau lebih jauh lagi akses terhadap sumber daya alam, sistem keuangan, bahkan kebijakan strategis negara?
Ketika satu negara mendapat akses penuh tanpa membayar bea masuk, sementara negara lainnya dikenai tarif hingga 19 persen, jelas terlihat relasi yang sangat tidak adil. Ini bukan perdagangan bebas, tapi perdagangan berpihak. Bagi Indonesia, ini berarti kerugian ganda: pertama, terbebani tarif untuk produk ekspornya ke Amerika, dan kedua, terancam diserbu produk asing tanpa batas yang berpotensi membunuh industri lokal.
Indonesia Diperlakukan Sebagai Lumbung Mentah
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana pernyataan Trump kembali mengunci Indonesia pada posisi lama: sebagai penyedia bahan mentah. Tembaga, nikel, dan mineral lainnya yang disebut Trump adalah komoditas strategis yang seharusnya bisa diolah di dalam negeri menjadi produk bernilai tambah tinggi. Namun jika Amerika diberikan akses lebih luas terhadap sumber daya ini, bisa jadi Indonesia hanya akan terus menjadi lumbung bahan baku murah bagi industri negara maju.
Kita tidak bisa membangun ekonomi yang tangguh hanya dengan menambang dan mengekspor bahan mentah. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman bisa melompat menjadi raksasa ekonomi karena mereka berani melakukan industrialisasi dan hilirisasi secara serius. Jika Indonesia masih saja bangga hanya karena "diakui" punya tembaga berkualitas, maka kita sedang mundur, bukan maju.
Dimana Posisi Tawar Pemerintah?
Pernyataan Trump patut menjadi sinyal bahaya bagi pemerintah Indonesia. Apakah kesepakatan yang dimaksud telah melalui proses diplomasi yang transparan dan saling menguntungkan? Ataukah kita hanya menjadi objek permainan dagang antara para pemimpin negara besar?
Jika pemerintah tidak menyiapkan strategi balasan atau negosiasi ulang yang adil, maka bisa dipastikan kita akan menjadi korban dari kebijakan dagang sepihak dan ini bukan soal anti-Amerika, tapi soal menjaga martabat dan kedaulatan ekonomi nasional.
Indonesia harus berani menyuarakan prinsip resiprositas. Jika produk kita dikenai tarif, maka produk mereka pun harus dikenai hal serupa. Jika mereka meminta akses, maka kita pun harus mendapatkan perlakuan yang sama. Tidak ada alasan untuk menerima relasi dagang yang timpang hanya karena takut kehilangan "pasar Amerika."
Menuju Kedaulatan Ekonomi
Apa yang terjadi saat ini adalah pengingat keras bahwa kedaulatan ekonomi tidak akan pernah diberikan secara cuma-cuma. Ia harus diperjuangkan, dijaga, dan dipertahankan dengan kebijakan yang berani. Kita harus mempercepat hilirisasi, memperkuat industri lokal, dan memperketat seleksi terhadap investasi asing yang masuk.
Indonesia harus bisa berkata "tidak" terhadap segala bentuk kerja sama yang merugikan, betapapun besarnya negara yang mengajukan tawaran. Tidak ada kebanggaan dari menjadi negara penghasil tembaga terbaik di dunia jika kita tetap menjualnya dalam bentuk bongkahan mentah, sementara negara lain menikmati hasil olahannya.
Pernyataan Donald Trump bukan sekedar berita biasa, tetapi merupakan cerminan arah geopolitik dan ekonomi dunia yang sedang berubah cepat. Jika Indonesia tidak segera menyadari potensi ancaman di balik kata-kata manis itu, maka yang akan kita wariskan pada generasi berikutnya bukanlah kemajuan, tetapi ketergantungan.
Perdagangan seharusnya tidak menjadi jalan baru untuk penjajahan. Tapi hal itu hanya bisa dicegah jika kita benar-benar merdeka bukan hanya secara politik, tetapi juga secara ekonomi.
Ditulis oleh : Lutfillah Ulin NuhaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI