Mohon tunggu...
Albert Soesilo
Albert Soesilo Mohon Tunggu... -

I live near beach. I love reading and writing, also learning anything.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Disguise (Seri Pertama)

2 Agustus 2011   04:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Aaaaa.....," teriak Nick.

Brak....

Nick memukul meja yang ada di hadapannya. Terbangun dalam ruangan gelap, sendiri, sungguh menyesakkan dada. Melihat ke sekitar ruangan, mencoba untuk mencari seseorang. Namun hasilnya nihil.

Tangan Nick mencoba untuk mencabut seluruh rambut di kepalanya. Ia bingung. Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Matanya nampak tidak berkompromi. Ia ingin mengeluarkan air matanya, namun tak setetes pun keluar.

"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Ayah, kenapa kau tidak membiarkanku menjadi diriku?" pikirnya dalam hati.

Pemandangan di ruangan ini sungguh menakutkan. Ruangan ini mirip sekali seperti ruang interogasi polisi-polisi. Kecil, tanpa perabotan selain meja dan kursi. Sebuah lampu tergantung, yang hanya cukup menerangi sekitar meja. Tak ada udara segar yang bisa menerobos masuk. Seakan memaksamu untuk berbicara jujur. Jujur sejujurnya.


Lampu neon kuning di atas kepala Nick berhenti berputar. Ia menerangi sebuah benda mengkilat di atas meja. Pandangan Nick mulai terarah ke benda itu. Perak mengkilat, kecil, namun cukup mematikan dengan delapan pelurunya.

Jari-jemari Nick mencoba mengenali pistol itu. Mereka seakan saling berkenalan. Berputar ke kanan, berputar ke kiri. Kemudian Nick mengangkatnya, dan mengarahkan moncongnya ke hadapannya. Mata Nick dan pistol berhadap-hadapan. Setelah mereka puas saling berpandangan, tangan kanan Nick bergerak ke samping kanan kepalanya. Sekarang, moncong pistol diarahkan ke dahinya. Mulai jarinya bergerak, dan mata Nick mulai terpejam.

DOR!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suara burung-burung mulai masuk ke telinga. Mentari pagi pun juga tak mau kalah. Mereka berebut membangunkan Nick dari tidurnya.

"Nampaknya, aku tertidur cukup pulas tadi."

Di atas pohon, berbaring Nick dengan buku puisi serta pulpennya. Hal ini telah lama dilakoninya. Ia menikmati setiap aksi pulpen dan pikirannya. Berapa banyak tarian kata-kata yang ia mainkan, tak terhitung jumlahnya. Ya, hobinya membaca dan menulis. Mungkin pelajaran favoritnya adalah sastra. Entah bahasa Indonesia, atau English, semuanya dijalani dengan riang. Karena bagi Nick, hanya mereka penghibur setianya.

Alunan musik alam pagi mulai bernyanyi. Dan mulailah permainan hatinya.

Barisan rumput di sana,

Dengan riang menyambut angin,

Dengan riang menyambut mentari,

Kuingin seperti mereka,

Yang bebas diterpa angin,

Dan bebas menyambut hangatnya mentari,

Andai ku burung-burung di sana,

Burung-burung yang di langit,

Terbang kesana kemari,

Dan berkicau,

do... re... mi...

Sayang,

Ku bukanlah rumput-rumput di sana,

Dan ku bukan burung-burung di langit,

Tak bisa,

Ku ingin berteriak,

BEBAS!

Tak bisa,

Ku ingin berkata,

Aku ada......

SREKKKKKK.....CIIITTTTT....(decit rem dan roda sepeda)

Pete, teman baik Nick datang ke taman itu. Ia langsung menyapa Nick.

"Hei, lagi ngapain?"

"Biasa, cari inspirasi," Nick membalas pertanyaan Nick, sambil mencari pijakan untuk turun dari pohon.

Paman Willie, begitu biasa mereka memanggil pohon itu. Tubuhnya yang penuh dengan urat-urat di sana sini, menunjukkan usia Paman Willie yang sudah ratusan tahun. Juluran jenggotnya yang panjang. Tangannya yang menjulang tinggi ke langit. Tak lupa bentuknya yang agak membungkuk. Khas kakek-kakek.

Namun, pohon yang tingginya dua tiga kali orang dewasa ini, selalu setia menemani Nick menciptakan puisi indahnya. Paman Willie selalu menjaga mereka berdua yang bermain-main sejak dahulu. Ia adalah saksi bisu persahabatan Nick-Pete sejak SMP.

Pete: "Udah makan ta? Pagi-pagi udah tidur ma Paman Willie lagi. Ati-ati kesambet lho, bro!"

Nick mendengar celoteh sahabatnya langsung tertawa keras. "Hahahahaha...."

"My bro, we live in modern life now. And you still believe on that stuff. Oh my god."

"Not not not, my prend," (Pete mulai jengkel kalau temannya ngomong Inggris. Sok kebarat-baratan. Jadi sekalian aja diajak ngomong Inggris. Walau Inggrisnya kacau bin ajaib.)

"Ini nih yang buat Indonesia gak maju. Kuntilanak, tuyul, and pocong itu produk khas Indonesia. Harusnya tuh kita bangga punya barang gituan."

"Hahahahahaha.........." Keduanya tertawa hampir bersamaan.

Tangan kanan Pete meraba-raba kantongnya, kemudian mengeluarkan sejumlah uang.

"Nick, ini bayaran anak-anak yang terakhir. Hitung dulu, semuanya kalau gak salah Rp90.000."

"Udah, aku percaya. Thank you ya."

"Yoi. Hmmm...Kamu jadi ke Jakarta?"

"Jadilah." Nick menunjukkan tiket serta undangannya ke sahabatnya.

"Wow! Keren, nginep di hotel mahal begini apa kamu ada uang?"

"Uangnya cukup untuk 2 bulan di sana. Tenang saja," balas Nick dengan senyumnya.

Keheningan menyusup sebentar di antara mereka.

"Hmmm....udah ngomong ke ayahmu tentang kepergianmu?" suara Pete yang pelan membangunkan Nick dari keheningan ini.

"No, not yet. But, I think that's not important."

"Kenapa? Kamu sungguh mau ninggalin ayahmu, Nick?"

"That's my dream, man. Bayangkan aku dari dulu ingin jadi seorang penulis. Aku ingin seperti Dee, Andrea Hirata, atau penulis-penulis lainnya. Aku ingin setiap buku yang kutulis mencerahkan setiap yang membaca. Menyemangati hidup mereka. Kamu lihat bagaimana sebuah cerita Naruto menyemangati jiwa-jiwa muda untuk mengejar impiannya."

"Sekarang penulis-penulis itu kumpul di acara ini. Bahkan penerbit besar juga ada. Kalau berhasil aku akan membangunkan impianku. Ayahku tak tahu itu. Ia hanya peduli dengan gelar dokternya."

"That's bullshit! Ibuku tetap mati kan?!"

"Nick, apa kamu juga ingin menjadi penulis seperti ibumu? Maaf kalau aku menyinggungnya."

Mata Nick berkaca-kaca. Walau kacamata kecil itu seperti menutupi jiwa Nick, namun Pete tahu kalau pertanyaan tentang ibu Nick membuatnya sedih.

"Nick, sorry. Aku tak bermaksud menyinggungmu....."

Nick memalingkan mukanya ke bawah. Tatapannya berpaling pada kehidupan di bawah kaki Paman Willie.

"Ehm...aku tak ke toilet dulu ya. Ngantuk, mau cuci muka."

"OK," balas Nick.

Pete berdiri, dan mengembalikan tiket serta undangannya ke Nick lagi. Lalu ia beranjak dari tempat itu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pete berjalan menjauhi Paman Willie dan Nick yang asyik dengan puisinya lagi. Di dekat taman itu, berdiri sekolah mereka, SMU Mentari. Walau libur, penjaga sekolah sudah terbiasa dengan Nick dan Pete, atau anak-anak lainnya. Jadi kalau mereka cuma ingin ke toilet, Pak Budi pasti memperbolehkannya. Kadang, ada juga yang senang main basket, atau sepak bola di situ. Namanya juga anak-anak, begitulah pikir Pak Budi.

Toilet sekolah agak masuk ke dalam. Karena letaknya di sisi belakang sekolah, dekat kantin. Dan, percayalah sekolah favorit ini sekolah yang luas sekali. Kira-kira sebesar lapangan sepak bola. Jadi pasti perjalanan Pete lama sekali.

Setelah cuci muka, Pete hendak berjalan kembali ke taman, tempat Nick berada. Dalam perjalanannya ia melewati lorong sekolah. Lorong itu kalau di saat libur sekolah, selalu sepi. Sayang kali ini duduk tiga berandal sekolah, Annie, Gito, dan Aconk.

Saat Pete melewati Aconk, tiba-tiba kakinya terjungkal oleh kaki Aconk.

"He!" panggil Aconk ke Pete.

Aconk segera berdiri dan menarik jaket Pete. Ia menariknya ke sebuah kursi tua, dan kemudian melemparnya.

"Ayo, bayar. Udah waktunya kan!"

Gito mendekati mereka berdua dan ikut-ikutan menampar muka Pete.

"Cuk, bayar gak!"

"Iya, iya. Sabar, man," lirih Pete.

"Aku masih cari uangnya dulu."

"Nunggu sampai kapan?HAH!" tiba-tiba terdengar suara perempuan.

"Ini sudah dua bulan, dan kamu belum setor sepeser pun ke kita."

Annie mengeluarkan pisau lipatnya dari balik jaketnya, "Kamu harus dikasih pelajaran, biar kapok ya."

Pisau itu digoreskan ke tangan Pete beberapa kali. Kemudian Gito dan Aconk memukuli Pete bergantian.

BUK BUK BUK!!!

"Ini terakhir, bayar atau lain kali kupotong jarimu," gertak Annie.

"Ayo, cabut," perintah Annie ke kedua temannya.

Kemudian mereka pergi dari situ, meninggalkan Pete yang menangis ketakutan.

"Sialan!" desah Pete yang meringis kesakitan.

Ada cukup lama Pete terduduk diam. Mau membalas, tapi tak berani. Akhirnya, ia hanya menangis sendirian di sana.

(bersambung)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Cerita ini diadaptasi dari film The Invisible (2007) dengan sutradara David S. Goyer, bintang utamanya Justin Chatwin dan Margarita Levieva. Saya bertugas dalam membuat ulang cerita, untuk ujian akhir mata kuliah Movie and Premiere, LP3I beserta teman-teman. Judul project kita "Disguise". Ini adalah versi ideal saya, yang karena beberapa hal tidak bisa diwujudkan dalam project.

Semoga cerita ini bisa menghibur kawan-kawan. Dan ini masih ada lanjutannya, ditunggu saja ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun