Saya sempat menyimak sebuah unggahan dari akun media berperspektif perempuan di Instagram yang mengkritik forum diskusi filsafat yang semua narasumbernya laki-laki. Forum diskusi filsafat yang diinisiasi oleh salah satu content creator terkenal ini belakangan memang sedang hangat-hangatnya.
Saya sempat iseng menyimak satu video diskusi tersebut di akun YouTube content creator yang bersangkutan. Memang benar, seperti yang dibilang, tidak ada satu pun narasumber perempuan dalam forum tersebut.
Menurut unggahan tersebut, kehadiran narasumber yang semuanya laki-laki seolah membenarkan anggapan bahwa filsafat adalah dunianya "abang-abangan".
Fenomena seperti inilah yang dikenal sebagai "all-male panel" atau biasa disingkat manel.Â
All-male panel atau manel merupakan istilah yang merujuk pada kurangnya representasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya sebagai narasumber atau pembicara dalam diskusi, seminar, pemberitaan media, dan berbagai kegiatan publik lainnya.
Kritik terhadap fenomena ini muncul karena dianggap tidak memberi ruang bagi perempuan untuk bersuara. Selain itu, manel juga dianggap melanggengkan budaya patriarki dan stereotip bahwa perempuan tidak lebih kompeten dari laki-laki.
Kondisi biologis perempuan yang mengalami haid, kehamilan, melahirkan dan menyusui memang bisa membuat perempuan jadi lebih rentan dan emosional. Namun, itu bukan alasan untuk menyingkirkan mereka dari ruang-ruang pergumulan intelektual, kultural dan politik.
Bagaimana Fenomena All Male Panel Terbentuk?Â
Mengutip dari The Conversation, ada beberapa sebab absennya perempuan dalam suatu forum diskusi atau panel, seperti lebih banyak populasi laki-laki dibandingkan perempuan dalam suatu bidang atau perempuan lebih sering menolak menghadiri undangan ketimbang laki-laki.
Budaya patriarki memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan profesional dan sosial. Adanya bias yang tidak disadari (unconscious bias) membuat masyarakat kerap mengasosiasikan "otoritas" atau "keahlian" dengan laki-laki.
Di bidang-bidang tertentu, misalnya STEM (science, technology, engineering and mathematics), transportasi, atau filsafat, minimnya representasi perempuan, terutama di posisi strategis membutuhkan usaha lebih keras untuk menemukan mereka. Sayangnya, tidak semua penyelenggara kegiatan mau repot-repot mencari para perempuan pakar tersebut.