Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Politisasi Bahasa yang Mengusik Nalar Kita

28 Oktober 2022   17:34 Diperbarui: 30 Oktober 2022   16:42 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bahasa-photo by wallace chuck from pexels

Selain lekat dengan Hari Sumpah Pemuda, Oktober juga diperingati sebagai Bulan Bahasa. Hal ini masih berkaitan dengan salah satu poin dalam Ikrar Sumpah Pemuda, yaitu berbahasa satu bahasa Indonesia. Kedudukannya pun dikukuhkan dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 dan diperjelas melalui Undang-Undang Republik Indonesia No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

Dengan ini, bahasa Indonesia menjadi bahasa penghubung yang menyatukan masyarakat Indonesia dari beragam latar belakang. Ia dipakai di mana-mana dan untuk berbagai keperluan. Di rumah, institusi pendidikan, bisnis, media, sampai urusan pemerintahan dan ketatanegaraan.

Dalam sastra, bahasa hadir bukan hanya sebagai alat komunikasi tapi juga bentuk ekspresi dan pembebasan.

Soal fungsi dan kedudukan ini, pembaca tentu sudah paham. Namun, tahukah pembaca sekalian kalau bahasa juga bisa dipolitisasi demi kepentingan kekuasaan?

Sadar tidak sadar, beberapa istilah yang biasa kita temukan, dari era kejayaan koran sampai semua mua serba digital, merupakan hasil politisasi bahasa. Inilah salah satu warisan Orba yang masih dilestarikan oleh penguasa dan mempengaruhi logika berbahasa kita.

Memang apa sih politisasi bahasa itu?

Mengutip dari kantorbahasamaluku.kemdikbud.go.id, politisasi bahasa adalah rekayasa menggunakan bahasa, memberlakukan aturan bahasa dan memaksakan pemaknaan bahasa. Dalam hal ini bahasa dimaknai sesuai konteks politik penguasa. 

Munculnya istilah-istilah yang maknanya telah direkayasa oleh penguasa akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap istilah-istilah tersebut.

Saya beri contoh kata hasil politisasi bahasa yang paling populer, yaitu oknum.

Ada anggota kepolisian jadi pengedar narkoba, dikata itu oknum polisi. Ada TNI melakukan kekerasan pada warga sipil, katanya itu oknum TNI. Ada politisi ketahuan korupsi, dibilang itu oknum politisi.

Ketika media misalnya, memberi judul "Oknum Pejabat Kabupaten Anu Terima Suap Perizinan Tambang Rp 100 Miliar" untuk menyebut maling uang rakyat, kenapa nyaris tidak pernah ditemukan sebutan "oknum" untuk menyebut maling ayam?

KBBI mendefinisikan kata "oknum" sebagai: 1.) penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; 2.) orang seorang dan 3.) orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik).

Kita bisa aja ngeles dengan berpegang pada makna nomor 2 dan 3 untuk menyebut polisi, tentara, pejabat atau orang-orang besar dan berpengaruh yang melakukan pelanggaran hukum. Kita juga biasanya bakal refleks bilang, "Kan gak semua kayak gitu" dan semacamnya.

Namun, sebagai sebuah institusi, tindakan amoral dan inkonstitusional segelintir orang itu berdampak sekali bagi institusi. Yang berulah dia, dia dan dia, tapi itu jadi aib bagi institusi.

Konsekuensinya tentu saja tuntutan akan perbaikan sistem dalam institusi tersebut dan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan. Namun, gara-gara istilah sialan ini sudah dinormalisasi, institusi seolah berlepas tangan demi nama baik tetap terjaga.

Alih-alih menjadi masalah dan tanggung jawab institusional, oknumisasi mereduksinya menjadi sebatas masalah dan tanggung jawab individual. Makanya, masyarakat mau misuh-misuh kayak apa, tetap saja tidak ada perubahan.

Bentuk lain lagi dari politisasi bahasa yang sering digunakan adalah penghalusan makna dalam bentuk eufemisme. Contohnya, kata "diamankan" yang memperhalus kata "ditahan".

Istilah ini muncul berkaitan dengan Tragedi 1965, di mana terjadi penangkapan dan pembunuhan besar-besaran, baik terhadap orang-orang PKI maupun warga sipil biasa yang tidak tahu apa-apa. Saat itu Orba menggunakan istilah "mengamankan" warga alih-alih "menahan" untuk menyangkal apa yang sudah dilakukannya.

Padahal orang-orang yang (katanya) "diamankan" itu, nyatanya sama sekali tidak dalam keadaan aman. 

Kalau tidak dipenjara, dibuang ke Pulau Buru (untuk tapol laki-laki) atau ke Kamp Plantungan (untuk tapol perempuan). Kalau tidak keduanya, kemungkinan dibunuh dan entah di mana kuburnya.

Politisasi bahasa juga sering digunakan penguasa untuk membungkam kritik. Misalnya, melalui istilah "kritik yang membangun".

Jujur saja, saya kadang bingung yang dimaksud dengan "kritik yang membangun" itu yang bagaimana. Sebab, setahu saya, kritik itu sendiri artinya kecaman atau tanggapan.

Tanpa embel-embel "yang membangun" sekalipun, kritik pada dasarnya memang sudah membangun. Kan kritik ditujukan agar ada perbaikan. Berarti sudah jelas membangun dong.

Kritik yang disertai solusi? Sayangnya, itu seringkali juga cuma akal-akalan orang-orang yang anti kritik.

Bagi saya, kritik yang baik itu bukan kritik yang disertai solusi, melainkan kritik yang berlandaskan pada data dan fakta. Kalau tidak begitu, namanya fitnah. Toh, dalam kritik sebetulnya sudah terkandung solusi secara tersirat.

Penutup

Fungsi bahasa sejatinya adalah untuk komunikasi. Namun, di tangan pihak-pihak tertentu, bahasa bisa jadi alat propaganda.

Politisasi bahasa jadi berbahaya ketika ia mereduksi makna atau digunakan untuk memelintir fakta. Jika terus dilestarikan dan dinormalisasi, cara pandang masyarakat tentang suatu istilah juga akan mengikuti mereka yang mencetuskan dan mempopulerkannya.

Pertanyaan saya, perlukah kita mengganti istilah-istilah yang dirasa problematik itu dengan kata lain yang lebih baik dan sesuai?

Referensi: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun