Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sudah Saatnya Dunia Sains dan Teknologi Lebih Ramah terhadap Perempuan

13 Agustus 2021   16:25 Diperbarui: 15 Agustus 2021   08:47 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan dan teknologi | Sumber: shutterstock

Kalau saya sebutkan nama-nama seperti Albert Einstein, Isaac Newton, Galileo Galilei, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Stephen Hawking, pasti banyak yang sudah tahu siapa mereka.

Lalu, bagaimana dengan nama-nama seperti Marie Curie, Rosalind Franklin, Ada Lovelace, Mariam al-Ijliya, Sutayta al-Mahamali, Professor Nesreen Ghaddar?

Mulai dari zaman keemasan Islam, Renaisance di Eropa, pasca Perang Dunia II sampai era revolusi industri 4.0, selalu ada ilmuwan-ilmuwan perempuan yang bersinar pada zamannya. 

Sayangnya, penulisan sejarah dan kajian-kajian keilmuan yang terlalu maskulin cenderung lebih menonjolkan peran tokoh laki-laki. 

Sementara kontribusi perempuan bagi masyarakat dan dunia kurang mendapat sorotan meski sama-sama berjasa dan berprestasi. Termasuk pula dalam dunia sains dan teknologi sehingga bidang tersebut masih sering dipandang sebagai bidangnya kaum laki-laki.

Di dunia akademik, fakultas teknik adalah fakultas yang dianggap "cowok banget". Terutama di jurusan-jurusan teknik sipil, mesin, geologi, pertambangan, perminyakan, nuklir, di mana jumlah mahasiswi sangat minim.

Entah apa yang menyebabkan jurusan-jurusan tersebut minim mahasiswi. Apa karena sangat sedikit perempuan yang berminat pada jurusan-jurusan tersebut atau sebenarnya ada yang berminat tapi lingkungan tidak mendukung?

Seperti yang dialami oleh salah satu sahabat saya, sebut saja namanya Tina (nama samaran). Ia memang penyuka sains, terutama fisika. Oleh karena itu, Tina bercita-cita masuk teknik sipil setamat SMA. Tapi oleh orangtuanya dilarang dan disuruh masuk fakultas kedokteran. 

Waktu saya tanya alasan di balik pelarangan itu, katanya sih biar sahabat saya ini "lebih cewek" karena di fakultas kedokteran hampir sebagian besar mahasiswanya perempuan. Harapannya biar Tina ini nggak tomboy-tomboy amat gitu lho.

Selain itu, semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah lulusan perempuan juga semakin berkurang. Minimnya jumlah perempuan yang menempuh pendidikan jenjang doktoral (PhD) mengakibatkan jumlah peneliti perempuan lebih sedikit. 

Kebijakan pemberian beasiswa magister (dengan usia maksimal 35 tahun) dan doktoral (dengan usia maksimal 45 tahun) menjadi salah satu pemicu terkendalanya perempuan meraih gelar doktor. Sementara perempuan di bawah umur 40 tahun rata-rata masih melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Apalagi jika anaknya lebih dari satu.

Di dunia kerja lebih miris lagi. Persentase perempuan yang bekerja di bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) hanya sekitar 30%.

Perempuan yang bekerja di male dominatd industry, termasuk peneliti di bidang STEM sering mengalami berbagai kendala. 

Ketiadaan fasilitas seperti ruang laktasi, tempat penitipan anak atau fasilitas lain yang mendukung perannya sebagai pekerja dan ibu, kemudian beban ganda antara pekerjaan dan tugas-tugas domestik sementara pekerjaan menuntut mereka untuk riset lapangan (kadang harus ke luar kota bahkan luar negeri), tidak adanya fleksibilitas waktu bekerja sebagai peneliti, membuat perempuan yang bekerja di bidang ini kadang harus rela melepas kariernya. Mereka dibuat dilema dan harus memilih antara mau jadi wanita karier atau jadi istri dan ibu.

Ditambah dengan adanya glass ceiling---yang tak kasat mata tapi ada---di tempat kerja, membuat perempuan dinilai seolah tidak kompeten dan profesional sehingga cita-cita mereka untuk menempati posisi-posisi strategis dalam perusahaan atau instansi harus kandas. Tentang apa itu glass ceiling bisa dibaca di artikel saya yang INI.

Perempuan yang berkarier di male dominated industry juga rentan terhadap tindak pelecehan dan seksisme bahkan sejak proses rekrutmen. 

ilustrasi sains dan teknologi | Sumber: pixabay/Mark Mags
ilustrasi sains dan teknologi | Sumber: pixabay/Mark Mags

Giliran ada lowongan yang diminati, kualifikasi sesuai, punya pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni, ternyata yang dibutuhkan laki-laki. Akibatnya mereka terpaksa banting setir ke pekerjaan-pekerjaan lain.

Kalau pun diterima, rata-rata hanya bekerja sebagai tenaga pendukung atau administrasi sehingga skill sains dan teknologinya kurang terasah.

Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Bidang STEM

Kesetaraan gender bukan hanya milik perempuan. Kesetaraan gender diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan laki-laki maupun perempuan.

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender dibentuk oleh konstruksi sosial.

Anak perempuan main boneka dan rumah-rumahan, sedangkan anak laki-laki main mobil-mobilan dan robot-robotan. Perempuan tugasnya mengurus anak dan pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki tugasnya bekerja. 

Perempuan cocoknya jadi sekretaris atau bendahara, sedangkan laki-laki jadi ketua. Ini semua adalah hasil konstruksi sosial---yang apabila tidak melakukan hal tersebut---orang akan mengatakan "Anda telah melanggar kodrat".

Suatu bidang ilmu atau pekerjaan itu bersifat netral (tidak dilekatkan dengan jenis kelamin atau geder tertentu). Yang membuatnya seolah-olah menjadi "bidang kerja perempuan" atau "bidang kerja laki-laki" adalah persepsi kita sendiri.

Pentingnya peranan perempuan dalam dunia STEM tentu saja untuk menyuarakan dan memenuhi kebutuhan perempuan yang selama ini terabaikan.

Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam antaranews.com, menyebutkan sekitar 60 juta atau 56% pekerja di Indonesia menghadapi risiko kehilangan pekerjaan akibat tergantikan oleh otomatisasi atau mesin. 

Pekerja perempuan yang umumnya bekerja di bidang yang tidak membutuhkan keterampilan sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM) berisiko terdampak hingga 2 kali lebih besar.

Permasalahan sosial dan dunia yang semakin kompleks menuntut kontribusi dan kerja sama dari berbagai elemen ras, agama, suku, etnis, gender dan sebagainya. 

Selain berguna bagi kemajuan dunia STEM sendiri, adanya kesetaraan dan keberagaman diharapkan dapat mewujudkan pembangunan ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan lingkungan yang lebih merata.

Keberadaan dan peran perempuan dalam bidang ini perlu didukung oleh berbagai pihak agar mereka juga dapat menjadi inspirasi dan role model bagi generasi muda, baik anak-anak perempuan maupun laki-laki.

Referensi : 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun