Mohon tunggu...
Luna Khoirunnisa
Luna Khoirunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

An IR student

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yaman di Tengah Pandemi: Antara Konflik, Kemiskinan, dan Wabah

15 Juni 2020   00:04 Diperbarui: 15 Juni 2020   00:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Virus COVID-19 yang mulai menyebar pada akhir 2019 rupanya mampu melumpuhkan aktivitas masyarakat di seluruh penjuru dunia. Hampir seluruh kegiatan terhambat akibat penerapan pembatasan fisik atau physical distancing yang dilakukan dengan karantina mandiri hingga pemberlakuan lockdown di beberapa negara. PBB menyatakan bahwa akibat pembatasan aktivitas pada sektor perekonomian, ekonomi dunia menyusut hingga 3,2 persen atau setara dengan keuntungan global selama empat tahun. Beberapa negara seperti Italia dan Malaysia lebih memilih untuk memberlakukan lockdown untuk melindungi rakyatnya meski harus mengalami kerugian ekonomi yang lebih besar.

Sementara itu, pandemi COVID-19 tidak menghentikan konflik di Yaman. WHO mencatat bahwa kasus virus Corona di Yaman mencapai 636 kasus per 13 Juni 2020, yang sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya---Saudi Arabia dengan 119.942 kasus dan Oman dengan 21.071 kasus. Banyak ahli meyakini bahwa rendahnya kasus di Yaman disebabkan karena sistem kesehatan yang kurang memadai dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap media dan pemerintahnya sendiri akibat konflik internal yang berkepanjangan. Bobroknya sistem pemerintahan yang diakibatkan oleh konflik yang masih berkobar di Yaman membuat sistem kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam menangani COVID-19 ikut ambruk. Dengan kondisi seperti ini, 16 juta orang di Yaman terancam terinfeksi virus Corona.

Ya, konflik Yaman memang masih terus berlanjut di tengah kondisi yang sangat memprihatinkan. Tidak hanya di Yaman, pandemi COVID-19 juga tidak menurunkan tensi pada konflik-konflik lainnya di Timur Tengah, seperti konflik di Irak, Syria, dan Libya. Adanya keterlibatan antara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sebagai aktor di balik layar dalam konflik ini semakin memperkeruh jalannya konflik. Pasalnya, dalam konflik tersebut tidak hanya terdapat kepentingan antara kelompok-kelompok separatis dan pemerintah, namun juga terdapat kepentingan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab di dalamnya sehingga konflik ini sangat rumit untuk diselesaikan. Meskipun pada pertengahan 2019 Uni Emirat Arab telah mulai menarik pasukannya secara perlahan, Arab Saudi masih menjadi aktor eksternal di konflik tersebut.

Pada 9 April lalu, Arab Saudi telah mengumumkan bahwa pihaknya telah melakukan gencatan senjata yang diamini oleh Pemerintah Yaman. Namun tak lama setelah gencatan senjata disepakati, kelompok separatis Hutsi kemudian melanggar perjanjian tersebut dengan kembali melakukan serangan.

Selain menghadapi ancaman serangan dari konflik dan pandemi COVID-19, rakyat Yaman masih terus bertahan untuk menghadapi wabah Kolera serta malnutrisi dan kelaparan yang disebabkan oleh kemiskinan dalam waktu yang bersamaan. Konflik di Yaman akhirnya berdampak pada berbagai masalah struktural dan sosial yang serius. Kelaparan terjadi di seluruh Yaman akibat langkanya bahan pangan karena kekacauan yang melanda. Menurut UNICEF, hampir 2,2 juta anak di Yaman mengidap kekurangan gizi akut dan 80 persen rakyat Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah korban yang meninggal karena kelaparan dan penyakit lebih banyak dari korban yang meninggal karena perang. PBB menyatakan bahwa kelaparan yang terjadi di Yaman merupakan kasus kelaparan terburuk di dunia selama 100 tahun belakangan. Akibatnya, Yaman menempati posisi atas sebagai salah satu negara dengan tingkat malnutrisi tertinggi di dunia.

Kemiskinan di Yaman berdampak pada berbagai aspek, salah satunya kesehatan. Kemiskinan di Yaman berakibat pada lemahnya ketahanan masyarakat terhadap penyakit karena langkanya bahan pangan di Yaman. WHO mencatat bahwa Yaman telah berperang melawan wabah Kolera sejak tahun 2016 yang hingga saat ini masih membayangi rakyat Yaman. Menurut laporan WHO,  terdapat hampir 2,3 juta kasus Kolera dengan angka kematian sebesar 3.781 kasus pada gelombang kedua wabah kolera yang berlangsung pada April 2017-Januari 2020. Salah satu alasan mengapa wabah Kolera belum dapat terselesaikan di Yaman adalah karena minimnya suplai air bersih di Yaman, sehingga masyarakat seringkali tidak peduli akan higienitas untuk mendapatkan air bersih yang menyebabkan tingginya penyebaran penyakit melalui air.

Bantuan kemanusiaan untuk Yaman pada masa pandemi ini mengalami kesulitan akibat negara-negara donor yang mengalokasikan anggarannya untuk menangani COVID-19. Beberapa organisasi internasional yang memberikan bantuan kemanusiaan pada Yaman kini kewalahan akibat menipisnya dana yang dimiliki. Konferensi Donor PBB yang diadakan di Arab Saudi pada 2 Juni lalu menghasilkan $1,35 miliar atau hanya separuh dari dana yang dibutuhkan Yaman. Hingga kini, Yaman sedang berjuang untuk menyelesaikan kemiskinan, wabah Kolera, dan COVID-19 dengan keterbatasan dana dan bantuan kemanusiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun