Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bintang yang Terlihat Redup

15 Februari 2023   08:07 Diperbarui: 15 Februari 2023   08:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seseorang di sebelahku tertawa. Akun Pak Dekan ramai, orangnya yang humble dan bijaksana itu banyak sekali postingannya. Dari mulai kegiatan fakultas, dinas keluar kota, bertemu kawan lama, mahasiswa yang berprestasi dan masih banyak lagi, macam-macam.

"Atau aku dapat membuat tokohku bernama Nadia sang juara artike. Dimana perlombaan artikel yang diikutinya, maka setelahnya dipastikan namanya terpampang dalam barisan juara.. Atau Uswah yang memiliki puluhan sertifikat penghargaan lomba. Dari lomba tilawah, ceramah, hafalan al-Qur'an. Atau bisa juga Mawaddah, yang dari tangannya yang mungil itu dapat mencipta keindahan kaligrafi yang mengahrumkan namanya di posisi juara pertama," paparku masih memperhatikan tetesan hujan yang turun.

Tiap tetes yang jatuh, hilang silih berganti menyatu dengan kubangan yang semakin banyak. Tak ada yang memperhatikan sudah berapa butir yang jatuh dari langit. Aku ingat, itu yang dibuat Bang Tere perumpamaan kehidupan manusia, hidup sebentar, menetes lalu mati menyatu dengan air dalam genangan. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang benar-benar peduli, kecuali pemilik kehidupan itu sendiri.

"Kisah Mba Annisa juga menarik, wajahnya cantik perawakan layaknya dosen, dan jangan lupakan, dia hafal 30 juz. Kuliah sambil mengajar di banyak tempat. Atau Kak Kholis, ketua umum organisasi besar di kampus, yang disegani, suka naik gunung juga. Duh banyak, banyak orang-orang hebat yang ada dikampus ini dan aku hanya mengenal beberapa."

Seseorang disebelahku menatapku, aku tau itu sedari tadi. Sedang tatapanku masih menatap bulir hujan yang dikata sumber kehidupan itu.

"Kau tak tertarik kah menulis tentang Mamang penjual tisu. Yang setiap harinya keliling kampus, mendatangi satu tempat ketempat lain dengan teriakan yang khas, tiiisssuuuu, Aqua dingiiinnnn, yang lagi jatuh cintaaaa," ujarnya menirukan khas gaya Mamang pejual tisu yang tak kutau namanya.  

Aku mengangguk.

"Atau kau tak tertarik kah untuk menjadikan tokoh utamamu seperti Buk Nur. Tanpa Buk Nur kau tak akan lihat keindahan fakultas tanpa daun kering dan sampah sehelaipun di pelatarannya."

"Eh, tapi Buk Nur suka marah-marah," sahutku. Sedang dia tertawa, ingat bagaimana aku pernah dimarah Buk Nur karena sampah kertas yang ada di sampingku, padahal bukan sampahku.

"Beliau capek, Luk. Fakultas ini luas. Mahasiswa juga sering tak tau aturan, sembarangan buang sampah dengan dalih toh ada yang membersihkan nantinya. Atau lebih kurang ajarnya lagi berseloroh agar para petugas kebersihan tak makan gaji buta," paparnya, turut menghempaskan punggung.

Aku mengangguk sepakat dengan ucapannya, tak hanya mahasiswa yang tak tau aturan di Fakultas ini. pepohonan juga, aku pernah melihat Buk Nur menyapu, dan dengan entengnya pohon itu menjatuhkan daunnya ditempat yang sudah Buk Nur sapu. Aku menatap pohon di depanku, tak tau aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun