Masih ramai terkait polemik angkutan online.
Beberapa menganggap angkutan online jauh lebih baik dari angkutan resmi konvensional.
Sebagai pengguna moda transportasi baik resmi maupun ilegal (termasuk online), saya mau berbagi beberapa kisah yang menjelaskan angkutan online pun masih banyak kekurangan
Â
1. Sopir Ga Tau Jalan
Sama seperti konvensional, online pun seringkali ga tau jalan. Saya sendiri memahami bahwa Jakarta itu luas bin rumit, maka sebenarnya alasan ga tau jalan bisa dikesampingkan.
Cuma agak gemes saja dengan anggapan bahwa hanya sopir taksi konvensional yang "ga tau jalan". Untuk menjangkau rumah saya (Setu, Jaktim) hampir 100% pengemudi baik online maupun konvensional tidak tahu.
Di situlah peran kita sebagai penumpang untuk memberikan pengarahan. Meski online pakai aplikasi Waze, Google Map dsb nya, saya lebih percaya rute yang saya berikan. Namanya aplikasi pasti ada saja kekurangan, beda dengan kita yang hampir setiap hari lewat.
Â
2. Sopir Ga Tau Lokasi Jemput
Hampir 3 bulan saya selalu order Grabcar untuk istri yang sedang hamil. Saya order saat pulang kantor (berangkat biasanya pakai mobil sendiri yang disupiri adik saya), baik saat saya ikut pulang ataupun saat saya sedang di luar kota (order pakai HP saya).
Namun ada 1 kejadian unik nan menggemaskan pertengahan 23 Februari lalu.
Saya dan istri order Grabcar dari kantornya di wilayah Letjen Soetoyo Cawang. Tidak lama ada 1 pengemudi yang menyambar order saya. Saya cek di aplikasi sang sopir mengarah ke PGC, takut makin jauh saya telp ybs
Saya: pak dimana?
Sopir: ini mengarah PGC
Saya: oh y sudah bapak nanti puter balik, masuk saja ke BKN
Sopir: oh BNN pakÂ
Saya: bukan pak. BKN, yg dulunya BAKN
Sopir: oh BKKBN, Halim dong pak?
Saya: (kesal tapi disabar2i). bukan pak. Udah bapak putar balik aja di PGC, nanti abis pom bensin ada di sebelah kiri
Sopir: baik pak
Â
5-7 menit tidak ada kabar dari si sopir. Saya cek aplikasi, si sopir ternyata berbelok ke Dewi Sartika. Alias makin menjauh. Saya telp lagi.
Saya: lho bapak kemana? Koq malah ke arah Dewi Sartika?
Sopir: ini saya ga boleh memutar di PGC (disini saya udah mulai ga percaya sopir ini, karena di depan PGC merupakan putaran legal yang dipakai kendaraan2 mulai dari TJ, PPD R45, KWK T15A dan tentunya kendaraan pribadi)
Saya: trus gimana, bapak makin jauh. Saya bawa orang hamil nih pak
Sopir: saya cari putaran terdekat
Saya: ya tapi itu wilayah macet pak. Aduh bapak ini. Liat GPS dong pak
Sopir: iya saya liat GPS koq
HP saya matikan. Emosi mulai meningkat, namun mengingat istri sedang hamil saya ya mesti sabar2in.
Â
3 menit saya cek, si sopir makin mengarah pertigaan Kalibata
saya telp lagi
Saya: pak, bapak mau kemana sih?
Sopir: ini saya lagi cari puteran
Saya: saya bawa orang hamil pak, jangan dibuat nunggu lama2. Kalo ga hamil juga saya mending cari taksi diluar atau ngangkot
Sopir: ini pak saya nyari putaran
Saya: tapi bapak makin jauh. Saya cancel aja ya
Sopir: oh y udah pak
Â
Saya coba cancel order tersebut. Sialnya aplikasi menolak dengan alasan: Driver is Near From You.Â
Near dari Hongkong, hampir 30 menit menunggu malah makin jauh.
Mau ga mau saya nunggu sopir ngaco ini, saya lihat aplikasi si sopir sudah memutar arah PGC lagi.
Â
Saya: pak, saya ga bisa cancel nih
Sopir: iya pak, tunggu aja ya
Saya: ya udah kami tunggu pak
Â
3-5 menit saya cek di aplikasi
EDAN, si sopir malah lurus di perempatan PGC ngarah ke Halim
Saya: pak, bapak serius ga sih ngambil order ini?
Sopir: serius pak. Ini saya disuruh lurus sama polisiÂ
Saya: saya bawa orang hamil pak, klo ga ngapain jg order Grab
Â
telp saya putus
Â
Saya cek aplikasi, coba cancel lagi. Kali ini berhasil.
30 menit lebih kami buang waktu untuk menunggu Grab. Akhirnya kami paksakan jalan ke depan. Sebuah taksi Blue Bird lewat, kami stop.
Seperti biasa si sopir ga tau arah rumah kami, namun ybs ngaku sendiri. Bagi saya g masalah, yang penting jangan ga tau tapi sok tau kayak sopir Grab tadi.
Â
3, Ga Tau Tata Krama
Ini kejadian 20 februari 2016. Ketika itu saya order Grab untuk pulang dari RS Haji ke rumah. Oia, saat berangkat kami pun pakai Grab. Si sopir menjelaskan dia tersasar sampai ketemu order saya. Katanya dia mengikuti Waze sejak dari Alternatif Cibubur, diarahkan masuk jalan kampung hingga nemu Setu. Soal tata krama, sopir kesasar ini cukup baik.
Kembali ke Tata Krama.
Sopir g tau tata krama ini saya dapatkan saat pulang kontrol dari RS Haji.
Saya dapat Mobilio, mobilnya sangat bersih. Sopirnya pun terlihat 'anak orang kaya'.
Sesaat kami masuk dan mobil beranjak dari loby si sopir menunjuk ke arah saya, dan berkata ketus
Sopir: sabuknya dongÂ
Saya: (oh oke, emang bener juga maksudnya. Saya ga gila hormat, tapi di sopir taksi biasa pun saya g pernah sampai diketusin gini)
Mobil berjalan. Adat saya selalu mencoba ramah dengan sopir, hal ini ditanamkan ortu saya sejak saya kecil saat diajak mereka naik taksi maupun angkot.
Maka sepanjang perjalanan saya memanggil si sopir tetap dengan kata 'pak' atau 'bapak' meski si sopir saya yakin lebih muda dari saya.
Konyolnya si sopir dengan santainya menjawab obrolan menggunakan kata 'gue-lo'.
Saya tau mungkin si sopir posisi ekonominya lebih baik dari kami, tapi mesti sadar bahwa saat membawa Grab posisinya adalah sopir dan kami adalah tamunya. Saya yakin Grab, maupun perusahaan taksi konvensional, pun menanamkan bahwa penumpang harus dianggap sebagai 'tamu' yang harus dilayani.
Â
4.Perilaku Pemotor Pada Gojek
Selain Grabcar, saya juga kadang pakai Gojek.
Nilai lebih Gojek adalah untuk memesan tidak mesti ke pangkalan, dan tarif lebih murah+pasti.
Selebihnya?
Tidak ada
Perilaku Gojek/ojek online lain 11-11 (bukan 11-12 lagi) dengan ojek pangkalan. Kekurangannya dengan ojek pangkalan adalah Gojek kurang hapal jalan, beda dengan ojek pangkalan yang cenderung 'hapal medan' meski tarifnya semau dia (eh tapi ojek di wilayah UKI dan Kp Melayu tarifnya cenderung ramah karena saingan banyak).
Perilaku Ojek Online melawan arus, berhenti di depan garis stop, hingga masuk busway sudah sangat mudah kita lihat sehari-hari.
[caption caption="Gojek Lawan Arus Di Sentiong (koleksi pribadi)"][/caption]Pengalaman pribadi, sopir Ojek Online sekarang ga sungkan untuk melanggar lalu lintas saat bawa penumpang. Saya pernah diajak nerobos busway, wah kalo ini benar-benar terasa "Gojek Terintegrasi Busway" haha
[caption caption="Diajak nerobos busway di depan Carolus (koleksi pribadi)"]

Abang: mas dicancel aja ya. Ternyata saya ada bla bla bla bla
Ya saya sih terserah, banyak moda koq selain ojek.
Demikian beberapa kisah buruk saya dengan Grab maupun Gojek. Ini hanya beberapa ya, yang baik pun banyak. Bahkan sampai sekarang saya ga pelit kasih bintang lima ke sopir-sopir tersebut.Â
Teriring harapan saya supaya ada deregulasi pungutan-pungutan ke angkutan resmi seperti retribusi keur, retribusi trayek dsb nya hingga pungli. Jika pungutan-pungutan tersebut dihilangkan, tarif angkutan resmi bisa ditekan hingga ga kalah murah sama yang ilegal.
Harapan lain, serangan angkutan ilegal online semoga menjadi cambuk untuk angkutan resmi konvensional supaya berbenah. Ayo bang, jangan mau kalah sama yang online!!
Â
Salam
Â
Andreas Lucky Lukwira
@NaikUmum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI