Mohon tunggu...
Lukluk Anjaina
Lukluk Anjaina Mohon Tunggu... Penulis - Sekjen Pelataran Sastra Kaliwungu

Bercengkrama dengan kata-kata, berkata-kata dengan seksama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyikapi Tren Penutupan Desa dengan Portal

26 Mei 2020   16:29 Diperbarui: 9 Februari 2021   10:54 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akses masuk di RT.01 RW.01 Desa Brangsong | Foto: Akses masuk Desa Brangsong via RT.01/RW.01

Pagi-pagi matahari baru beranjak menaiki atap rumah, jendela-jendela mulai dibuka mempersilahkan cahaya bercengkerama, hinggap bersama obrolan warga di Desa Brangsong Kendal. Ada topik pembicaraan yang sedang ramai dibicarakan, yaitu mengenai wacana Pemerintah Desa menutup akses masuk desa dengan portal-portal yang dibuat secara portabel. Perkumpulan ibu-ibu di sudut desa memperkirakan kemungkinan-kemungkinan. Bapak-bapak menyiapkan diri dengan mencukupi keperluan keluarga.

Tak bisa dipungkiri, persebaran Covid-19 di berbagai daerah semakin merebak seiring dengan meningkatnya aktivitas warga pada hari raya Idulfitri ini. Bahkan, menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terjadi peningkatan jumlah kasus positif secara drastis menjelang hari raya Idulfitri. Hal ini tentu menjadi keresahan bersama sebagai warga negara yang selalu menerapkan protokol kesehatan dan selalu patuh terhadap himbauan pemerintah.

Apalagi mengenai larangan mudik yang masih terlihat dilanggar oleh sebagian masyarakat kita, meski tidak sepenuh mudik biasanya, pergerakan transportasi dari kota ke desa masih terlihat di jalanan pantura. Saya jadi ingat pada kesempatan mudik beberapa tahun belakangan, ketika harus menerima tugas penjagaan pos PAM di daerah, setiap menjelang lebaran tiba wajah kemacetan terjadi dimana-mana, yang tentu tidak akan ditemui pada kesempatan tahun ini.

Ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil kebijakan rupanya menjadi salah satu poin penting yang dijadikan dasar masyarakat mengambil keputusan. Beberapa kebijakan yang masih menerapkan toleransi cenderung menjadi kebijakan yang kurang efektif. Hingga belakangan kita harus dikecewakan dengan tingkah masyarakat yang beramai-ramai ke toko pakaian dan fenomena di McD Sarinah. Tentu masyarakat yang telah karantina di rumah selama hampir 3 bulan merasa sia-sia.

Keresahan yang terjadi di masyarakat kita berujung pada tindakan inisiatif yang dilakukan pemerintah desa untuk mengamankan wilayahnya dari Covid-19. Sejak sehari menjelang lebaran hingga hari kedua lebaran terlihat beberapa pejabat desa menyibukkan diri menggelar rapat-rapat untuk mengambil segala upaya inisiatif demi keamanan warga, bahkan sampai tingkat RT yang menyebar sebaran berisi himbauan selama lebaran untuk tetap di rumah saja dan berlebaran hanya dengan tetangga kanan kiri rumah.

Ramainya pemerintah desa menggelar rapat menyusul hasil rapid test yang menunjukkan sebanyak 26 reaktif pada malam lebaran dan imbas meningkatnya aktivitas keluar masuk desa yang tak terkendali yang dikhawatirkan akan membawa persebaran Covid-19 ke dalam desa secara luas. Tak heran, sejak malam lebaran, beberapa informasi mengenai penjemputan sejumlah pasien diduga Covid-19 memasuki beranda-beranda rumah, ruang-ruang obrolan, hingga pembicaraan pengurus RT dan PKK di grup WhatsApp. Lebih-lebih penjemputan yang dilakukan oleh pihak berwajib lengkap mengenakan Alat Perlindungan Diri.

Tak butuh waktu lama, beberapa desa dan akses jalan di gang-gang telah di blokade warga secara mandiri sejak berbagai informasi penjemputan pasien di desa sebelah menghinggapi obrolan mereka. Ada yang berinisiatif dan spontan menutup begitu saja, ada pula yang menggelar rapat-rapat terlebih dahulu untuk memutuskan kebijakan berapa lama. Warga telah siap dengan berbagai properti untuk menutup akses masuk daerahnya.

Beberapa gang terlihat ditutup dengan sebilah bambu dan banner bekas yang melintang jalan secara penuh. Tak sedikit pula kata-kata dituangkan dalam banner bekas, dari yang bernada lelucon hingga bernada serius, seperti "Lagi lockdown, nekat smackdown". Tentu ini menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi warga sekitar yang dibuat khawatir dengan persebaran Covid-19.

Tetapi, tampaknya, apa yang dilakukan beberapa desa cenderung mengikuti tren, gengsi, dan wajah gagah dari sebuah desa. Pola ini sangat terlihat ketika bermula dari sebuah desa menutup akses masuk kemudian diikuti secara ramai-ramai oleh desa-desa sebelah. Seolah pemerintah desa ingin menunjukkan kemampuannya dalam mengambil kebijakan yang serupa, dengan beragam apresiasi yang memasuki telinganya.

Penutupan desa dengan portal-portal tersebut tidak memiliki esensi yang jelas apalagi ketika melihat kebijakan yang masih memperbolehkan warganya keluar masuk desa, yang mana ini sama saja akan berpotensi dalam menyebarkan Covid-19 yang dilakukan oleh penduduk desa itu sendiri. Penutupan tersebut juga cenderung tanpa melihat kebutuhan yang sebenarnya.

Hal ini bisa juga dilihat ketika kita merasakan bagaimana sirkulasi penduduk desa ketika jatuh tempo hari raya telah terjadi, sedangkan wacana penutupan baru akan dilakukan pada hari ini, tepat pada hari kedua lebaran tahun ini. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, barangkali pepatah ini yang sedikit menjawab keresahan saya mengenai keterlambatan inisiatif pemerintah desa menutup akses masuk desanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun