Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Aji Sudah Out, Masihkah Tribun Stadion Sepi?

1 Agustus 2017   15:54 Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:01 4453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber fotografet.net: Aremania membentang spanduk bertuliskan ISLAH STADION FULL kala Arema FC bertanding di Stadion Kanjuruhan beberapa waktu lalu.

Aji Santoso memutuskan mundur dari kursi pelatih Arema FC, Senin (31/7/2017). Ini menyusul kegagalan klub yang diasuhnya menang melawan Borneo FC dalam laga kandang di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (30/7/2017). Arema FC hanya meraih satu poin setelah ditahan imbang 0-0 klub tamu asal Kalimantan itu.

Keputusan mundur Aji Santoso ini disampaikan Manajer Arema FC, Ruddy Widodo kepada kepada media. Ruddy mengungkapkan keputusan mundur diambil Aji setelah disarankan manajemen. Ia juga mengungkapkan mundurnya Aji juga sebagai upaya untuk memperhatikan aspirasi Aremania.

"Aremania adalah bagian Arema. Klub tidak bisa sebesar ini tanpa adanya dukungan total dari Aremania. Tentu saja, kami harus menghargai aspirasi mereka," terang Ruddy dikutip dari CNNIndonesia.com.

Aremania sebelumnya seringkali meminta Aji Santoso mundur setelah hasil buruk yang diraih dalam sejumlah pertandingan yang dilakoni Arema FC. Bagi Aremania, meminta mundur pelatih asal Kepanjen, Malang ini bukan saja karena hasil akhir pertandingan, tetapi sejak dilatih Aji, Arema FC dianggap bermain tanpa pola dan karakter yang jelas. Permainan cepat dan keras khas Arema juga sama sekali tidak terlihat. Di media sosial tuntutan mundur ramai dengan tagar #AjiOut.

Hasil buruk yang diraih Arema FC di beberapa kali laga terakhir juga dianggap sebagai salah satu penyebab tribun stadion tidak penuh ketika klub ini menjalani laga kandang di Stadion Kanjuruhan. Aremania dianggap sudah malas menonton langsung Arema FC yang jarang menang dan permainannya yang monoton.

Sepinya tribun stadion tidak dipungkiri akan berdampak pada kesehatan finansial manajemen Arema FC. Sebagai klub profesional, manajemen dituntut pintar mencari penghasilan sendiri untuk operasional klub dari berbagai sektor, salah satunya pendapatan dari hasil penjualan tiket penonton dalam setiap laga kandang.

Selama putaran pertama gelaran kompetisi Liga 1 2017 ini saja, jumlah penonton pertandingan Arema FC rata-rata 9.797 penonton pertandingan. Jauh lebih sedikit dari kapasitas Stadion Kanjuruhan yang mampu menampung penonton sampai 35.000 orang. Jumlah ini menempatkan Arema FC di posisi ketujuh jumlah penonton terbanyak di antara 18 peserta kompetisi Liga 1. Tentu saja angka ini tidak sebanding dengan nama besar Arema.

Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan Persib Bandung di posisi pertama penonton terbanyak dan Persija Jakarta. Jumlah penonton Persib Bandung rata-rata mencapai 27.276 orang. Sementara, di urutan kedua adalah Persija Jakarta dengan jumlah 26.279 orang per pertandingan. Arema bahkan masih kalah dengan klub kemarin sore, Bali United di urutan keenam dengan rata-rata penonton 10.213 per pertandingan.

Inilah mungkin yang menjadi pertimbangan manajemen menyarankan Aji untuk mundur. Sebagai gantinya, manajemen menunjuk Joko Susilo yang sebelumnya sebagai asisten pelatih menjadi pelatih Arema FC. Joko yang sudah lama bersama klub ini diharapkan dapat mengangkat prestasi karena dianggap sudah tahu luar dan dalam soal Arema FC. Dengan prestasi Arema FC yang baik, manajemen berharap Aremania akan kembali memenuhi tribun stadion, dan ketika tribun sudah penuh tentu saja akan berdampak positif bagi finansial klub ini, manajemen akan banyak mendapat laba dari penjualan tiket pertandingan.

Namun sebaliknya kalau prestasi klub tetap atau justru semakin memburuk? Tentu saja tribun stadion akan tetap sepi dan akan kembali terdengar teriakan yang di media sosial bertagar #JokoOut. Begitulah seterusnya, Aremania akan tetap menuntut hal yang sama. Mereka berpikir tidak mau rugi membeli tiket dengan membayar uang paling murah Rp 35 ribu untuk ekonomi. Saat merasa sudah membayar sejumlah uang, mereka merasa berhak menuntut sesuatu yang terbaik dari uang yang dibayarkan.

Bagi mereka, sepak bola adalah sebuah hiburan. Ketika datang ke stadion dengan meluangkan waktu dan uang, mereka ingin mendapatkan kesenangan. Ini wajar karena naluri manusia butuh hiburan untuk senang agar tidak stres dari rutinitas membosankan yang dilakoni. Sebaliknya kalau tidak mendapatkan kesenangan karena Arema FC bermain buruk dan jarang menang, maka akan merasa rugi. Perasaan rugi mereka sama dengan rugi yang diderita manajemen ketika tribun stadion sepi.

Inilah salah satu dampak industri sepak bola. Manajemen klub akan mengelola klub dengan profesional mempertimbangkan prinsip ekonomi untung dan rugi. Arema sudah punya nama besar dan basis suporter fanatik yang besar pula. Manajemen sadar bahwa nama besar Arema dan fanatisme Aremania adalah salah satu modal untuk meraup laba sebesar-besarnya. Mulai dari menjual tiket pertandingan, apparel sampai apa saja yang ada nama dan simbol Arema dikomersilkan.

Awal mengelola Arema mereka puas karena dengan dua modal awal tadi sudah dapat meraup laba besar. Namun sebagai kapitalis mereka selalu ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Dinaikkanlah harga tiket pertandingan sedikit demi sedikit. Aremania yang masih dibutakan fanatisme tetap saja membeli. Sampai harga tiket itu tidak dapat dijangkau oleh semua kelas sosial Aremania. Mereka sampai ada yang menabung dari satu pekan bekerja agar bisa menyaksikan pertandingan Arema di akhir pekan. Sebagian lagi lebih selektif karena mereka hanya sanggup membeli satu tiket pertandingan dalam satu bulan, dari sekian pertandingan mereka memilih satu pertandingan untuk ditonton.

Selebihnya mereka menyaksikan Arema berlaga dari layar televisi sekalipun laga kandang. Karena sebagai klub besar Arema sering ditayangkan televisi karena marketable. Tribun stadion berangsur tidak penuh. Manajemen mulai cemas. Mereka cemas tidak akan lagi mendapatkan laba besar dan justru merugi. Meskipun mendapatkan hasil dari hak siar televisi tetapi itu dianggapnya tidak seberapa. Dengan nama besar Arema mereka kemudian menuntut loyalitas Aremania kepada klub kebanggannya itu.

Kepada media mereka bicara kalau klub terancam merugi dan bangkrut. Karena itu agar tetap eksis mereka melalui pemberitaan di media menuntut loyalitas dengan meminta Aremania memenuhi tribun stadion. Aremania yang masih cinta dengan Arema sebagian melakukan apapun untuk mendukung klub kesayangannya itu. Menjual barang berharga tidak jadi soal asal dapat berkontribusi bagi kelangsungan eksistensi Arema berkompetisi di liga. Namun sebagian lain tersadar bahwa mereka suporter bukan customer.

Pola pikir mereka perlahan bergeser dari sebelumnya suporter yang datang untuk mendukung menjadi customer yang menonton pertandingan setelah membeli tiket masuk. Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi lama sejak sekian tahun lalu. Dan manajemen sudah mulai merugi sejak 2014 lalu ketika pendapatan dari tiket masuk kurang dari target.

Saat itu, selama satu musim manajemen hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket masuk Rp 5,3 miliar. Lebih sedikit dari target sebesar Rp 8 miliar. Kecilnya pemasukan tiket ini karena berkurangnya jumlah penonton. Ini setelah manajemen menaikkan harga tiket masuk sebesar 5-20 persen. Jika dirata-rata penonton yang hadir sebanyak 18.881 orang per pertandingan atau tidak lebih dari setengah kapasitas tribun stadion yang mampu menampung 35.000 orang.

Begitupula pada 2015 lalu. Misalnya saat babak penyisihan Piala Presiden. Seperti diberitakan bola.com, dari tiga pertandingan yang dilaksanakan di Stadion Kanjuruhan, penonton yang datang jauh dari harapan. Manajemen Arema tidak saja gagal meraup laba, bahkan sampai merugi. Saat laga Arema vs Persela hanya disaksikan 6.879 penonton, panpel rugi Rp 70 juta. Kemudian saat Arema vs PSGC dengan 8.875 penonton, panpel rugi Ro 40 juta. Sementara laga Arema vs Sriwijaya FC jumlah penonton yang menyaksikan lebih banyak sebesar 16.076 penonton, tetapi tetap saja jauh dari target 35.000 penonton dan panpel Arema masih merugi Rp 20 juta.

Sementata tahun 2016 lalu saja misalnya saat pekan kelima laga kandang Arema menghadapi Gresik United, hanya ada 4.127 orang yang menyaksikan pertandingan di Stadion Kanjuruhan. Jumlah ini tidak lebih dari 15 persen dari kapasitas stadion. Meskipun Arema menang 3-1, panitian pelaksana (panpel) Arema mengaku rugi.

Padahal panpel Arema telah mencetak 40.000 lembar tiket. Panpel tercatat hanya meraup uang sebesar Rp184.805.000 dari penjualan tiket kategori ekonomi (3.523 lembar), VIP (582 lembar), dan VVIP (22 lembar). Sementara pengeluaran panpel Arema untuk setiap pertandingan bisa mencapai Rp200 juta. Artinya, panpel tim Singo Edan merugi hingga Rp15.195.000

"Ya kami rugi dengan sepinya penonton. Karena, pengeluaran kami juga banyak dengan berbagai item dalam operasionalnya," ujar ketua panpel Arema, Abdul Haris dikutip dari Indosport.com.

Di samping itu, tahun 2017 ini terjadi dualisme nyata di tubuh Arema. Selain Arema FC yang berkompetisi di Liga 1, juga ada Arema Indonesia di Liga 3. Entah mana yang benar di antara keduanya, yang jelas dualisme ini juga menjadi faktor Aremania malas mendukung Arema. Tidak sedikit Aremania yang memilih gantung syal atau boikot setiap pertandingan Arema manapun. Sebagian ada yang mendukung Arema Indonesia.

Manajemen Arema FC yang menempatkan Aremania sebagai customer, permainan yang menonton dan dualisme adalah faktor-faktor penyebab tribun Stadion Kanjuruhan jarang sekali penuh. Sementara sampai kini pun manajemen masih menganggap Aremania sebagai customer. Kalaupun ada kalimat manis "demi Aremania" keluar dari manajemen itu tidak lebih dari strategi marketing belaka.

Satu contoh Aremania sebagai customer misalnya ketika manajemen berencana bagi-bagi doorprize sepeda motor saat pertandingan Arema FC. Tentu saja upaya ini dilakukan untuk menarik minat Aremania agar datang ke stadion. Aremania dengan perlakuan ini tidak lebih dari peserta jalan sehat di hari Minggu. Sementara manajemen tidak lebih dari panitia jalan sehat yang bagi-bagi doorprize agar peserta membeludak. Upaya lain manajemen di antaranya memindah kandang selama Ramadan dari di Stadion Kanjuruhan ke Gajayana. Tapi tetap tidak berhasil.

Ini berbeda dengan semangat Aremania tempo dulu. Terutama saat masa-masa sulit. Meskipun sedikit pemain bintang dan juga tidak selalu menang dalam setiap pertandingan, Aremania hampir selalu memenuhi tribun stadion. Ini karena kala itu Aremania merasa memiliki Arema. Mereka bangga dengan Arema bahkan sampai dianggap sebagai ikon Malang Raya. Bahkan Arema tidak sekadar klub sepak bola tetapi juga sebagai simbol pemersatu Arek Malang di manapun berada. Loyalitas Aremania yang selalu mendukung setiap laga baik kandang maupun tandang memberikan motivasi sendiri bagi pemain, sehingga mereka akan semangat dengan menampilkan permainan cepat dan keras khas Arema. Itulah Aremania kala itu sebagai suporter bukan customer. Terakhir atmosfer itu dinikmati saat Arema juara liga 2010 lalu.

Kini bisakah Aremania memenuhi tribun stadion setiap laga kandang Arema? Jawabnya tentu saja bisa ketika kedua Arema bersatu tidak ada lagi dualisme. Di samping itu, manajemen juga diharap memperlakukan Aremania sebagai suporter bukan customer. Namun kalau manajemen masih mementingkan ego jangan harap tribun stadion akan penuh. Kecuali kalau Arema FC selalu menang dalam setiap pertandingan, karena customer akan selalu berpikir pragmatis. (lugas wicaksono)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun