Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Aji Sudah Out, Masihkah Tribun Stadion Sepi?

1 Agustus 2017   15:54 Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:01 4453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber fotografet.net: Aremania membentang spanduk bertuliskan ISLAH STADION FULL kala Arema FC bertanding di Stadion Kanjuruhan beberapa waktu lalu.

Inilah salah satu dampak industri sepak bola. Manajemen klub akan mengelola klub dengan profesional mempertimbangkan prinsip ekonomi untung dan rugi. Arema sudah punya nama besar dan basis suporter fanatik yang besar pula. Manajemen sadar bahwa nama besar Arema dan fanatisme Aremania adalah salah satu modal untuk meraup laba sebesar-besarnya. Mulai dari menjual tiket pertandingan, apparel sampai apa saja yang ada nama dan simbol Arema dikomersilkan.

Awal mengelola Arema mereka puas karena dengan dua modal awal tadi sudah dapat meraup laba besar. Namun sebagai kapitalis mereka selalu ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Dinaikkanlah harga tiket pertandingan sedikit demi sedikit. Aremania yang masih dibutakan fanatisme tetap saja membeli. Sampai harga tiket itu tidak dapat dijangkau oleh semua kelas sosial Aremania. Mereka sampai ada yang menabung dari satu pekan bekerja agar bisa menyaksikan pertandingan Arema di akhir pekan. Sebagian lagi lebih selektif karena mereka hanya sanggup membeli satu tiket pertandingan dalam satu bulan, dari sekian pertandingan mereka memilih satu pertandingan untuk ditonton.

Selebihnya mereka menyaksikan Arema berlaga dari layar televisi sekalipun laga kandang. Karena sebagai klub besar Arema sering ditayangkan televisi karena marketable. Tribun stadion berangsur tidak penuh. Manajemen mulai cemas. Mereka cemas tidak akan lagi mendapatkan laba besar dan justru merugi. Meskipun mendapatkan hasil dari hak siar televisi tetapi itu dianggapnya tidak seberapa. Dengan nama besar Arema mereka kemudian menuntut loyalitas Aremania kepada klub kebanggannya itu.

Kepada media mereka bicara kalau klub terancam merugi dan bangkrut. Karena itu agar tetap eksis mereka melalui pemberitaan di media menuntut loyalitas dengan meminta Aremania memenuhi tribun stadion. Aremania yang masih cinta dengan Arema sebagian melakukan apapun untuk mendukung klub kesayangannya itu. Menjual barang berharga tidak jadi soal asal dapat berkontribusi bagi kelangsungan eksistensi Arema berkompetisi di liga. Namun sebagian lain tersadar bahwa mereka suporter bukan customer.

Pola pikir mereka perlahan bergeser dari sebelumnya suporter yang datang untuk mendukung menjadi customer yang menonton pertandingan setelah membeli tiket masuk. Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi lama sejak sekian tahun lalu. Dan manajemen sudah mulai merugi sejak 2014 lalu ketika pendapatan dari tiket masuk kurang dari target.

Saat itu, selama satu musim manajemen hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket masuk Rp 5,3 miliar. Lebih sedikit dari target sebesar Rp 8 miliar. Kecilnya pemasukan tiket ini karena berkurangnya jumlah penonton. Ini setelah manajemen menaikkan harga tiket masuk sebesar 5-20 persen. Jika dirata-rata penonton yang hadir sebanyak 18.881 orang per pertandingan atau tidak lebih dari setengah kapasitas tribun stadion yang mampu menampung 35.000 orang.

Begitupula pada 2015 lalu. Misalnya saat babak penyisihan Piala Presiden. Seperti diberitakan bola.com, dari tiga pertandingan yang dilaksanakan di Stadion Kanjuruhan, penonton yang datang jauh dari harapan. Manajemen Arema tidak saja gagal meraup laba, bahkan sampai merugi. Saat laga Arema vs Persela hanya disaksikan 6.879 penonton, panpel rugi Rp 70 juta. Kemudian saat Arema vs PSGC dengan 8.875 penonton, panpel rugi Ro 40 juta. Sementara laga Arema vs Sriwijaya FC jumlah penonton yang menyaksikan lebih banyak sebesar 16.076 penonton, tetapi tetap saja jauh dari target 35.000 penonton dan panpel Arema masih merugi Rp 20 juta.

Sementata tahun 2016 lalu saja misalnya saat pekan kelima laga kandang Arema menghadapi Gresik United, hanya ada 4.127 orang yang menyaksikan pertandingan di Stadion Kanjuruhan. Jumlah ini tidak lebih dari 15 persen dari kapasitas stadion. Meskipun Arema menang 3-1, panitian pelaksana (panpel) Arema mengaku rugi.

Padahal panpel Arema telah mencetak 40.000 lembar tiket. Panpel tercatat hanya meraup uang sebesar Rp184.805.000 dari penjualan tiket kategori ekonomi (3.523 lembar), VIP (582 lembar), dan VVIP (22 lembar). Sementara pengeluaran panpel Arema untuk setiap pertandingan bisa mencapai Rp200 juta. Artinya, panpel tim Singo Edan merugi hingga Rp15.195.000

"Ya kami rugi dengan sepinya penonton. Karena, pengeluaran kami juga banyak dengan berbagai item dalam operasionalnya," ujar ketua panpel Arema, Abdul Haris dikutip dari Indosport.com.

Di samping itu, tahun 2017 ini terjadi dualisme nyata di tubuh Arema. Selain Arema FC yang berkompetisi di Liga 1, juga ada Arema Indonesia di Liga 3. Entah mana yang benar di antara keduanya, yang jelas dualisme ini juga menjadi faktor Aremania malas mendukung Arema. Tidak sedikit Aremania yang memilih gantung syal atau boikot setiap pertandingan Arema manapun. Sebagian ada yang mendukung Arema Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun