Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Konflik Berulang Thailand-Kamboja dan Ujian Berat Diplomasi ASEAN

26 Juli 2025   20:54 Diperbarui: 27 Juli 2025   07:25 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Shutterstock

Eskalasi konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja pada Juli 2025 yang menewaskan banyak warga. Lebih dari 130.000 warga terpaksa mengungsi dari daerah-daerah konflik.

Konflik itu seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Tragedi ini bukan sekadar pertikaian perbatasan biasa antara dua negara, melainkan cermin retak dari arsitektur keamanan regional yang selama ini kita banggakan. 

Repotnya, Thailand menolak tawaran mediasi dari Amerika Serikat, China. Negara itu bahkan juga menampik uluran mediasi dari Malaysia sebagai ketua ASEAN di 2025 ini. Perkembangan ini tentunya menunjukkan kegagalan fundamental dalam pendekatan diplomasi preventif kawasan.

Ironi terbesar dari konflik ini terletak pada fakta bahwa kedua negara sebenarnya terikat oleh Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation/TAC) yang mewajibkan penyelesaian sengketa antar anggota ASEAN secara damai. 

Namun realitas lapangan membuktikan bahwa komitmen legal tersebut rapuh di hadapan sentimen nasionalisme yang menggebu dan ambisi politik domestik. Insiden ranjau darat yang melukai lima tentara Thailand di provinsi Ubon Ratchathani menjadi pemicu langsung, tetapi akar masalahnya jauh lebih dalam dari itu.

Sengketa perbatasan Thailand-Kamboja yang berpusat pada kawasan dekat Kuil Ta Moan Thom yang kemudian menyebar ke setidaknya enam area sepanjang perbatasan mengingatkan kita pada kasus serupa antara Indonesia dan Malaysia di masa lalu. 

Bedanya, Indonesia dan Malaysia berhasil menyelesaikan sengketa Sipadan-Ligitan melalui jalur hukum internasional, sementara Thailand-Kamboja terjebak dalam siklus kekerasan yang berulang. 

Mahkamah Internasional sebenarnya telah memutuskan pada 1962 bahwa Kuil Preah Vihear berada di teritorial Kamboja. Meski begitu, implementasi putusan tersebut masih menyisakan persoalan teknis yang tidak pernah tuntas diselesaikan hingga sekarang.

Kegagalan ASEAN mencegah eskalasi konflik ini telah secara tidak langsung mengekspos kelemahan mendasar dari prinsip "ASEAN Way" yang selama ini diandalkan. Pendekatan non-interferensi dan konsensus yang menjadi tulang punggung diplomasi kawasan terbukti tidak memadai ketika berhadapan dengan konflik aktual yang melibatkan korban jiwa. 

Para analis memperingatkan bahwa upaya ASEAN mungkin "tidak lagi memadai" mengingat keterbatasan alat intervensi yang dimiliki. Hal ini menunjukkan perlunya evolusi paradigma keamanan regional dari yang bersifat reaktif menjadi proaktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun