Ketika Presiden Prabowo Subianto muncul di podium KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, 6 Juli 2025, publik tak hanya menyaksikan tepuk tangan diplomatik. Adegan itu mematri sebuah momentum ketika Jakarta memposisikan diri di poros baru kekuatan global tanpa perlu melepaskan doktrin politik luar negeri bebas-aktif.
Di balik seremoni itu, ada pertarungan sunyi untuk memperebutkan makna, yaitu tentang siapa yang berhak menjadi suara “Selatan”, siapa yang digolongkan sebagai “pusat”, dan siapa yang memungut dividen diplomasi dari label-label itu.
Narasi Dominan
Setiap ajang multilateral berpotensi menghasilkan medan wacana di mana negara berlomba mengisi kursi “pemberi arti”.
Dalam lanskap ini, Indonesia berusaha menggeser gravitasi diskusi BRICS dari sekedar retorika anti-Barat menuju panggung pembiayaan pembangunan, transisi energi, dan reformasi lembaga internasional.
Strategi itu menandai sebuah upaya untuk menancapkan narasi dominan baru ---sebuah hegemoni wacana--- di mana keberpihakan pada keadilan ekonomi dan inklusivitas diperlakukan sebagai barometer baru bagi legitimasi.
Dengan memasukkan kata kunci “infrastruktur hijau berkeadilan” dan “arsitektur keamanan kooperatif” ke dalam komunike akhir, Jakarta bukan sekadar berbicara; ia sedang menawarkan sebuah definisi baru bagi keberhasilan BRICS di mata negara berkembang lain.
Selama definisi itu diterima, Indonesia bisa memperoleh posisi sebagai pusat rujukan diskusi, tanpa harus memikul beban label BRICS sebagai blok konfrontatif.
Membingkai Kawan-Lawan secara Fleksibel
Politik luar negeri tak lepas dari garis “kita” versus “mereka”. Prabowo berupaya menghindari dikotomi keras Barat-Timur yang selalu membayangi retorika BRICS hingga kini.