Kesepakatan Indonesia dan Malaysia untuk mengelola Blok Ambalat bersama dapat dianggap sebagai momentum diplomatik yang jauh lebih signifikan daripada sekadar pembagian sumber daya alam. Kesepakatan itu merupakan contoh nyata bagaimana diplomasi ekonomi dapat menjadi instrumen resolusi konflik yang efektif di era global kontemporer.
Blok Ambalat, seluas 15.235 kilometer persegi, telah menjadi simbol ketegangan bilateral selama lebih dari lima dekade. Kawasan yang kaya dengan cadangan minyak dan gas ini ---dengan potensi 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas--- kerap menjadi sumber sengketa bilateral yang berpotensi memicu konflik militer.
Pendekatan joint development yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim menandakan transformasi paradigma diplomasi. Pembicaraan tidak lagi berkutat pada kedaulatan territorial yang kaku, melainkan ada ruang bagi fleksibilitas kepentingan bersama.Â
Mereka memahami bahwa konflik berkepanjangan hanya akan merugikan kedua negara. Secara geopolitik, kesepakatan ini memiliki implikasi strategis yang kompleks.Â
Pertama, kerjasama itu mendemonstrasikan kemampuan Indonesia-Malaysia untuk mengelola perbedaan melalui dialog konstruktif. Kedua, kesepakatan Ambalat membuka ruang kerja sama ekonomi yang berpotensi menghasilkan miliaran dolar dalam kurun 30 tahun ke depan.
Capaian kedua negara mencerminkan pendekatan konkret ketimbang mempertahankan sengketa berlarut-larut. Filosofi win-win solution menjadi landasan utama dalam negosiasi ini.
Kompleksitas kesepakatan ini terletak pada kemampuan kedua negara untuk memisahkan persoalan hukum dengan kepentingan ekonomi. Anwar Ibrahim sendiri mengakui bahwa penyelesaian hukum mungkin memakan waktu hingga dua dekade.Â
Namun, mereka tidak membiarkan hal tersebut menghambat potensi kerja sama ekonomi.Â
Sejarah konflik
Secara historis, konflik Ambalat bermula pada 1979 ketika Malaysia memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam zona ekonomi eksklusifnya. Indonesia secara konsisten menyatakan wilayah tersebut sebagai miliknya, bahkan didukung Konvensi Hukum Laut PBB. Kini, pendekatan pragmatis menggantikan sikap konfrontatif.