Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Geopolitik Sebagai Panduan Diplomasi bagi Duta Besar Indonesia

2 Juli 2025   21:23 Diperbarui: 2 Juli 2025   21:23 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap politik internasional yang semakin kompleks dan dinamis, pemahaman mendalam tentang geopolitik telah menjadi prasyarat mutlak bagi keberhasilan misi diplomatik sebuah negara. Realitas ini semakin mengemuka ketika Komisi I DPR RI menggelar rapat tertutup dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk membahas kondisi geopolitik terkini (Rabu, 2/7/2025).

Selain itu, Ketua DPR RI Puan Maharani juga menekankan harapannya agar calon duta besar yang diusulkan adalah orang-orang yang memang mengetahui tentang situasi geopolitik dan situasi global (Selasa, 1/7/2025).

Dalam kajian geopolitik Indonesia 2024, perubahan kepemimpinan dapat membawa prioritas dan pendekatan berbeda dalam mengelola hubungan internasional, yang menjadikan pemahaman geopolitik semakin krusial bagi diplomat Indonesia.

Geopolitik, sebagaimana didefinisikan oleh pakar hubungan internasional Robert Kaplan dalam "The Revenge of Geography" (2012), merupakan studi tentang pengaruh geografi terhadap politik dan hubungan internasional. Bagi seorang duta besar, pemahaman geopolitik bukan sekadar pengetahuan akademis, melainkan instrumen operasional yang menentukan efektivitas diplomasi. 

Lalu, Henry Kissinger dalam "Diplomacy" (1994) menegaskan bahwa seorang diplomat yang tidak memahami konteks geopolitik ibarat nahkoda yang berlayar tanpa kompas di lautan politik internasional yang bergolak. 

Pemahaman ini menjadi semakin krusial ketika Indonesia harus menghadapi berbagai tantangan diplomatik, termasuk terhambatnya komunikasi efektif dengan Amerika Serikat (AS) akibat kekosongan posisi duta besar. Salah satunya adalah menghadapi kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump.

Dalam konteks Indonesia, urgensi pemahaman geopolitik bagi duta besar dapat dilihat dari beberapa dimensi strategis. Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di persimpangan jalur perdagangan internasional memerlukan diplomat yang mampu memanfaatkan keunggulan geografis ini. Hubungan dengan kekuatan global ---seperti AS, Tiongkok/China, dan Uni Eropa (UE)--- memainkan peran sentral dalam membentuk dinamika geopolitik regional. 

Kedua, dinamika geopolitik regional ASEAN dan Indo-Pasifik menuntut duta besar Indonesia memiliki pemahaman komprehensif tentang power dynamics yang berkembang. Rivalitas strategis antara AS dan Tiongkok, kebangkitan India, serta assertiveness Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) menciptakan kompleksitas geopolitik yang memerlukan navigasi diplomatik yang sangat hati-hati. 

Ketiga, isu-isu transnasional seperti perubahan iklim, terorisme, dan pandemi memiliki dimensi geopolitik yang signifikan. Duta besar Indonesia harus mampu memahami bagaimana isu-isu ini berinteraksi dengan kepentingan geopolitik berbagai negara untuk dapat merancang strategi diplomasi yang efektif. 

Kekosongan posisi duta besar di berbagai negara strategis menunjukkan konsekuensi nyata dari keterlambatan dalam pengisian posisi diplomatik. Kosongnya duta besar untuk AS membuat komunikasi menjadi tidak efektif dan tidak efisien, terutama dalam menghadapi kebijakan ekonomi Trump yang berdampak pada Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun